Kamis, 15 Agustus 2013
Hidup di ‘Bantaran Sungai’, Apa Enaknya Sih?
Kamis, 15 Agustus 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti

beritadaerah.com
Ada apa di sepanjang bantaran
sungai-sungai di Jakarta?
Ada 13 sungai yang ada di Jakarta, dan tidak
satu pun sungai-sungai itu yang ‘bebas’ dengan DAS-nya (Daerah Aliran
Sungai) yang cantik dan apik, kecuali yang ada di jalan protokol. Ya,
jika sungai itu melewati jalan protokol, DAS akan cantik dan apik,
misalnya di HANYA di depan Hotel Shangrilla, tetapi selebihnya mulai ada
titik-titik slum dengan PKL atau sampah.
Juga di sepanjang jalan Juanda
dari Harmonie depan Sekretariat Negara sampai cabang jalan Pos. Hanya
sedikit, kita memandang sungai di Jakarta dengan nyaman dan selebihnya
sungai-sungai Jakarta hanya sebagai ‘pelengkap penderita’, kambing hitam
jika banjir dan tempat buang sambah warga Jakarta.
Sebelum Pak Jokowi menjabat sebagai
Gubernur DKI, sepertinya tidak satu pun yang melakukan eksekusi untuk
DAS sesuai dengan aturan dan keamanannya. Bahwa DAS itu sebenarnya untuk proteksi dan melindungi warga sekitar sungai.
Dengan jarak-jarak tertentu sesuai dengan lebar sungai dan
standar-standar tertentu, DAS merupakan batas keamanan jika sungai
meluap, ataupun banjir agar jangan warga sekitar terkena luapan air
sungai. Juga DAS berfungsi untuk penyerapan air. Di daerah DAS seharusnya ditanami pepohonan dan lantainya adalah tanah atau con-block.

persibvanjava.blogspot.com
DAS yang ideal untuk sebuah sungai.
Semakin jauh bibir sungai dengan
(rumah) warga, semakin amanlah warga. Artinya, sungai sudah menjadi
sangat fungsional dan justru ‘membantu’ warga dalam kehidupan
sehari-hari.

firmanirmansyah.wordpress.com
Setelah sungai, ada daerah hijau
untuk penyerapan dengan pepohonan, lalu bisa dibuat jalan inspeksi, baru
dengan bangunan-bangunan dan kehidupan warganya.

firmanirmansyah.wordpress.com
Bagaimana dengan DAS seperti foto di atas? Belum ideal! Bahkan di sisi sungai atau kali ini sama sekali tidak ada penyerapan! Jika air sungai meluap, air akan terus menyusuri jalan-jalan aspal atau beton, dan mencari tempat-tempat yang landai. Alhasil adalah banjir!

konservasidasciliwung.wordpress.com
Ini konsep normalisasi sungai oleh
pemda. Jika semuanya berjalan dengan baik, bukan hanya mata yang
memandang menjadi segar saja, tetapi juga akan membuat warga lebih enak
untuk Jakarta sebagai tempat tinggal mereka.
Tetapi apa mau dikata? Jakarta dengan
penduduknya yang ‘bejibun’, legal atau illegal karena arus urbanisasi membuat sama sekali tidak ada tanah kosong dan semaksimal mungkin untuk
sekedar tempat tinggal, termasuk di kolong-kolong jembatan dan DAS. Dan
DAS menjadi tempat tinggal mereka, dari sekedar rumah kardus, tetapi
sekarang mereka menjadikan rumah kardus itu sebagai rumah tembok, bahkan
berjualan di sana, membuka bengkel atau warung-warung makanan!
Seperti di daerah Bukit Duri, di
sepanjang Sungai Ciliwung yang sering membuat warga kebanjiran, dari
Bukit Duri Tanjakan belok kanan ke arah jalan Jatinegara Barat, dan dari
pertigaan itu sampai batas pintu air Manggarai, semua warga di sana
berjualan! Sebagian besar sebagai tukang kayu membuat kusen-kusen dan
pintu. Sebagian lagi sebagai warung makanan dan bengkel motor serta
pencucian manual kendaraan bermotor. Ckckck …..
Dan herannya lagi,
rumah-rumah kardus mereka sudah lama disulap menjadi rumah tembok dan
mendapat ‘ijin’ untuk berjualan dan bisa ada aliran listrik, telpon
serta membayar ‘pajak!’ Bahkan aku pernah melihat, mereka bukan hanya
mempunyai TV saja lewat antena-antenanya, tetapi ada yang mempunyai
parabola.
Lain lagi di Manggarai, dari arah jalan
Slamet Riyadi belok ke kiri ke arah Bukit Duri. Rumah-rumah kardus
mereka (yang sebagian besar sudah disulap menjadi rumah tembok) sudah
dieksekusi walau baru sebagian saja dan pemda sudah membuat
tembok-tembok tinggi untuk supaya mereka tidak membangun rumah mereka
lagi di sana.
Tetapi, apa yang terjadi?
Hanya beberapa minggu saja, dan pemda
‘belum sempat’ merealisasikan mimpinya untuk membangun DAS yang sesuai
dengan aturan dan standarnya, warga yang dulunya tinggal di sana sudah
membuat tangga-tangga untuk bis masuk ke balik tembok, dan aku sangat
yakin bahwa mereka sudah membangun gubuk-gubuk mereka lagi di sepanjang
bantaran sungai tersebut! Sehingga, tembok tinggi itu ternyata menjadi
‘pelindung’ mereka dari ‘kejaran’ pemda dalam eksekusi warga. Wah wah
wah….


Normalisasi sebagian Sungai Ciliwung di derah Proklamasi, Menteng
DAS di semua sungai,
termasuk sungai-sungai di Jakarta ini merupakan TANAH NEGARA, dan siapa
pun yang menempati tanah negara tidak akan diijinkan sesuai dengan
peraturannya.
Tetapi justru tanah negara itu dimanfaatkan
oleh mereka-mereka yang tidak mempunyai tempat berlindung, berjualan di
sana bahkan di Manggarai mereka becocok tanam di sana, di sela-sela
gubuk mereka. Seperti tulisanku tentang Ada Apa dengan Waduk Pluit? dan ‘Waduk Pluit’ : Mengapa Baru Sekarang?,,
sangat wajar jika pemda ‘marah’ kepada mereka yang menempati tanah
negara karena tanah negara harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya
untuk semua warga, BUKAN untuk segelintir warga, apalagi bukan untuk
hanya 1 orang warga saja!
Sebagai pemda, seharusnyalah mereka cepat dan tanggap dengan fenomena ini SEJAK DAHULU, BUKAN BARU SEKARANG! Dan
pada kenyataannya, justru ‘oknum-oknum’ pemdalah yang mendapat ‘pajak’
dari mereka serta memberikan sarana dan fasilitas untuk listrik, air
ataupun petak-petak khusus dengan membayar lewat ‘oknum-oknum’ tersebut!
Yang aku tahu dan pernah aku survey serta sedikit riset, sarana dan
fasilitas-fasilitas listrik dan telpon, mereka ‘mengambil’ dari
tiang-tiang listrik dengan cabang-cabang kabel untuk rumah mereka,
alhasil si pemilik kabel yang resmi (bisa saja) membayar lebih tinggi
dari yang seharusnya karena ‘benalu-benalu’ ini….. Dan itu mudah sekali
dengan cara yang spesifik…..
Ketika pemda mengeksekusi warga untuk
pindah di tempat yang lebih layak, pastinya Pak Jokowi sudah memikirkan,
ke mana mereka harus dipindah. Tetapi seperti banyak cerita, mereka
lebih memilih tinggal di bantaran sungai dengan gubuk-gubuk reyot
mereka, dibandingkan dengan rusunami yang sudah disiapkan bagi mereka,
dengan alasan-alasan yang sering tidak bisa diterima oleh banyak orang.
Seperti yang aku katakan pada tulisan-tulisanku sebelumnya, seperti:
Pengendalian Banjir ? Tidak Cukup Hanya Membuat Drainage Saja ….., “Jangan Tanggung-Tanggung, Pak Jokowi” : Jalankan 4 Proyek Raksasa Penangkal Banjir + Beberapa ‘Predator’ Air! Atau ‘Rusun Kampung Deret’ : Konsep Menarik bagi Warga Jajarta, Tetapi …. Dan sebagainya (bisa dibaca di lapakku).
Bagaimana Jakarta bisa lebih baik, jika
warganya tidak mau berpartisipasi untuk memgubah wajah Jakarta? Aku
mengerti dengan pandangan-pandangan sosial seperti kepadatan penduduk
yang sangat tinggi, pengangguran, urbanisasi, ketidakpedulian warga
tentang banyak hal, sehingga Jakarta susah untuk memperbaiki diri dan
pemerintah pun tidak mampu jika hanya sendiri.
Dan ketika DAS tidak mampu ‘mengamankan’
Jakarta dari banjir dan tidak mampu menyerap air yang meluber dari
sungai, bagaimanakah wajah Jakarta 10 tahun lagi dengan air-air yang
membanjiri terus menerus ketika hanya sekedar hujan sesaat?
Dan jika warga Jakarta ingin Sungai
Ciliwung dinormalisasi (kompas.com - 22 Juli 2013), tolonglah untuk
mereka mau dipindahkan untuk pemda melakukannya. Jangan hanya ‘ingin’,
saja tetapi masing-masing harus berkorban dan bergotong royong, baik
pemerintah juga warga kota, demi keberhasilkan ‘Jakarta lebih baik’ .


Tentang Saya:

Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Hidup di ‘Bantaran Sungai’, Apa Enaknya Sih?”
Posting Komentar