Selasa, 29 April 2014
‘Atas Nama Penghidupan’ [Lanjutan Kisah Pagi di Pedestrian Jakarta]
Selasa, 29 April 2014 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Sebelumnya : Kisah Pagi di Pedestrian Jakarta
‘Mengatasnamakan penghidupan’
( seperti komentar salah satu tulisanku diatas ) merupakan ‘modal’ bagi
orang2 yang tidak peduli, yang menjadikan ‘atas nama penghidupan’
diatas segala2nya, padahal justru mengesampingkan kehidupan orang lain.
Ketidak-pedulian ini yang sering menjadikan HAM sebagai kambing hitam.
Ketika sering kali Jokowi ditengarai
sebagai gubernur yang tidak peduli dengan ‘kemanusiaan’ karena membuat
warga pindah dari Waduk Pluit ( misalnya ) atau beberes sebagai pedagang
kaki lima di Tanah Abang, membuat banyak orang menjadi dilema : kemanusiaan atas nama penghidupan ( untuk warga kota yang memang tidak mampu, BUKAN semua warga kota ) atau kah KEBERSAMAAN sebagai seluruh warga kota?
Tulisanku di link diatas, sangat nyata.
Ketika ‘atas nama penghidupan’ bagi sosial masyarakat kebawah harus
berjuang untuk hidupnya, pada kenyataanya justru membuat seluruh masyarakat terkena dampaknya!
Seperti yang aku tuliskan, issue2 besar
perkotaan, awalnya hanya dari segelintir orang2 yang tinggal di bantaran
sungai, berdagang di sembarang tempat, menawarkan jasa di tepi jalan (
seperti tambal ban, cat duco ), membuat masyarakat disekelilingnya
terabaikan tentang kesehatannya bahkan keselamatannya. Dan seharusnya,
kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi atau golongan ….
Pemerintahan Jokowi menurutku sudah sesuai dengan kepedulian masyarakan
waega kota dan lingkungan. Waduk Pluit dan PKL, misalnya. Sepertinya
‘atas nama wong cilik dan penghidupan’, selain Jokowi belum ada yang
berani mendobraknya! Dengan ‘keras’ tetapi sesuai dengan prosedur serta
rencana kota masa depan, Waduk Pluit dan PKL pun dilabraknya! Banyak
warga yang berteriak2 tentang HAM, tetapi mereka sendiri pun harus tahu
bahwa hidup di perkambungan ’slum’ Waduk Pluit ( dahulu ) dan PKL yang
membuat sebagian besar warga Jakarta susah untuk menembusnya, justru MELANGGAR HAM!
Masyarakat dan kehidupan perkampungan
kumuh di Waduk Pluit, berubah dan berangsur berubah menjadi kehidupan
normal di rusunami2 yang sudah diberikan kepada masyarakat disana,
bukankan masing2 warga kota menjadi ‘enak’ dan nyaman dalam kebersamaan?
Waduk Pluit menjadi taman untuk lingkungannya, dan aliran air hujan
bisa tertampung ( sebagian ) di Waduk Pluit. Dan warga yang awalnya
hidup di ‘rumah kardus’, nyaman tinggal di rusunami …..
Begitu juga tentang PKL di seluruh
Jakarta. PKL2 yang selalu bertumbuh, apalagi di keramaian pasar dan
membuat jalanan umuh dan macet, Jokowi berhasil menjadikan jalanan2
tersebut lebih nyaman dan PKL di kelompok2an sesuai dengan peraturan dan
rencana tata kota. Dan semuanya seharusnya senang, dan hak-hak warga
kota dalam kebersamaan semakin nyata.
Tetapi ternyata tidak demikian!
Ke-egois-an sebagian warga yang merasa ‘hak2nya untuk mendapatkan
penghidupannya’ ( lewat PKL atau tinggal di gubuk kumuh tetapi
pendapatannya lebih baik ) lebih baik, seakan2 tidak puas dengan
kenyataannya.
Bahwa KEBERSAMAAN HAK DAN KEWAJIBAN SEBAGAI WARGA KOTA TIDAK SELARAS DENGAN KEINGINAN2 YANG MENGATAS-NAMAKAN ‘PENGHIDUPAN’. Sehingga,
mereka kembali lagi ‘masuk’ ke dalam lingkaran dan lingkungan mereka
yang lama : hidup di gubuk kumuh, PKL yang memenuhi pojok2 kota, dan
unit2 rusunami serta unit dagang mereka di pasar, diperjual belikan (
atau disewakan ) tidak semestinya …..
Itu kenyataan, bukan?
Survey ku ketika aku mengambil S2
tentang Manajemen Kota Jakarta tahun 1997, salah satunya mengatakan
tentang keberadaan warga kota yang mempunyai hak untuk tinggal di rumah
susun Jakarta seperti di Rumah Susun Klender, Rumah Susun Kebon Melati,
atau Rumah Susun Pulo Mas, ternyata sebagian besar dari mereka lebih
memilih’keluar’ dari rumah susun tersebut, tinggal kembali ke gubuk2
kumuh, dan unit mereka disewakan atau dijual kepada orang lain, yang
benar2 berminat!
Tetapi justru bannyak orang2 yang
menyewa atau membeli dari yang berhak, adalah masyarakat menengah,
dengan pendapatan lebih. Mereka melakukan itu untuk banyak hal : jual
beli, menyewakan denga n harga tinggi ataupun untuk ‘bisnis’ yang tidak
jelas!
Tidak heran, ketika kita melewati
rusun2 tersebut melihat banyak sekali mobil keluaran baru dan mereknya
untuk kalangan menengah keatas, di tempat parkir ….!
Aku tidak menyangsikan
keinginan Jokowi untuk membenahi jakarta, terutama yang sudah
dilakukannya untuk mengangkat ‘derajat’ kaum marjinal ke tempat2 yang
lebih manusiawi, SEKALIGUS membenahi Jakarta yang kian semrawut. Tetapi
dengan ke-egois-an sebagian besar warga kota, ternyata issue besar
perkotaan, semakin tidak terbendung, atas nama penghidupan!
***
Hak-hak kemanusiaan itu wajib, untuk
semua warga! Kebersamaan warga dalam hak dan kewajiban akan membuat
sebuah kota dapat saling mengisi. Seperti cerita tentang ‘Kisah Pagi di
Pedestrian Jakarta’, sebenarnya akan lebih baik, jika ( contohnya ) :
1. Pedestrian bersih dan lapang,
nyaman untuk pejalan kaki, TANPA membuat bisnis ‘atas nama penghidupan’.
Pedestrian ini adalah HAK bagi semua warga kota!
2. Pojok2 warung sarapan yang dikelola oleh instansi ( swasta atau pemerintah ), TETAPI SESUAI DENGAN PERATURAN dan KE-EGOIS-AN WARGA DIREDAM, untuk lingkungan yang nyaman. Jangan gerobak soto atau ketoprak di pedesrian, atau di atas sungai !
3. Bisnis kbutuhan hidupsehari2,
seperti dagang asongan, PKL atau tambal ban juga ketok dan cat duco,
diberdayakan pada pojok2 lainnya. Tetapi sekali lagi, SEMUANYA SESUAI DENGAN PERATURAN, DAN KE-EGOIS-AN WARGA DIREDAM!
‘Atas nama penghidupan’, memang sangat
sensitif. Salah2 tulisanku ini pun akan di demo, ketika pembaca tahu
bahwa aku merupakan salah satu warga yang ’sesuai dengan peraturan’.
Bukan karena aku tidak peduli dengan masyarakat marjinal, tetapi justru
aku ingin mereka bisa mengangkat derajat mereka sendiri sesuai dengan
aturan pemda serta keinginan keras diri sendiri untuk ‘MAU BERUBAH!’
Memang tidak gampang, apalagi
berhubungan dengan ‘perut’. Tetapi jika Pemda sudah berusaha untuk
melakukan yang terbaik, dengan resiko2nya serta berkorban dan berjuang
untuk membenahi kota dan masyarakatnya, mari … marilah kita bersama
salling mendukung. Jika PKL di Tanah Abang yang merasa penghasilannya
berkurang waktu masih menjadi PKL, berdiskusilah dan bergotong royonglah
untuk mencari celah.
Tetapi juga untuk masyarakat umum yang
maunya enaknya saja ( tidak mau masuk ke pasar, lebih memilih PKL
karena tidak jauh ), tolonglah! Jika sudah berlangganan dengan PKL2 itu,
masuklah ke pasar, mencari PKL2 langganannya, jangan malas demi
kebersamaan dan kota kita!
Dan jika kebersamaan ini
terus ada, Jakarta akan semakin baik! Saling mendukung, saling
menghargai! Karena peraturan ada untuk warga, tetapi jika warga tidak
peduli serta mengabaikan peraturan bahkan bukan hanya melanggarnya,
Jakarta bukan hanya ’statis’ saja, tetapi semakin terpuruk …..
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “‘Atas Nama Penghidupan’ [Lanjutan Kisah Pagi di Pedestrian Jakarta]”
Posting Komentar