Selasa, 22 April 2014
Mewujudkan ‘Ruang Hijau Pribadi’ Jakarta, Mungkinkah?
Selasa, 22 April 2014 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Sebelumnya : Taman Kota : Bagi Kesehatan Warga Dunia
Sebuah lahan, akan mempunyai batas2 yang
boleh dan bisa dibangun. Ada garis sepadan bangunan (GSB), yang
merupakan batasan yang boleh dibangun. Ada juga garis sepadan jalan
(GSJ), adalah daerah terbuka tanpa bangunan sama sekali.
Garis2 GSB dan GSJ ini, merupakan salah
satu cara untuk membangun ‘daerah hijau’, paling tidak di lingkungan
kita sendiri. Fungsinya jelas terlihat, sebagai fungsi HIDROLOGIS, funsi EKOLOGIS, tetapi juga bisa berfungsi ESTETIS secara visual karena bisa dinikmati dari jalan umum.
Antara jalan sampai ke didinding rumah,
adalah daerah hijau, dan daerah hijau tersebut bisa membentuk suatu
koridor hijau jalan perkotaan. Pemanfaatan ruang antara depan pagar
rumah dan jarag GSB seharusnyalah bisa menciptakan keserasian
‘landscape’ sesuai dengan ketentuan tata ruang dan tata bangunan
perkotaan.
Pada kenyataanya, di Jakarta (
rumah2 yang tidak di dalam kompleks real estate ), ruang antara jalan ke
pagar rumah ( yag biasanya digunakan oleh trotoar atau pedestrian untuk
pejalan kaki ), dipakai sebagai warung2 kecil, atau parkir sepeda motor
bahkan mobil. Bukan untuk ‘jalur hijau’.
Lalu GSB ( jarak dari ujung lahan
pribadi sampai batas awal dinding rumah ), mereka lebih menginginkan
sebagai car-port ataupun membangun ruangan baru. Padahal itu justru
digunakan sebagai ‘daerah hijau’.
DAS ( daerah sepadan sungai )
seharusnya seperti ini, dengan jalur pedestrian dan jalur hijau untuk
penyerapan. Tetapi apa yang terjadi di Jakarta? DAS di Jakarta, justu
dipenuhi dengan gubug2 liar ataupun hanya sekedar tempat sampah dan
pedagang2 liar, dan tidak bisa memenuhi perhitungan RTH perkotaan.
Bagaimana dengan karakteristik ‘daerah hijau’ antara landscape jalan dengan landscae pribadi?
Jangankan untuk landscape pribadi, dengan landscape jalanpun sepertinya belum bisa dilakukan untuk perumahan2 padat …..
Perbandingan ‘daerah hiau’ yang baik :
Ini adalah rumah sehat dengan ruang
hijau sesuai dengan peraturan dan indah dipandang mata. Memang, ini
adalah perumahan menengah keatas, sehingga mudah dilaksanakan …..
Ini adalah rumah menengah yang seharusnya sudah mudah untuk dikerjakan, tetapi rumah ini sama sekali tidak sehat :
1. Tidak ada penyerapan sama sekali. Semuanya beton, dan aku yakin, didalam tidak mempunyai bukaan sama sekali! Padat dan pengap!
2. Sama sekali tidak ada ruang ‘daerah hiau pribadi’.
Rumah ini bikan di kompleks real
estate. Seperti yang aku tuliskan di atas, semua lahan mempunyai
batasan2 yang boleh dibangun, seperti GSB dan GSJ. Tetapi dari foto
diatas, sangat terlihat bahwa rumah tersebut dan sepanjang jalan itu,
tidak mengindahkan apa itu GSB dan GSJ ( panjang GSB sekitar ½ lebar
jalan didepannya ).
Belum lagi, sama sekali tidak mempunyai ‘daerah hijau pribadi’
Konsep sebuah lahan dengan ‘daerah
hijaunya’, bukan hanya berhubungan dengan konsep ekologis dan estetika
saja seperti yang aku tuliskan diatas saja, tetapi fungsi KESEHATAN
merupakan sebuah konsep bagi warga kota. ‘Daerah hijau’ bisa dibangun
untuk menetralan karbpn dioksida ( CO2 ), dengan perhitunang kebutuhan2
antara penghuni dengan banyaknya tanaman dan besar lahan. Sehingga
dengan konsep kesehatan, adalah yang terbaik untuk peningkatan kualitas
hidup warga perkotaan.
***
Untuk ‘daerah hijau’, sebenarnya bukan
hanya sebuah ‘hijau yang pasif’. Banyak orang mengira bahwa daerah hijau
hanya benar2 untuk penghijauan, untuk tempat tanaman dan pohon2 yang
sesuai dengan kebutuhan penghijauan.
‘Daerah hijau’ bisa dibuat aktif
untuk kegiatan sehari2. Permainan anak2, bench2 cantik untuk kongkow
atau berolah raga dengan ;jogging track’ …..
‘Daerah hijau’ tetap bisa dijadikan
‘hijau yang aktif’. Misalnya, daerah hijau untuk kegiatan sehari2. Untuk
ruang bermain anak. Untuk olah raga dengan ‘jogging track’ atau hanya
sekedar taman dengan bench cantik untuk kongkow. ‘Daerah hijau’ bukan
hanya sekedar pepohonan seperrti hutan, tetapi bisa dimanfaatkan dengan
mengambil buah dan bunga2nya. Hanya perlu diingat, persyaratannya harus
sesuai dan tetap memberi manfaat dari ke-3 fungsi diatas ( ekologis,
estetika dan kesehatan ).
Dari ‘daerah hijau’ pribadi dalam
perumahan perkotaan, menjadi RTH ( ruang terbuka hijau ) untuk menjaga
keseimbangan ekosistim perotaan.
Seperti apa ekosistim perkotaan?
Sebenarnya sama dengan ekosistim dasar,
dengan adanya fungsi hidrologis, daerah resapan air, klimatoogis serta
paru2 kota. Kehidupan perkotaan dimanapun, pasti menjadi penduduk kota
tidak ada keseimbanganjiwa dan raga, sehingga semakin hari penduduk
perkotaan akan semakin tidak ’sehat’. Ditambah lagi dengan semakin
padatnya perkotaan, semakin berkuranglah RTH, khususnya kota Jakarta.
Apalagi dengan pertumbuhan jenis2 teknologi yang semakin membuat bumi
kita ini terus ‘terpuruk’ …..
Lihat tulisanku :
Perkembangan dan pembangunan kota
Jakaarta merupakan aktivitas yang sangat aktif, dan dengan perkembangan
yang terus menerus dan pertambahan penduduk semakin padat, keterbatasan
ruang dan lahan menyebabkan RTH terus berkurang. Dan itu menjadikan
Jakarta semakin tidak sehat.
Bukan hanya tida sehat karena tidak
bagusnya fungsi hidrologis, ekologis, kesehatan dan estetika saja,
tetapi juga semakin banyak penduduk kota akan semakin menambah kerawanan
dalam segala hal.
Kecenderungan pembangunan perkotaan,
khususnya kota Jakarta yang memang berpenduduk padat, yang juga mereka
merupakan masyarakat urban, umumnya mereka terlibat dengan masakah
ekonomi. Dimana pada kenyataannya, keberadaan RTH menjado sebuah tata
ruang dan space yang sangat lemah, dan paling berpotensial kurang
terawasi, karena RTH sangat rawan sebagai space untuk sebuah ‘kampung
kumuh’ perkotaan.
RTH dianggap TIDAK MEMPUNYAI nilai ekonomi untuk perkotaan, tetapi MEMPUNYAI nilai ekonomi tinggi bagi warga kota!
Sangat di mengerti untuk kaum urban
atau marjinal dari hail urbanisasi. Jika mereka datang ke Jakarta
tetapi tidak atau belum mempunyai tempat tinggal, padahal mereka harus
bertempat tinggal, dan mereka tidak mempunyai uang, mereka akan nekat
membangun gubuk2 karton bekas untuk bertempat tinggal sementara di
lahan2 terbuka ( seperti bantaran sungai, kolong jembatan atau pinngir
jalan kereta api, yang sedianya merupakan RTH ), yang pada akhirnya
menjadi tempat tinggal permanen.
RTH-RTH inilah yang lalu tidak
memounya nilai ekonomi bagi perkotaan, secara juga paling tidak
menghasilkan. Tetapi RTH ini justru mempunyai harga dan nilai ekonomi
tinggi bagi warga kota yang tidak mempunyai uang untuk bertempat
tinggal, dan dijajakan oleh oknum2 yang tidak bertanggung jawab.
Tetapi apa pun yang terjadi, kita harus
mengupayakan keberadaan RTH demi terciptanya kualitas lingkungan
perkotaan yang tidak memburuk. Apapun itu! Perkembangan kota harus
diarahkan untuk tidak merusak dan tidak mengurangi jumlah RTH-RTH yang
sudah ada, dan justru menambah RTH-RTH baru …..
Memang semuanya harus kepedulian diri
sendiri untuk ‘daerah hijau’ pribadi, dan pemda harus menghimbau, bahkan
bisa mendesak untuk investor2 besar mau mengupayakan pembangunan
RTH-RTH baru demi keberlangsungan ekosistim perkotaan, khususnya kota
Jakarta ini …..
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 Responses to “Mewujudkan ‘Ruang Hijau Pribadi’ Jakarta, Mungkinkah?”
6 Juli 2016 pukul 02.29
seingat saya, saat ini (Juli 2016) Gubernur DKI secara aktif menjalankan program RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak) yang sudah cukup banyak di Jakarta ini. Mungkin program ini bisa menjadi embrio terwujudnya RTH seperti yang bu Christie maksud.
Memang banyak hambatan karena cukup susah pada saat ini mencari tanah kosong untuk dijadikan RPTRA namun jika arahnya sudah betul, saya rasa kita patut dukung kebijakan Gubernur Ahok ini.
Posting Komentar