Senin, 22 Juli 2013

Memangnya Jakarta Mau Diubah Menjadi ‘Kota Shopping?’



By Christie Damayanti

1374465969173274725
www.travactours.com

Seperti yang selalu aku katakan, sebenarnya konsep perkotaan Jakarta itu sudah bagus. Mengacu pada kota2 dunia, dan tata kota secara arsitektural perkotaan, Jakarta bisa dikatakan ( seharusnya ) sudah mampu membuat nyaman warganya. Banyak hal. Seperti zoning, atau pengelompokan kegiatan warga. Seperti zoning bisnis di sepanjang jalan Senayan - Sudirman - Thamrin, di Pusat Jakarta. Lalu zoning pemerintahan di seputar Monas, sesuai konsep dari Belanda sejak dulu. 

Zoning hunian pada poros Timur - Barat ( sebagian Selatan Jakarta ), zoning perdagangan dan perindustrian di Barat dan Utara Jakarta serta zoning rekreasi di titik khusus seperti Ancol, Ragunan dan Selatan Jakarta sampai Bogor. Tidak diragukan lagi, Jakarta SEHARUSNYA sudah bisa membuat nyaman warga Jakarta itu sendiri.

Tetapi ketika seseorang atau sekumpulan orang atau komunitas yang berpengaruh, mulai dengan membuat perubahan yang tidak sesuai dengan aturan atau ‘pakem’ yang ada di Jakarta, mulai juga ‘ketidaknyamanan’ warga kota, lewat perubahan-perubahan tersebut. Memang tidak semua warga Jakarta ‘marah’ karena ketidaknyamanan tersebut, bahkan sebagian warga Jakarta mendukung perubahan2 yang dilakukan oleh seseorang atau sekumpulan orang atau komunitas-komunitas yang berpengaruh tersebut.

Misalnya saja, tentang kebutuhan warga tentang rumahnya. Harga rumah memang mahal dan sangat bisa dimengerti jika warga menginginkan rumahnya sedemikian lebih banyak tempat untuk berkegiatan dalam rumahnya, dengan membangun ruang2 baru, jika mereka mempunyai dana lebih. Developer yang sudah mendesain rumah-rumahnya dengan peraturan-peraturan perkotaan dengan baik, tetapi si pemilik rumah justru membangun ruang-ruang baru yang notebene menghilangkan ruang terbuka hijau, yang seharusnya ada di setiap rumah dan bangunan. Artinya, seseorang mulai melakukan perubahan yang pro - kontra di kalangan warga Jakarta itu sendiri, dan itu ‘menular’.

Atau juga ketika seseorang merubah peruntukan rumahnya menjadi restauran, padahal jelas-jelas itu perumahan, lingkungannya tetap ada yang pro - kontra dan yang pro, mereka berbondong2 merubah rumahnya menjadi resto2 kecil, warung2 atau toko kelontong TANPA ijin! ( Dan herannya, pemda sepertinya membiarkan bahkan justru is pemilik rumah dikenai pajak restauran! ). Coba lihat tulisankuTahukah Kita bahwa Tempat Tinggal Kita Tidak Boleh untuk Berdagang? dan “Ah …, Itu Kan Hanya Sirik saja, Jika Tetangga Kita Berhasil” Duh!
‘Menular’ juga, kan?

Bagaimana dengan komunitas atau kelompok-kelompok berpengaruh? Itu lebih lagi! Banyak sekali perubahan-perubahan yang tidak sesuai dengan ijin perkotaan.

Aku tidak ingin berbicara yang terlalu luas dan bias. Karena di Jakarta sudah seperti benang kusut, jika kita mau meneliti lebih dalam. Tentang tatakota dan tata laksana kota Jakarta, fokus konsep perkotaan serta arsitektural fisiknya. 

Aku hanya ingin bicara tentang sebuah fenomena yang sebenarnya akan menjadikan Jakarta ‘jenuh’ untuk kegiatan perdagangan barang-barang kebutuhan sekunder. Sebuah fenomena dimana sekarang ini saja sudah terlihat ‘kejenuhan’ Jakarta dalam merespon tempat itu, dan menjadikan tempat itu sebagai bagian dan fasilitas ‘rekreasi’ keluarga saja, tanpa berniat membelinya.

***

Adakah yang tahu, berapa jarak yang ideal antar mall?

Ketika kita berada di Singapore dengan Orchard Road nya yang betebaran mall serta pertokoan-pertokoannya, atau ketika kita berada di Senzhen China serta HongKong dengan Ladies Market di Mongkoknya itu tidak bisa disamakan dengan Jakarta. Singapore, Senzhen atau Hong Kong, bahkan Paris, adalah kota yang memang sebagian besar pendapatannya sebagai ‘pusat belanja dunia’. 

Dimana mereka memang membangun pertokoan sebanyak2nya untuk menjaring warga dunia untuk mau kesana. Berlomba kemewahan untuk menghias dekor-dekor toko, adalah sebagian besar merupakan pekerjaan mereka. Dan konsep perkotaannya sendiri pasti sangat berbeda dengan Jakarta. Zoning kegiatan warga, pastilah perdagangan berada di titik pusat kota itu. Lihat saja di peta-peta mereka.

Tetapi tidak dengan Jakarta. Jakarta dengan konsep kota bertumbuh, dan budaya lokal, merupakan konsep konvensional. Zoning kegiatan warga sesuai dengan kota bertumbuh sejak jaman penjajahan Belanda, menjadikan Jakarta tidak bisa hanya sekedar ‘meniru’ kota-kota dunia, termasuk kota-kota di negara-negara tetangga.  

Sehingga jika Jakarta ingin merasa sejajar dengan Singapore, Senzhen atapun Hong Kong sebagai tujuan dunia untuk belanja itu salah besar! Dan jika sekelompok warga berpengaruh serta pemda membuat Jakarta dipenuhi dengan mall dan pertokoan, sungguh itu merupakan awal ‘ketidakberaturan’ Jakarta dalam pengelolaannya!

Tiap area atau kota madya di Jakarta mempunyai zona-zona untuk fasilitas umum, termasuk pertokoan dan ‘pasar’. Pasar disini untuk menjual berbagai kebutuhan pokok, bisa sebagai pasar tradisional ataupun minimart, supermart, bahkan sampai hypermart. Aturannya ada. Bahwa untuk lingkungan hunian, ada jarak2 tertentu boleh dibangun sebuah minimart, supermart ataupun hypermart. Untuk perkotaan dan mall pun ada aturan2 tertentu. 

Lain lagi jika memang pertokoan dan mall di pusat kota, bisa jadi merupakan pertokoan atau mall dalam skala perkotaan. Yang merupakan skala perkotaan misalnya adalah Grand Indonesia dan Plaza Indonesia ( termasuk juga fasilitas hotel-hotel internasional disekelilingnya : Hyatt, Kempinsky, Nikko atau Mandarin ), di Jakarta Pusat.

Lalu grosir skala perkotaan adalah Mangga Dua. Atau grosir khusus garmen di Tanah Abang. Selatan Jakarta Blok M. Utara Jakarta di daerah Pluit dan Barat Jakarta sekitar Grogol. Hanya Timur Jakarta belum ada pertokoan skala kota. Tetapi skala-skala lingkungan, banyak sekali seperti Pondok Indah Mall, Kelapa Gading Mall, sekitar Senayan, Rawamangun, bahkan di sepanjang Dr.Satrio - Casablanca sebenarnya bukan skala perkotaan, melainkan skala lingkungan ‘Golden Triangle’. Dan mall-mall skala lingkungan ini ternyata di Jakarta benar-benar melaju dengan pesat melebihi mall-mall skala perkotaan.

Mall-mall skala lingkungan ini sepertinya justru lebih maju dibanding dengan mall skala perkotaan. 

Mengapa?  

Karena memang lingkungan huniannya lah ( dari hasil perpindahan penduduk, atau bertambah banyak ‘orang2 kaya’ yang seing membeli rumah-rumah hanya untuk investasi ) yang terus berkembang dan warga2 disana terus beranjang semakin banyak, sehingga mall lingkungan terus berkembang. Contohnya mall di Kelapa Gading, mall di Puri atau di Pluit serta di Pondok Indah. Apalagi jika lingkungannya merupakan lingkungan hedonis ( lihat tulisanku ‘Dunia Glamour dan Gemerlap’ Kelapa Gading ).

Dan mall skala perkotaan semakin ‘ditinggalkan’ karena biasanya daerah itu bukan merupakan daerah hunian, ya karena memang konsepnya berada di ‘pusat kegiatan’, dekat semua kegiatan. Itupun sangat umum, seperti yang selalu aku amati di banyak negara dengan konsep seperti itu.

Yang aku tahu, Amerika lain lagi. Aku sering ke Amerika karena adikku tinggal disana, sebuah kota ‘pinggiran’ sekitar Dallas. Disana memang jarang mall, tetapi retailer dibagi2 menjadi kelompok2 untuk setiap jenis barang. 

Seperti ‘Home’ ( untuk barang2 rumah tangga, elektronik, furniture, landscape serta hypermart. Ada jug selalu FO ( factory outlet ) serta ‘One Dollar Shop’ ( lihat tulisanku Barang-Barang Berharga murah di ‘One Dollar Shop’di Amerika ). Dan mall ( retailer ) benar2 dibangun sebagai mall skala perkotaan, sehingga selalu ramai. Konsep inilah yang ternyata membuat warga disana ( termasuk aku jika disana ) lebih memfokuskan mencari barang tanpa harus ‘window shoping’ yang bisa menarik minat untuk membeli yang tidak dibutuhkan.

***

Jika kebutuhan ‘mall’ di Jakarta sekarang semakin ‘jenuh’ sangat wajar. Bahkan sekarang mall-mall lingkungan pun semakin berkembang, terus membangun dan membangun. Memang, mall tetap ramai, tetapi yang ada pengunjung hanya sekedar berjalan-jalan saja, tanpa membeli. Kecuali jika mall itu banyak terdapat makanan serta hypermart. 

Dan jika aku bertanya dengan teman2ku atau keluargaku yang tinggal ‘disebelah’ mall, mereka justrul sebal dengan keadaan mereka karena sudah terlalu berisik dan membuat lalu lintas di sekitarnya menjadi macet.

‘Jakarta Great Sale?’ Ah, terlalu berlebihan.  

Harusnya Jakarta membuat event-event cantik yang berhubungan dengan budaya lokal sedemikian, bukan hanya sekedar ikut2an.

Jadi, siapa yang ingin tinggal disebelah mall besar? Aku sih tidak.

Tags:

0 Responses to “Memangnya Jakarta Mau Diubah Menjadi ‘Kota Shopping?’”

Posting Komentar

Subscribe

Berlangganan Artikel Saya

© 2013 Christie Damayanti. All rights reserved.
Designed by SpicyTricks