Selasa, 09 Juli 2013
Hiiiii… Jalan Itu Berhantu! Ah, Masa’ sih?
Selasa, 09 Juli 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti

arniarnie.wordpress.com
Pernah ga, mengamati jalanan ibu
kota? Benar2 fisik jalanya, permukaannya serta kesiapan permukaan jalan
itu untuk kendaraan warga kota Jakarta?
Dan apakah kalian tahu, bahwa aspal
yang mempungkus permukaan jalan merupakan material yang bisa ‘bergerak’,
apalagi jika suhu kota menjadi panas, dan membuat permukaan jalan
menjadi bergelombang?
Tahukah kalian bahwa tidak semua
kendaraan besar ( sepertu truk dan bus ) boleh lewati sebuah jalanan
lingkungan? Jangkankan ‘gang’ ( jalan setapak yang harusnya hanya untuk
kendaraan beroda dua ), jalan lingkungan dengan 2 mobil saja, bus kecil
pun, sebenarnya tidak diperkenankan memakainya ….
Dan mengertikah kita bahkan panjang
jalan Jakarta itu sudah tidak sebanding dengan banyaknya mobil serta
kenyataannya konsep panjang jalan Jakarta tidak komprehensif, sehingga
jika ingin menambah panjang jalan, sering harus membebaskan lahan warga?
Atau memotong GSJ ( Garis Sepadan Jalan ) bangunan?
***
Aku yakin, tidak banyak yang tahu dan peduli dengan pertanyaan2 dan pernyataan2 diatas. Padahal desain konsep perkotaan haruslah komprehensif, walaupun mungkin belum seluruhnya dibangun, desainnya sudah ada. Dan Jakarta tidak harus mengecewakan warga kota.
Di beberapa permukaan jalan di Jakarta,
sangat tidak layak untuk dipakai kendaraan, baik roda dua atau rosa
empat. Permukaan jalan bolong2, berlubang atau aspalnya ‘keropos’.
Bahkan di jalan tol pun, termasuk jalan protokol Thamrin, aspalnya
ditambal2, untuk menutupi jalan yang berlubang. Sehingga pastilah sangat
membahayakan bagi pengemudi.
Sebelum sakit, aku selalu membawa
mobil sendiri, bahkan sampai lebih dari tengah malam. Aku pernah hampir
celaka, ketika lewat tengah malam aku masuk tol dan jalanan memang sepi,
sehingga aku ‘tancap gas’ karena ingin sampai ke rumah segera untuk
beristirahat. Fokusku adalah didepan.
Tidak menyangka, ketika salah satu
titik permukaan jalan itu ditambal cukup tinggi dan penambalannya tidak
sesuai dengan ‘prosedur’ yang seharusnya. Dan mobilku sedikit oleng
ketika roda mobilku menginjak tambalan aspal tersebut!
Jika siang hari dan keadaannya
seperti itu, aku pasti sudah tertabrak dari belakang karena mobilku
oleng dan membung ke kanan jalan dengan tanganku yang memegang setir
juga terlempar ke kanan! Dan jika aku tidak sigap, mobilku bisa berbalik
atau terlempar dari jalan ke arah yang berlawanan …..
Puji Tuhan, walau
sudah tengah malam dan aku sudah cape, Tuhan masih melindungi aku,
dengan aku masih mampu mengendalikan mobilku!
Tidak heran, kecelakaan banyak terjadi yang ( katanya ) sepertinya tidak ada apa2 yang banyak di katakan ‘daerah itu berhantu!’.
Tambah lagi, tentang aspal. Aspal itu
sebenarnya ‘bergerak’. Memuai dan menyusut. Coba perhatikan di
perempatan jalan. Tahukah kita, mengapa di perapatan jalan aspalnya
bergelombang? Karena pergerakan aspal tersebut!
Jika kita jalan dengan
kecepatan tinggi menuju perempatan dan tiba2 kita mngerem karena lampu
kuning bahkan merah, permukaan aspal akan ‘bergerak’ karena permukaan
roda kendaraan kita menjadi panas. Akan terdengar rem berdecit. Sehingga
sedikit demi sedikit aspal terus ‘tertarik’ dan menjadi bergelombang.
Itulah sebabnya, mengapa di negara2 yang mempunyai 4 musim, memilih
mendesain permukaan jalan dengan beton, salah satunya karena aspal akan
sering memuai dan menyusut, walaupun permukaan jalan beton berlipat kali
harganya dibanding permukaan jalan aspal.

www.jakarta.go.id
Beberapa jalan di Jakarta sudah di
desain dengan beton. Tetapi untuk beton pun harus ada standardanya.
Campuran antara pasir, semen dan kerikil ( harus beton bermuu tinggi )
harus mampu membuat jalanan ini menopang apa yang ada di atasnya. Jarak
antara ntara besi2 serta diameter besi nya pun tidak boleh sembarangan!
Lihat kan, banyak sekali ‘celah’ untuk mengurangi kualitas sebuah
desain??
Lain lagi. Namanya juga material, dan
buatan manusia. Semua ada batasnya. Jika kita mendesain sesuatu, apalagi
yang berhubungan dengam banyak orang atau umum, kita benar2 harus
memiliki ’sense of belonging’ dan kepedulian tinggi demi keselamatan
masyarakat.
Jadi, tidak pada tempatnya jika kita mendesain
permukaan jalan dengan mengurangi atau mengganti bahan2 material yang
sudah dihitung dengan memakai standard yang ada, bahkan jika standard
itu dikatakan masih belum mampu untuk menjamin keselamatan, standard itu
ditambahkan lagi untuk benar2 melindungi masyarakat.

m.poskotanews.com
Jalan2 lingkungan seperti ini sangat lazim di Jakarta. Heh? Lazim? Jadi, salahnya dimana?

m.poskotanews.com
Swadaya warga kota pu seharusnya
memakai ’standard dan prosedur’ yang seharusnya. Misalnya, tinggi polisi
tidur yang bisa membuat orang2 yang berada di dalam mobil merasa sakit
karena polisi tidur yang terlalu tinggi dan terlalu kecil dan sempit!
Polisi tidur harus yang rendah, datar serta lebar, sehingga nyaman untuk
dilewati …..
Tetapi kenyataannya bagaimana? Aku sih
tidak mau mengatakan salah, tetapi sangat nyata bahwa beberapa jalan
baru ( benar2 baru, mungkin baru beberapa bulansaja, bahkan pernah aku
mengamati jalan itu baru beberapa minggu saja ), aspalnya sudah rusak,
keropos serta bolong2 …..
Salah siapa?
Lalu juga dengan mendesian masing2
‘kelas jalan’ ( jalan protokol berbeda dengan jalan tol, jalan kompleks
atau jalan lingkungan bahkan ‘gang’ ). Masing2 jalan ini di desain
sesuai dengan standard yang ada. Jika jalan protokol, pasti standardnya
sangat tinggi sehingga costnya juga tinggi. Berbeda dengan jalan tol,
yang mampu untuk menopang ribuan mobil dengan kecepatan tinggi. Juga
dengan jalan lingkungan.
Eh, tahu ga? Jika kita mengamati
jalan Thamrin ( antara Hotel Sari Pasific sampai Bunderan HI ) ,
permukaan jalannya benar2 bergelombang lho! Dan jika kita sempat
bermobil dengan kecepatan tinggi, pasti sangat tidak nyaman karena
bergelombang.
Sesuai dengan kata ‘lingkungan’, jalan
ini di desain untuk perumahan serta fasilitas lingkungannya. Besarnya
standard untuk 2 mobil berjalan dan 2 mobil untuk bisa parkir, sesuai
dengan Garis Sepadan Jalan. Masing2 lingkungan tidak sama. Misalnya, di
Jakarta Barat yang padat, tidak sama dengan di Jakarta Timur yang tidak
terlalu padat. Semuanya sesuai dengan konsep perkotaan Jakarta.
Costnyapun sesuai dengan standard jalan
lingkungan. Sehingga aspalnyapun tidak sebagus untuk aspal permukaan
jalan prokotol. Sehingga bus2 kecilpun, kemungkinannya tidak boleh
menggunakan jalan lingkungan seperti itu, apalahi bus2 pariwisata besar,
bahkan truk2 pengangkut material!
Tetapi balik lagi, bagaimana kenyataannya?
Di belakang kompleks rumahku,
adalah sebuah jalan lingkungan. Sering dipakai oleh Metro Mini.
Seharusnya hanya untuk angkot. Lalu, banyak bus pariwisata besar masuk
ke jalan tersebut dan truk2 besar pengangkut material banyak
berseliweran karena ternyata banyak toko2 material disana …..
Permukaan aspalnya sering rusak dan
ditambal2 swadaya masyarakat. Rusak lagi, rusak lagi. Metro Mini membuat
jalan lingkungan ini semakin macet, ditambah ketidakpedulian semuanya
untuk membuat jalan ini ‘berantakan’.
Dan aku sangat yakin, waktu
pengaspalan jalan2 seperti ini materialnya ‘dikurangi sehingga standard
dan prosedur’ pembuatan jalan lingkungan ini terabaikan.
‘Sense
of belonging’ masyarakat serta ketidak pedulian lingkungan setempat,
membuat standard jalanan lingkungan seperti ini menjadi STANDARD JALAN2
LINGKUNGAN DI JAKARTA. Dan yang lebih menyedihkan lagi, standard yang
sudah merosot, semakin merosot lagi, ketika aku mengamati bahwa ternyata
masih sering terjadi penggalian2 yang ‘tidak jelas’, dan untuk
menutupnya, hanya sekedar menutup saja, tanpa prosedur2 yang seharusnya
……
Ini baru bicara tentang ‘luar dan
permukaan jalan secara fisik saja’. Bagaimana dengan desain dan inti
permasalahannya saja?
Entahlah ……


Tentang Saya:

Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Hiiiii… Jalan Itu Berhantu! Ah, Masa’ sih?”
Posting Komentar