Selasa, 18 Februari 2014
Jejak Nostalgia : Berteman dengan Preman Tanah Abang
Selasa, 18 Februari 2014 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Berteman dengan preman Tanah Abang?
Wuuihhhhh …… tidak pernah kepikiran, dulu sewaktu masih menjadi ‘preman
proyek’, apalagi sekarang ……
Tetapi, itulah yang terjadi. Ketika
tahun 1997 sewaktu aku mempunyai banyak proyek desain dan interior
pribadi sementara aku tetap bekerja sebagai arsitek di perusahaan besar.
Mungkin tiap bulan aku mendapatkan tender 5 atau 6 proyek interior,
yang aku kerjakan bersama dengan mantan suamiku, dulu. Dan justru
proyek2 kecil kami inilah, yang bisa membiayaiku dalam kehidupan yang
mapan, secara tahun 1997 au masih sebagai arsitek junior di perusahaan
besar …..
Salah satu proyek interiorku adalah,
mendesain 1 toko untuk berjualan baju2 muslim yang lumayan besar, di
Ambassador Mall. Waltu itu, Ambassador Mall belum menjadi mall yang
menjual barang2 elektronik dan bergandengan dengan ITC Kuningan.
Ambassador Mall merupakan mall yang eksklusif, ditengah2 ‘Golden
Triangle’ di Jakarta.
Toko2nya berupa butik, dan aku dipercaya
sebagai desainer toko sekitar 95% disana! Ada butik baju2 mahal, ada 2
gallery yang membuat namaku melambung sebagai ‘arsitek muda berbakat’ di
kalangan tertentu, juga banyak toko2 parfum, asesoris, bahkan toko
buah.
Proyek butik yang berjualan baju2 muslim
mahal, yang katanya dari Timur Tengah, dimiliki oleh ibu Nesty. Bu
Nesty ini juga memounyai beberapa butik di beberapa mall, tetapi juga
mempunyai lapak PKL di Tanah Abang! Hehehehe ….. kadang2 aku bertanya
dalam hati,
“Kan sudah punya beberapa butik di
mall2 terkenal, kenapa harus berjualan di Tanah Abang? Di kaki lima,
lagi? Udah panas, sempit, banyak preman, lagi!”
Ya, aku memang tidak pernah mengerti,
mengapa bu Nesty mau melakukannya. Yang jelas beliau memang berdarah
Padang, dan jelas darah pedagang murni, yang selalu memikirkan berdagang
dan bebisnis, demi mencari uang yang lebih banyak lagi …..
Aku mendesain sampai bu Nesty puas
dengan desainku. Lalu mengerjakannya. Semua aku selesaikan hanya dalam
waktu 2 bulan. Sendiri mendesain, lalu dibantu 1 asistenku, Mas Nur
sebagai supervisor tukang, kami mencari material, membuat lemari2 di
workshop sampai selesai sebelm di kirim ke butik itu, untuk di tata.
Tiap termin, kami puas dan bu Nesty selalu membayarku sesuai dengan yang
sudah disepakati. Kami benar2 puas denan hasilnya.
Selesailah sudah, hari itu untuk bu
Nesty memeriknya pekerjaanku untuk terakhi kalinya. Dan aku sudah bisa
mengambil sisa uangku, dipotong masa pemeliharaan. Hmmmmm, lumayan.
Biasanya, termin terakhir adalah sisa yang menjadi keuntunganku. Lumayan
lebih dari 20%, dan tiap sisa termin membuat aku senang bukan main,
karena ini adalah untuk tabunganku …..
Bu Nesty pun puas dengan hasil kerjaku.
Sehingga ketika aku menagihkan termin terakhir itu, dia langsung
menyetujuinya. Jaman ini, belum ada ( atau sudah da tetapi aku bekum
punya ) ATM. Sehingga biasanya termin dibayar memakai cek atau giro,
atau bersama2 ke bank dan menyetor ke rekeningku.
Waktu itu sisa terminnya sekitar 30-an
juta. Sebuah jumlah yang sangat banyak, tahun 1997. Sisa pekerjaanku dan
tabunganku bertambah. Tetapi bu Nesty harus segera keluar kota, padahal
waktu itu sudah jam 3 sore. Tidak membawa cek atau giro, dan bank sudah
tutup. Kalau menunggu bu Nesty pulang, wahhh ….. batal deh tabunganku
untuk sedikit bersenang2. Jadi aku mau saja untuk mengambil uang sebesar
itu, cash, di lapak nya di Tanah Abang!
Aku tidak pernah takut, apalagi dulu aku
masih benar2 muda, mulai dikenal sebagai ‘preman proyek’, dan gaya ku
benar2 bukan Christie yang sekarang. Sehingga ketika aku ikut bu Nesty
menerobos PKL Tanah Abang dengan banyak orang2 yang ‘mengerikan ( wahhh
….. ini adalah benar2 preman, bukan ‘preman proyek’ seperti aku ).
Lapak bu Nesty berada di tengah2 PKL di
Tanah Abang. Lapaknya cukup besar, berjualan baju2 muslim. Pelanggannya
banyak sekali, penuh dan panas sekali! Namanya saja PKL, tanpa AC dengan
teriakan2 penjual yang membuat telinga ‘pengeng’.
Bu Nesty masuk ke pojok di dalam lapak.
Aku diminta mengikutinya. Bu Nesty duduk disana, membuka kotak besar,
yang ternyata isinya barang2 pribadinya, termasuk uangnya. Aku benar2
melihat sendiri, uang hasil berjualan di lapan itu banyak sekali! Bu
Nesty mengambil beberapa tumpuk, menghitungnya, dan memasukannya ke
amplop coklat besar. Dan ternyata sisanya masih terlihat banyak.
Berarti, berapa ya hasil berjualan PKL nya di Tanah Abang per-periodik
??? Duh …..
Bu Nesty tersenyum dan memberikan uang
itu kepadaku. Jantungku berdetak kencang. Aku hanya berpikir, bagaimana
aku berani keluar dan berjalan menuju mobilku, ketika dengan lantang bu
Nesty berteriak sebelum masuk ke lapak ini kepada seseorang,
“Bentar ya, aku mau bayar hutang nih, ke mba Christie. Habis bank sudah tutup!”
Wah wah wah … aku tidak yakin, yang
mendengar hanya orang itu, pasti banyak orang yang mendengarnya!
Setidaknya, pegawai2 lapak itu dan tetangganya pasti mendengarnya! Lalu,
pasti mereka tahu bahwa pembayaran ini lumayan besar! Dan aku tidak
berani dengan resikonya ……
Akhirnya, aku minta tolong bu Nesty
untuk menemaniku ke mobil. Bu Nesty kan sudah lama berdagang disana,
jadi pasti semuanya sudah mengenalnya, bahkan juga preman2nya. Bu Nesty
tertawa. Ya, dia bilang bahwa preman2 Tanah Abang sudah dikenalnya denan
baik sejak dia masih kecil dan lapak itu masih dipunyai orang tuanya.
Bu Nesty berteriak pada pegawainya,
untuk memanggilkan Joni. Datanglah Joni. Seorang pria besar, tattonya
banyak di lengannya, kulitnya hitam dan berwajah benar2 preman!
Hah? Aku harus berjalan dengannya????
Jujur, aku sedikit takut. Tetapi ketika bu Nesty mengenalkan aku sebagai
sahabatnya dan Joni adalah salah satu preman yang dikenalnya sejak
kecil, tiba2 aku merasakan tenang dan berani ……
Ya, preman ternyata tetap manusia biasa.
Dengan hati dan jiwa yang sama. Bedanya adalah hidupnya ‘keras’ sekeras
lingkungannya. Tetapi pada dasarnya, Tuhan tidak pernah menciptakan
manusia jahat!
Dengan berani setelah amplop uang itu
aku masukan ke tasku, aku berjalan beriringan dengan Joni, menyibak
kerumunan orang2 yang menyemut di Tanah Abang. Joni sering bertanya2 dan
tersenyum kepadaku. Wajah premannya memang kentara, tetapi tidak
melepaskan hatinya yang ternyata cukup lembut. Sambil ngobrol, aku
merasa tenang, dan Joni sebagai salah satu preman Tanah Abang, sudah
menyadarkan aku bahwa persahabatan itu memang tidak pernah membeda2kan
manusia …..
***
Sejak itu, sungguh aku benar2 belajar
untuk berteman dengan semua lapisan masyarakat. Dan sebagai ‘orang
lapangan’, aku memang membutuhkan banyak orang dengan berbagai latar
belakang, untuk menciptakan energi sukses dalam masing2 talenta orang2
disekelilingku. Dan Joni, menjadi salah satu ’sahabatku’, ketika aku
benar2 membutuhkan orang2 berwajah preman seperti dia, sebagai bodyguard
ku dalam mennghadapi rintangan yang selalu menghadang, di beberapa
proyek2ku …..
Ya, aku hanya seorang perempuan kecil,
yang memang banyak orang akan merendahkanku bahkan ‘memaksaku’ untuk
mundur dalam dunia bisnis yang aku jalani seperti ini, sebelum aku
stroke sekarang ini …..
Tags: Catatan Harian
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Jejak Nostalgia : Berteman dengan Preman Tanah Abang”
Posting Komentar