Selasa, 22 Mei 2012

Cerita Kremasi dan ‘Melarung’ Abu Jenazah ke Laut Selatan





By Christie Damayanti

13376822471907732498
spiritlife.blogspot.com
Beberapa orang, terutama sahabat dari keturunan Tiong Hoa, biasanya jika salah satu keluarganya meninggal minta untuk dikremasi ( pembakaran mayat ) saja. Aku tidak terlalu mengerti konsep pemikirannya tentang itu, tetapi yang jelas beberapa sahabatku, walaupun buka keturunan Tiong Hoa, tetap minta di kremasi arena tidak mau repot, membayar kuburan, digusur atau dari pada tidakada yang merawat …..

Ex suamiku dulu, adalah seorang keturunan Tiong Hoa dan beragama Katolik. Kata beberapa orang dalam referensiku, bahwa yang mengkremasi jenazah biasanya adalah dari kalangan Tiong Hoa dan Katolik. Bisa dilihat di beberapa Rumah Duka di Jakarta Barat atau di RS Carolus ( RS Katolik ), 20% – 30% jenazah akan dikremasi. Jika di Jakarta, ada 3 tempat yang dituju untuk pembakaran jenazah, yaitu Krematorium Cilincing Jakarta Utara, Kreamotirum Oasis Lestari Tangerang dn Krematorium Nirwana Bekasi.

Banyak tempat kremasi di kota2 besar lainnya selain Jakarta. Di Yogyakarta, tempat bekas ayah mertuaku almarhum tinggal, ketika beliau wafat, beliau di kremasi di Yayasan Wahana Mulya, di jalan Badran, Pingit Yogyakarta, dekat dengan jalan Tentara Pelajar. Ketika beliau wafat tahun 1993, kami belum menikah, dan sedang bersekolah di Australia, sehingga aku tidak melihat kegiatan kremasi bekas ayah mertuaku almarhum dari awal sampai di larung ke Laut Selatan di Pantai Parangtritis.

Aku hanya mendengar cerita tentang itu,dan tiba2 aku ingin sedikit mencari referensi tentang kremasi dan tentang melarung abu jenazah ke laut, seperti ayah mertuaku almarhum.

Cerita keluarga tentang kremasi dan melarung abu jenazah ke laut :

Begitu persiapan jenazah ayah mertuaku siap untuk dibakar, keluarga di Krematorium Wahana Mulya dipersilahkan duduk, tidak terlalu dekat dengan tungku pembakaran, karena jika terlalu dekat, akan panas sekali. Katanya, pembakaran jenazah memakan waktu sampai 2 jam jika menjadi abu. Keluarga ayah mertua almarhum harus terus menanti jenazah sampai menjadi abu. Karena, ketika api dalam tungku pembakaran mati, tempat jenazah mulai dikeluarkan dari tungku. 

Belum bisa dipegang karena sangat panas.
13376823241301879051
mysupernovablast.blogspot.com

13376823771648053958
igmaltahir.wordpress.com
Tungku pembakarang jenazah kuno dan modern.

Ketika sudah dingin, katanya sampai 30 menit, keluarga almarhum menghampiri jenazah tersebut, dan memukul tubuh jenazah yang sudah menjadi abu, tetapi tetap harus di baur kan, karena jika tidak, bentuk jenazah tersebut masih menyisakan tulang belulangnya yang keras, sehingga semua keluarga akan melebur semua jenazah menjadi abu, dan ditempatkan di sebuah guci.

Aku bisa membayangkan, ketika sseorang anak melihat orang tuanya meninggal, dan anak tersebut bukan hanya menguburkannya, tetapi harus membakar jenazahnya, membaurkannya sebagai abu jenazah dan melarungnya ke laut. Apa yang ada di pikiran dan hati anak itu? Walau dulu aku belum menikah, dengan cerita seoerti itu, sangat terasa beban hati dalam meninggalnya ayah mereka dan saudara mereka ……

Setelah abu jenazah sudah ada di dalam guci, selesai juga kegiatan kreamasi almarhum. Lalu, abu jenazah itu mau ditaruh kemana? Ada 2 tempat yang bisa dijadikan tempat abu jenazah almarhum, yaitu di tempatkan di sebuat tempat abu jenazah khusus disebut Kolumbarium atau di ‘buang’ atau di larung ke laut. Jika di tempatkan di Koumbarium, kita masih bisa berziarah seperti di kuburan, tetapi jika dilaryng ke laut, kita tidak bisa berziara lagi. Dan setelah kami menikah, setiap tahun kamu selalu ke pantai Parangtritis dengan tujuan untuk wisata dan untu menyebar bunga / menyekar seperti di kuburan …..

Abu jenazah ayah mertuaku almarhum, diinamkan semalam di Krematorium Wahana Mulya sebelum besok pagi, seluruh keluarga ke Parangtritis untuk melarung ke Laut Selatan.

Besok paginya, sesampainya di pantai Parangtritis, beberapa orang keluarga, dan semua anak2nya, naik ke ssebuah perahu nelayan, bergerak ke laut lepas. Sekitar beberapa puluh kilometer ( katanya, sampai pantainya terlihat sangat kecil ), anak2nya yang laki2, turun ke laut ( berenang ), meyambung tali pinggang dari guide yang mengurus larungan itu, dan kesemua anaknya supaya saling mendekatkan diri dan tidak terseret ombak. Sampai entah beberapa lama dan berapa jauh, tangan anak laki2 tertuanya membawa guci dengan abu jenazah ayahnya, untuk di ‘sambar’ ombak, dan guci itu bergerak menjauh ……

Hhhhhhh ….. mungkin aku tidak sanggup menyaksikan jika papaku di larung di laut, ketika papa menjauh, pasti hatiku akan hancur ….. betapa beratnya seorang anak melepas orang tuanya di sambar ombak, dan anak tersebut harus kembali lagi ke daratan …..

*****
Cerita diatas, tiba2 akuingat, ketika seorang ayah temanku meninggal dan ingin dikremasikan, sekitar 6 tahun lalu. Aku ingin ikut ke Krematorium Cilincing. Kami, aku dan teman2 sekantor, berbondong2 datang kesana. Seperti cerita keluargaku dulu, aku juga melihat tungku pembakaran besar, dan kami tidak boleh duduk terlalu dekat karena panas.

Tungku pembakaran itu, sering meletup2 dan mengeluarkan suara, seperti petasan. Selintas, aku mencium bau daging yang terbakar. Walaupun demikian, aku tdak merasa takut. Pembakaran jenazah, memakan waktu sekitar 2 jam.

Ketika sekitar 1 jam terakhir pembakaran jenazah akan berakhir, kami melihat ada yang bergerak! Sesuatu yang bergerak! Tungku itu mempunyai lubang sekitar 20 cm x 20 cm. Dan kami melihat jenazahnya ‘bangun’ …… sungguh, waktu itu, hatiku agak sedikit ngeri, apa yang terjadi??

Kata temanku yang memang sering mengkremasikan jenazah keluarganya, tubuh
jenazah itu memang bisa ;bangun’ lagi, ketika api membakar tulang belulang yang mengerut, sehingga tulang panggul jenazah tersebut mendapat tekanan keras dan perlahan ‘bangun’ sampai terduduk ….. dn beberapa sata kemudia, jenazah tersebut rebah lagi sampai pemakaran selesai …..

Setelah selesai, tempat almurhum dikeluarkan dari tungku pembakaran, dan membaur2kan abunya sampai menjadi serpihan2 kecil dan dimasukan ke sebuah guci. Almarhum disemayamkan di Kolumbarium …..
13376824611004635658
hidupkatolik.com
Ketika kta mempunyai banyak sahabat dan saudara dengan latar belakang ( etnis, agama, adat istiadat, suku bangsa, kebiasaan dan sebagainya ) yang sama sekali lain dengan latar belakang kita, tetaplah saling mengasihi, kareka bukan latar belakanglah yang membuat saling bermusuhan, karena ustru latar belakang bisa menjadi bukti bahwa Tuhan memang luar biasa, dengan menciptakan banyak latar belakang sebagai alat untuk terus saling mengasihi ……

Salam saling mengasihi …..



Tags:

1 Responses to “ Cerita Kremasi dan ‘Melarung’ Abu Jenazah ke Laut Selatan”

Anonim mengatakan...
6 Desember 2015 pukul 06.59

Saya setuju dengan pernyataan mbak Christie--> Tuhan memang luar biasa, dengan menciptakan banyak latar belakang sebagai alat untuk terus saling mengasihi.

Dengan memiliki teman, kawan dari latar belakang yang berbeda, kita semakin menyadari betapa hebatnya Tuhan itu.

Di Jakarta, keluarga bisa melarung abu di daerah Kepulauan Seribu dengan mencharter speedboat dari Marina Ancol. Bisa dibaca di artikel saya https://rentalspeedboat.wordpress.com/2013/12/19/apa-itu-larung-tabur-abu/


Posting Komentar

Subscribe

Berlangganan Artikel Saya

© 2013 Christie Damayanti. All rights reserved.
Designed by SpicyTricks