Rabu, 21 November 2012
Jakarta Bebas Banjir? Berusahalah untuk Mengelola ‘Ruang Terbuka Hijau!’
Rabu, 21 November 2012 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Kapankah ada Ruang Terbuka Hijau besar seperti ini di Jakarta ?
Bagaimana Ruang Terbuka Hijau ( RTH )
Jakarta? Konsep RTH Jakarta sesuai dengan peraturan sesuari Perda RDTR
adalah sekitar 30% dari luas wilayah. Tetapi, berapakah ternyata RTH di
Jakarta sekarang ini? Sangat jauh dibawah standrad, yaitu hanya 9%!
Tidak heran, ketika Jakarta dari dulu
sampai sekarang selalu dilanda banjir. Bayangkan, sebuah RTH adalah
media terserapnya air, tetapi RTH ini justru ‘disulap’ menjadi rumah,
ruko, parkir beton bahkan mall. Sehingga air huja yang sseharusnya
diserap tanah, mengalir ke tempat2 rendah. Dan ketika tempat2 rendah
sudah penuh dengan air, lalu airpun tetap mengalir, menuju kesemua
tempat, sehingga banjir melanda seluruh daerah Jakarta ……
Sekarang ini, memang sudah beberapa
pengembang yang mulai peduli dengan sebuah taman, dan membuat taman yang
bisa sebagai media penyerapan air. Tetapi, jika sebuah daerah sudah
penuh dengan bangunan atau pemukiman, mungkinkah kita ‘menggusur’ mereka
untuk dijadikan sebuah taman atau Ruang Terbuka Hijau? Aku kita sangat
sulit …..
Issue utama dari ketersediaan dan
kelestarian RTH, merupakan hal mutlak untuk ‘Jakarta Bebas Banjir’.
Sebenarnya, bukan kebutuhan tempat air huja mengalir saja dengan membuat
kanal2 atau sungai2 yang bebas sampah saja, melainkan RTH2 yang sesuai
dengan konsep luas daerah yang mengelilinginya, sehingga keseimbangan
antara tempat air mengalir ( misalnya, got, kanal, gorong2 ) dan
penyerapan air, sesuai dengan kebutuhannya secara alami.
Dampak negatif dari
optimalisasi RTH kota yang tidak memenuhi persyaratan jumlah dan
kualitas, akan berujung dengan menurunnya kenyamanan kota dan daya
dukung wilayah.
Misalnya, meningkatnya pencemaran kota,
ketersediaan air tanah menurun, suhu kota meningkat, serta tidak adanya /
kurangnya media penyerapan air. Setelah itu, pasti akan menurunnya
tingkat kesejahteraan masyarakat secara fisik dan psikis ( misalnya,
karena banjir, masyarakat akan kehilangan kegiatan seerta barang2nya,
serta penyakit melanda dimana2 ).
Bantaran sungai seharusnya merupaan
DAS tempat media penyerapan serta pengaman daerang sekelilingnya, tetapi
ini justru unttuk pemukiman padat …..
Bukan itu saja, dengan masalah2 diatas
akan menurunnya keamanan kota serta menurunnya keindahan alami perkotaan
( natural amenities ) serta benda2 ( dalam hal ini, pohon2 besar )
alami sejarah yang bernilai tinggi. Misalnya, pohon2 besar yang sudah
hidup ratusan tahun, harus ditebang karena daerah itu akan dibangun
perkantoran …..
Bagaimana dengan keterbatasan wilayah
perkotaan? Sebenarnya, jika semuanya sadar bahwa RTH adalah media yang
sangat vital bagi sebuah kota ( dalam hal ini untuk Jakarta ),
seharusnyalah masing2 dari kita ( dari pemerindah daerha sampai warga
negara yang terkecil ) berusaha untuk melestarikan RTH, sesuai dengan
fungsinya.
Misalnya, dalam sebuah kompleks
perumahan padat penghuni atau pada lahan terbuka dari sebuah apartemen
padat, biasanya taman2 yang ada justru ‘diambil’ oleh sekelompok warga
untuk didirikan lapak berjualan, seperti warung, atau tambah ban, atau
juga untuk kongkow2 warga yang ( biasanya juga ) tanah itu justru
ditutup dengan beton, sehingga taman yang sudah sangat kecil, menjadi
sama sekali menghilang …..
Coba lihat foto diatas, di salah
satu rumah susun padat di Jakarta. Sebenarnya, konsepnya di setiap
bangunan sekelilingnya merupakan tempat penyerapan air. Tetapi ternyata,
warga membuat bangunan bedeng untuk berjualan, sehingga RTH lagi2
terkalahkan …..
Belum optimalnya pemanfaatan lahan terbuka yang ada di kota untuk RTH fungsional. Jelas!
Seperti contoh diatas, biasanya memang di tempat padat penduduk, yang
lebih mengutamakan ‘lapak’ untuk menghasilkan uang ataupun ‘lapak’ untuk
membangun bedeng untuk tidur. Tetapi ternyata juga, bukan hanya wilayah
pemukiman padat penduduk saja yang ‘merusak’ RTH, melainkan warga
negara kelas atas yang berupaya ‘menutup’ tanah untuk dibangun sebuah
bangunan …..
Tidak heran jika sekarang ini hanya 9% RTH saja di Jakarta dari yang seharusnya 30% dari luas wilayah Jakarta.
Ketika pemda tahu dan mengerti tentang
sebuah RTH yang memang vital bagi warga kota Jakarta dengan membuat
konsep Tata Ruang, seharusnyalah pemda bisa mengantisipasinya untuk
membuat RTH2 sesuai dengan konsep idealnya. Tetapi kenyataannya, pemda
sendiri sangat lemah dalam pengeloloaan RTH kota. Salah satunya, dengan
sering lebih mementingkan salah satu pihak yang membjat RTH dikorbankan,
hanya demi sebuah ‘nilai’ yang tidak sesuai denga n dampak2 yang
ditimbulkannya …..
Belum adanya aturan hukum dan perundangan yang tepat srta belum terdapatnya tata kerja pengelolaan RTH yang jelas,
merupakan salah satu juga yang membuat RTH sangat rentan menjadi
bulan2an warga. RTH belum mempunyai pendukung sebagai media vital
perkotaan.
“Apa sih taman? Buat apa? Paling hanya untuk keindahan kota saja, kan? Mendingan untuk dijual saja, dapat uang …..”
Itu kira2 sekedar gambaran yang selalu
di katakan banyak warga, ketika mereka lebih merasa sebagai manusia yang
harusnya lebih ‘berkuasa’ dibandingkan sebuah taman ( RTH ). Sehingga,
lagi2 RTH akan tersingkirkan demi sebuah ego warga kota Jakarta …..
Di sebuah salah satu taman di Jakarta. Anak2 bisa bermain dengan baik, tanpa harus berkotor2 di jalanan
Pemda saja masih perlu digembleng dengan
konssep2 pikirnya dalam membuat konsep kota, salah satunya tentang RTH.
Sebenarnya, pemda yang bekerjsama dengan ‘orang2 pintar’ tentang urban
desain yang menghasilkan konsep Tata Ruang yang idealis untuk Jakarta.
Tetapi, justru oknum2 yang lebih mementingkan beberapa warga atau
golongan, yang membuat RTH atau permasalahan apapun, menjadi sangat
tidak berimbang, sehingga RTH menjadi media vital nomor kesekian bagi
hampir semua warga kota …..
Apalagi dengan warga kotanya ….. Lemahnya persepsi masyarakat serta pengertian masyarakat dan warga kota Jakarta tentang RTH,
menjadikan RTH memang merupakan semuah media yang sebenarnya sangat
vital, tetapi menduduki nomor kesekian dalam tatanan kehidupan warga
perkotaan, walaupun juga Tata Ruang kota sudah menjadikan RTH sebagai
media vital perkotaan.
Coba lihat foto diatas, bagaimana
banjir tidak menggenangi pemukiman padat penduduk seperti ini? Sama
sekali tidak terlihat TANAH apalagi RTH. Semuanya pasti tertutup beton
…..
‘Jakarta Bebas Banjir’ menurutku,
mungkin hanya slogan omong kosong saja, jika kesadaran masyarakat serta
warga perkotaan khususnya Jakarta, tetap tidak peduli dengan
lingkunganya. Tuhan sudah menciptakan yang terbaik bagi manusia. Kanal2,
got atau gorong2, adalah hasil pekerjaan manusia. Tetapi Tuhan sudah
menciptakan siklus alami yang luar biasa. Bahwa media tanah merupakan
‘predator’ air hujan dalam penyerapan, sehingga air yang diserap dalam
tanah berulang lagi menjadi air hujan. Ini adalah siklus alami.
Ciptaan Tuhan memang dasyat.
Sehingga jika konsep siklus alami tidak di indahkan oleh siapapun,
hasil pekerjaan manusia ( kanal, got, gorong2 ) suatu saat, tetap tidak
akan mampu untuk mengatasi banjir ……
Sekarang, berusahalah untuk ‘membuka
tanah dari beton’, untuk air hujan terserap semaksimal mungkin, dan
tetap berusaha untuk menjadikan lingkungan perkotaan dan lingkungan kita
lebih terbuka sebagai Rung terbuka Hijau …..
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Jakarta Bebas Banjir? Berusahalah untuk Mengelola ‘Ruang Terbuka Hijau!’”
Posting Komentar