Selasa, 30 Juli 2013
Apakah Pemda Jakarta Harus Terus ‘Merangkul’ PKL?
Selasa, 30 Juli 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti

www.tempo.co
Sebuah kota, bisa menjadikan tempat
tinggal warga kota atau hany untuk sekedar bekerja atau berdagang saja,
itu tergantung dari konsep perkotaannya. Ada kota2 yang sengaja di
desain, hanya untuk bekerja dalam pemerintahan, misalnya Washington DC
atau Canberra. Ada juga kota yang sebenarnya berkobsep untuk bisnis,
Manhattan New York , walau semuanya tetap mempunyai area hunian yang
terbatas.
Sebuah kota juga merupakan tempat
interaksi bagi tatanan kehidupan, dari manusianya ataupun fasilitas2nya.
Semuanya saling berhubungan dan saling melengkapi. Seperti di tulisanku
sebelumnya Menampung ‘PKL Tanah Abang’ : Sedikit Konsep Dariku,
bahwa walau kita nyaman untuk berjalan2 di mall2 mewah, tetapi jika
untuk berbelanja kita tetap memilih mall2 lingkungan saja, bahkan
memilih berbelanja di pasar2 grosiran saja. Bahwa mall2 mewah itu hanya
untuk ‘belanja mata’ saja, bersama keluarga, ‘ngadem’ istilahnya …..
Secara kontras adalah, ketika Grand
Indonesia dan Plaza Indonesia yang berada di Bundaran HI sebagai pusat
kemewanan, mall kelas perkotaan ( lihat tulisanku Memangnya Jakarta Mau Diubah Menjadi ‘Kota Shopping?’ )
‘di sejajarkan’ dengan Thamrin City serta Tanah Abang yang merupakan
pasar grosir kelas mengeah kebawah, merupakan konsep kota yang (
menurutku ) agak amburadul! Bukan aku ingin mengatakan bahwa Thamrim
City dan Tanah Abang bukan selevel Grand Indonesia atau Plaza Indonesia,
tetapi yang ingin aku katakan bahwa, masing2 ada ‘market’nya.
Banyak juga ibu2 pejabat datang ke
Thamrin City dan ke Tanah Abang untuk berbelanja dibanding dengan mall2
mewah, karena menurut mereka barang2 disana lebih menarik dan lebih
murah! Jadi, semuanya ada ‘marketnya’, walau untuk sebuah konsep
perkotaan seharusnya membuat konsep yang komprehensif, sesuai dengan
zonning kegiatan masing2 warga kota ( lihat tulisanku Ketika ‘Zonning’ Kegiatan Warga Jakarta Berbicara ).
Pedagang kaki lima ( ekonomi
lemah ) serta pemilik toko dan butik ( ekonomi kuat ) dan calon2
pembeli, semuanya berdampingan dalam sebuah kegiatan dan aktivitas
jual-beli dalam 1 wadah fisik. Dan dengan memanfaatkan kedua sisi
’sosial ekonomi lemah dan kuat’, ruang arsitektural bisa memberikan
suatu penataan lingkungan binaan yang lebih baik dari sebelumnya,
ASALKAN semuanya dibuatkan sebuah kobsep yang komprehensif.
Karena jika tidak, ruang arsitektural antara sisi sisoal ekonomi lemah
dan kuat tersebut, semakin tidak beraturan dalam menata lingkungan
binaan perkotaan, khususnya Jakarta.
Antara ruang kedua sisi tersebut,
sebainya dipisahkan oleh sebuah sirkulasi. Bukan untuk pembatasan
perbedaan secara materi, tetapi lebih kearah perbedaan ruang
arsitekturalnya. Untuk ruang bagi pedagang kaki lima ( PKL ), secara
arsitektural sudah ditentukan luasan masing2 pedagang, karena jika tidak
mereka akan berebut untuk terus mencari lahan2 lebih besar dibanding
pesaingnya.
Begitu juga untuk PKL-PKL yang biasanya menjual berbagai
jenis barang tanpa pembatasan perbedaan, mereka akan terus ‘merasak’
atau memperluas daerhnya, bahkan sampai ke emperan2 toko atau trotoar,
jika tidak ada peraturan2 yang menyebutkan luas tempat mereka berjualan.
Artinya, mereka harus ‘membeli’ lapak
untuk tempat mereka berjualan, sesuai dengan perjanjian mereka dengan si
pemilik lapak atau langsung kepada pemda. Dan itu harus ada penangan
khusus secar arsitektural …..
Penataan PKL memang tidak banyak
alternatif. Selain namanya saja ‘pedagang kaki lima’, mereka juga tidak
akan mamppu atau tidak mau untuk menyewa toko. Mereka lebih memilih
berdagang di emperan2 toko atau di trotoar2 jalan yang akan menghambat
pedestrian atau pejalan kaki. Alternatif mereka adala membuat sebuah
ruang terbuka untuk publik, dimana bisa ‘menyerap’ calon2 pembeli yang
khusus untuk membeli. Tetai tetap memprioritaskan optimalisasi ruang
publik bagi pejalan kaki!
Itu harus berhubungan dengan penataan
seerta bentuk2 artistik secara arsitektural, lapak2 para PKL serta
fasilitas2 perabot arsitektural dan yang jeas untuk mendukung kegiatan
transaksi pedaangan para PKL tersebut, sehingga PKL bukan hanya sekedar
mencari uang saja tanpa peduli dengan lingkungannya, tetapi mereka juga
di ‘temani’ oleh fasilitas2 arsitektural yang manusiawi.
Ruang terbuka publik yang baru ini, sebagai tempat para PKL bia juga berhubungan dengan penataan ruang terbuka perkotaan.
Kesemrawutan para PKL sebelum di tata ulang, oleh arsitek atau urban
planner bisa diwujudkan sebagai pengisian tatanan ruang kota yang
kesemuanya mampu mem-tranformasikan bentuk2 baru bagi kota.
Jika toh Pak Jokowi merelokasi mereka
dalam sebuah gedung bagus, bukan lagi di ruang terbuka, semua sah-sah
saja. Konsepnya tetap harus komprehnsif, untuk sebuah ruang publik dalam
ruangan.
PKL adalah fenomena kota2 besar apalagi
Jakarta yang menjadi ‘gula’ bagi warga2 kota disektarnya, bahkan dari
jauh. Jika urbanisasi tidak terbendung, masyarakat yang sudah berada di
Jakarta dan tidak mampu mencari pekerjaan yang layak, mereka akan mulai
menggesr tatanan hidup mereka untuk yang lebih ‘rendah’. Salah satuya
adalah menjafi PKL, walau masih untung tidak menjadi preman dan
penjahat2 kelas teri. Tetapi itupun tetap harus di’rangkul’ untuk
peraturan2 yang semakin lama semakit mereka tidak peduli.
***
Kepedulian pemda, pak Jokowi
dan pak Ahok, bukan berarti mereka menyilahkan para PKL untuk bisa
berdagang sebebas2nya tanpa peraturan. Tetapi juga mereka harus
meng-edukasi PKL untuk peduli dengan lingkungannya, sesuai dengan
peraturan2 standard perkotaan.
Tetapi karena mereka
semakin lama semakin banyak serta membuat mereka semakin tidak peduli
lingkungannya, pemda mau tidak mau utuk turun tangan dalam bernegosiasi
dalam berdagang. Tidak peduli berapa banyak mereka, tetapi pemda terus
membangun ‘konsep kepedulian’ warga.
PKL ini timbul karena memang tidak ada
mata pencaharian bagi mereka. Aku juga yakin, jika mereka boleh memilih
mereka tidak akan mau berdagang di emperan trotar jalan. Mereka akan
memilih berdagang di toko2 atau justru berkantor di perkantoran elite
Jakarta.
Dan kepedulian warga Jakarta, harus
terus ditanamkan untuk memberi ruang arsitektural bagi PKL, sehingga
tatanan kota Jakarta mampu menyerap kenyamanan bagi warga kota. Semuanya
demi kesejahteraan bersama, dan bagi kota Jakarta sebagai kota tempat
tinggal kita …..


Tentang Saya:

Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Apakah Pemda Jakarta Harus Terus ‘Merangkul’ PKL?”
Posting Komentar