Selasa, 30 Juli 2013

Apakah Pemda Jakarta Harus Terus ‘Merangkul’ PKL?



By Christie Damayanti


13751775571786559248
www.tempo.co

Sebuah kota, bisa menjadikan tempat tinggal warga kota atau hany untuk sekedar bekerja atau berdagang saja, itu tergantung dari konsep perkotaannya. Ada kota2 yang sengaja di desain, hanya untuk bekerja dalam pemerintahan, misalnya Washington DC atau Canberra. Ada juga kota yang sebenarnya berkobsep untuk bisnis, Manhattan New York , walau semuanya tetap mempunyai area hunian yang terbatas.

Sebuah kota juga merupakan tempat interaksi bagi tatanan kehidupan, dari manusianya ataupun fasilitas2nya. Semuanya saling berhubungan dan saling melengkapi. Seperti di tulisanku sebelumnya Menampung ‘PKL Tanah Abang’ : Sedikit Konsep Dariku, bahwa walau kita nyaman untuk berjalan2 di mall2 mewah, tetapi jika untuk berbelanja kita tetap memilih mall2 lingkungan saja, bahkan memilih berbelanja di pasar2 grosiran saja. Bahwa mall2 mewah itu hanya untuk ‘belanja mata’ saja, bersama keluarga, ‘ngadem’ istilahnya …..

Secara kontras adalah, ketika Grand Indonesia dan Plaza Indonesia yang berada di Bundaran HI sebagai pusat kemewanan, mall kelas perkotaan ( lihat tulisanku Memangnya Jakarta Mau Diubah Menjadi ‘Kota Shopping?’ ) ‘di sejajarkan’ dengan Thamrin City serta Tanah Abang yang merupakan pasar grosir kelas mengeah kebawah, merupakan konsep kota yang ( menurutku ) agak amburadul! Bukan aku ingin mengatakan bahwa Thamrim City dan Tanah Abang bukan selevel Grand Indonesia atau Plaza Indonesia, tetapi yang ingin aku katakan bahwa, masing2 ada ‘market’nya.

Banyak juga ibu2 pejabat datang ke Thamrin City dan ke Tanah Abang untuk berbelanja dibanding dengan mall2 mewah, karena menurut mereka barang2 disana lebih menarik dan lebih murah! Jadi, semuanya ada ‘marketnya’, walau untuk sebuah konsep perkotaan seharusnya membuat konsep yang komprehensif, sesuai dengan zonning kegiatan masing2 warga kota ( lihat tulisanku Ketika ‘Zonning’ Kegiatan Warga Jakarta Berbicara ).

Pedagang kaki lima ( ekonomi lemah ) serta pemilik toko dan butik ( ekonomi kuat ) dan calon2 pembeli, semuanya berdampingan dalam sebuah kegiatan dan aktivitas jual-beli dalam 1 wadah fisik. Dan dengan memanfaatkan kedua sisi ’sosial ekonomi lemah dan kuat’, ruang arsitektural bisa memberikan suatu penataan lingkungan binaan yang lebih baik dari sebelumnya, ASALKAN semuanya dibuatkan sebuah kobsep yang komprehensif. 

Karena jika tidak, ruang arsitektural antara sisi sisoal ekonomi lemah dan kuat tersebut, semakin tidak beraturan dalam menata lingkungan binaan perkotaan, khususnya Jakarta.

Antara ruang kedua sisi tersebut, sebainya dipisahkan oleh sebuah sirkulasi. Bukan untuk pembatasan perbedaan secara materi, tetapi lebih kearah perbedaan ruang arsitekturalnya. Untuk ruang bagi pedagang kaki lima ( PKL ), secara arsitektural sudah ditentukan luasan masing2 pedagang, karena jika tidak mereka akan berebut untuk terus mencari lahan2 lebih besar dibanding pesaingnya. 

Begitu juga untuk PKL-PKL yang biasanya menjual berbagai jenis barang tanpa pembatasan perbedaan, mereka akan terus ‘merasak’ atau memperluas daerhnya, bahkan sampai ke emperan2 toko atau trotoar, jika tidak ada peraturan2 yang menyebutkan luas tempat mereka berjualan.

Artinya, mereka harus ‘membeli’ lapak untuk tempat mereka berjualan, sesuai dengan perjanjian mereka dengan si pemilik lapak atau langsung kepada pemda. Dan itu harus ada penangan khusus secar arsitektural …..
Penataan PKL memang tidak banyak alternatif. Selain namanya saja ‘pedagang kaki lima’, mereka juga tidak akan mamppu atau tidak mau untuk menyewa toko. Mereka lebih memilih berdagang di emperan2 toko atau di trotoar2 jalan yang akan menghambat pedestrian atau pejalan kaki. Alternatif mereka adala membuat sebuah ruang terbuka untuk publik, dimana bisa ‘menyerap’ calon2 pembeli yang khusus untuk membeli. Tetai tetap memprioritaskan optimalisasi ruang publik bagi pejalan kaki!

Itu harus berhubungan dengan penataan seerta bentuk2 artistik secara arsitektural, lapak2 para PKL serta fasilitas2 perabot arsitektural dan yang jeas untuk mendukung kegiatan transaksi pedaangan para PKL tersebut, sehingga PKL bukan hanya sekedar mencari uang saja tanpa peduli dengan lingkungannya, tetapi mereka juga di ‘temani’ oleh fasilitas2 arsitektural yang manusiawi.

Ruang terbuka publik yang baru ini, sebagai tempat para PKL bia juga berhubungan dengan penataan ruang terbuka perkotaan. 

Kesemrawutan para PKL sebelum di tata ulang, oleh arsitek atau urban planner bisa diwujudkan sebagai pengisian tatanan ruang kota yang kesemuanya mampu mem-tranformasikan bentuk2 baru bagi kota.

Jika toh Pak Jokowi merelokasi mereka dalam sebuah gedung bagus, bukan lagi di ruang terbuka, semua sah-sah saja. Konsepnya tetap harus komprehnsif, untuk sebuah ruang publik dalam ruangan.

PKL adalah fenomena kota2 besar apalagi Jakarta yang menjadi ‘gula’ bagi warga2 kota disektarnya, bahkan dari jauh. Jika urbanisasi tidak terbendung, masyarakat yang sudah berada di Jakarta dan tidak mampu mencari pekerjaan yang layak, mereka akan mulai menggesr tatanan hidup mereka untuk yang lebih ‘rendah’. Salah satuya adalah menjafi PKL, walau masih untung tidak menjadi preman dan penjahat2 kelas teri. Tetapi itupun tetap harus di’rangkul’ untuk peraturan2 yang semakin lama semakit mereka tidak peduli.

***

Kepedulian pemda, pak Jokowi dan pak Ahok, bukan berarti mereka menyilahkan para PKL untuk bisa berdagang sebebas2nya tanpa peraturan. Tetapi juga mereka harus meng-edukasi PKL untuk peduli dengan lingkungannya, sesuai dengan peraturan2 standard perkotaan. 

Tetapi karena mereka semakin lama semakin banyak serta membuat mereka semakin tidak peduli lingkungannya, pemda mau tidak mau utuk turun tangan dalam bernegosiasi dalam berdagang. Tidak peduli berapa banyak mereka, tetapi pemda terus membangun ‘konsep kepedulian’ warga.

PKL ini timbul karena memang tidak ada mata pencaharian bagi mereka. Aku juga yakin, jika mereka boleh memilih mereka tidak akan mau berdagang di emperan trotar jalan. Mereka akan memilih berdagang di toko2 atau justru berkantor di perkantoran elite Jakarta.

Dan kepedulian warga Jakarta,  harus terus ditanamkan untuk memberi ruang arsitektural bagi PKL, sehingga tatanan kota Jakarta mampu menyerap kenyamanan bagi warga kota. Semuanya demi kesejahteraan bersama, dan bagi kota Jakarta sebagai kota tempat tinggal kita …..

Tags:

0 Responses to “Apakah Pemda Jakarta Harus Terus ‘Merangkul’ PKL?”

Posting Komentar

Subscribe

Berlangganan Artikel Saya

© 2013 Christie Damayanti. All rights reserved.
Designed by SpicyTricks