Selasa, 30 Juli 2013
Menampung ‘PKL Tanah Abang’: Sedikit Konsep Dariku
Selasa, 30 Juli 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Dilihat dari lokasinya, Tanah Abang
berada di tengah-tengah Kota Jakarta, berjarak hanya 1 blok dari Jalan
Thamrin, yang artinya dekat dengan pusat bisnis dan perkantoran.
Sementara Tanah Abang sendiri merupakan tempat pedagangan dan grosir
pakaian (terutama) dan menjual kebutuhan-kebutuhan dasar nonmakanan
walaupun ada juga beberapa blok menjual makanan. Sebuah lokasi yang
strategis untuk bejualan. Untuk calon pembeli pun, sangat strategis.
Pada kenyataannya, ketika aku masih
sehat untuk mampu berjalan kaki berkeliling kota, sering aku bersama
beberapa temanku ‘berbelanja mata’ di mall keren di seputar Buderan HI,
yaitu Grand Indonesia atau Plaza Idonesia. Itu benar-benar hanya sekedar
berjalan-jalan sambil kongkow.
Tetapi ketika kita benar-benar ingin
berbelanja secara fisik, apalagi untuk dibagi-bagikan bagi banyak orang
(misalnya, untuk Lebaran atau Natal), kami langsung ke lokasi grosir
Tanah Abang. Barang-barangnya cukup bagus dan tidak mahal. Kain-kain dan
desain-desainnya lumayan berkelas, apalagi jika kita benar-benar
memilih secara detail, Tanah Abang benar-benar surga bagi perempuan.
***
Secara perkotaan, lokasi Tanah Abang
benar-benar strategis, baik bagi pedagang maupun bagi calon pembeli.
Tidak salah jika tempat itu menjadi ‘gula’ dan ’semut-semut’ terus
menyerbu. Tetapi lokasi strategis itu ternyata hanya untuk mencari
keuntungan bagi diri sendiri. Bagi pedagang yang menjual dagangannya,
ataupun bagi calon pembeli. Yang lain mempunyai strandar untuk
‘menguntungkan’ diri sendiri, dengan caranya masing-masing.
Misalnya,
- Angkot-angkot yang sembarangan untuk mencari penumpang
- Pedagang-pedagang kaki llima (PKL)
yang benar-benar tidak peduli lingkungan sehingga mereka berani
berjualan di jalanan, bahkan semakin menutupi jalanan
- Preman-preman sebagai mafia yang terus menggelontorkan keinginan untuk terus mencari untung sebanyak-banyaknya
- Penjahat-penjahat kelas teri bahkan sampai kelas paus, pun terus mengincar
- Dan pemda pun kebagian ‘cipratan’ rejeki dari siapa pun yang ingin terus ‘berbagi’ dalam keegoisan manusia.
Tidak salah juga, Tanah Abang semakin
tergerus hanya untuk berjualan, tanpa peduli dengan tempat untuk
berkumpul dengan keluarga. Konsepnya memang jelas, Tanah Abang sebagian
besar untuk lokasi grosir dan pasar. Bukan untuk mall, ataupun untuk
perkantoran.
Apalagi untuk tempat tinggal. Tetapi seiring dengan
perkembangan kota Jakarta, Tanah Abang bukan hanya untuk grosir dan
pasar, tetapi beberapa titik disulap menjadi perkantoran dan beberapa
hotel. Jika ditengarai, perkantoran dan hotel-hotel itu pun sebagai
fasilitas bagi pedagang-pedagang. Untuk tempat menginap bagi pegadang
atau pembeli dari luar kota atau bank-bank yang melayani transaksi
perdagangan.
Pasar dan grosir Tanah Abang hanya
berbatas dengan 1 jalan utama lingkungan, yaitu Jalan KH Mas Masyur.
Sebuah jalan sedang untuk 2 mobil dengan 2 arah, tetapi seringkali jalan
tersebut hanya bisa untuk 1 mobil saja karena PKL menjajakan
dagangannya di jalanan. Sudah karena memang padat, PKL menjadikan jalan
tersebut 100% macet! Bisa 1 harian hanya melewati jalan tersebut!
Apalagi jika ada barang-barang dagangan dari luar kota atau luar negeri,
‘loading-unloading’ sangat sembarangan! Berhenti sembarangan, tidak
peduli dengan pengguna jalan lainnya, apalagi jika kita hanya
mengendarai mobil pribadi.
Untuk sebuah jalan lingkungan sedang
dengan 2 mobil di lingkungan perdagangan seperti Tanah Abang ini,
seharusnya mempunyai konsep2 standard. 2 jalur mobil dan masing2 2
mobil, di tengah-tengahnya seharusnya mempunyai batasan jalan. Konsepnya
untuk space memutar balik, dan untuk beberapa fasilitas perkotaan:
- Ruang Terbuka Hijau (walau hanya kecil saja, tetapi harus benar-benar tertutup tanah untuk penyerapan, bukan beton)
- Pohon2 kelas 2 (pohon sedang dan perdu)
- Tiang listrik untuk penerangan (di tengah-tengah jalan, bukan di sisi jalan)
Minimal itu. Dan itu adalah fasilitas
jalan utama lingkungan, sesuai dengan strandard jalan. Begitu juga untuk
sisi kanan dan kiri jalan. Tidak usah besar-besar, sebuah pedestrian
untuk 2 orang berjalan berpapasan, seharusnya ada di jalan utama
lingkungan.
Dan di sisi-sisi jalan selalu ada
selokan dengan kedalaman tertentu (tergantung dengan lebar jalan dan
panjang jalan, untuk menampung air hujan). Dan di jalan seperti ini,
mobil tidak boleh berhenti dalam waktu lama (S strip), tetapi hanya
berhenti sementara saja (P strip). Konsepnya adalah demikian. Tetapi apa
yang tejadi?
Seperti yang kita tahu di Tanah Abang, PKL berjubel tidak terkontrol, membuat jalan benar-benar macet tidak karuan!
Lama-lama, jalan KH Mas Mansyur hanya bisa untuk pejalan kaki saja!
Jika demikian, silahkan saja! Buatlah konsep Jalan KH Mas Mansyur sebagai:
- Fully pedestrian, seperti Pasar Baru.
- Lalu mencari titik-titik balik kendaraan, bagaimana konsep perparkirannya,
- Bagaimana jalan tersebut bermuaranya.
- Jika memang demikian,
‘loading-unloading’ dari truk-truk yang memuat barang-barang dagangan,
arus dari belakang pasar, dibuat jalan khusus hanya untuk
‘loading-unloading’.
Lalu bagaimana PKL-nya. Yang jelas, jika
memang untuk pedestrian murni, PKL lebih nyaman, tetapi tetap harus
diarahkan untuk tidak melewati ‘batas’ yang disarankan, seperti di Pasar
Baru atau di tulisanku ini Konsep Penataan Malioboro : Pedestrian dengan Ciri Khas Kota Yogyakarta.
Fully pedestrian, untuk menampung PKL dan calon pembeli di Tanah Abang
Konsep Pasar dan grosir Tanah Abang,
sepertinya harus bisa menjadi ‘landmark’ Jakarta. Artinya, Tanah Abang
itu merupakan pasar atau lokasi yang dari dulu ada di sana, sehingga
banyak orang mengatakan bahwa warga Betawi asli, salah satunya dari dulu
berada di Tanah Abang. Artinya lagi, Tanah Abang bisa dijadikan
‘monumen’ atau lokasi dan jalan monumental, seperti Malioboro di
Jagjakarta! Untukku, ini adalah konsep yang menarik!
Untuk sebuah ibukota Jakarta, ada budaya yang bisa diusung bagi wisata lokal serta dunia.
Budaya
Betawi, bisa memberikan ciri khas Tanah Abang untuk dijadikan ‘lokasi
monumental Jakarta’, dengan apa adanya. Dengan pasar dan grosir Tanah
Abang, termasuk PKL-nya. Tetapi semuanya harus tetap diatur dan tidak
seenaknya saja! Peraturan-peraturan harus tetap ditegakkan, tetapi
keuntungannya jelas bahwa PKL bisa leluasa berdagang di sana.
Ini sedikit konsep dariku.
Daripada
pemda bingung untuk merelokasi PKL dan warga PKL serta warga Jakarta
‘misuh-misuh’ karena tidak bisa berdagang lagi, tidak ada salahnya
merombak lokasi Pasar dan grosir Tanah Abang menjadi PEDESTRIAN MURNI,
untuk ‘win-win solution’. Tetapi tetap harus konsep yang komprehensif,
ya!
Tidak gampang, memang! Ada yang harus
dikorbankan, setidaknya, kita harus meriset segala fasilitas-fasilitas
di sana untuk area perparkiran, ‘loading-unloading’, serta beberapa
bangunan harus dirubuhkan untuk menjadi jalan dan fasilitas-fasilitas
tersebut.
Tetapi, sangat tidak salah jika kita mau mencoba untuk melayani masyarakat, demi kebersamaan warga Jakarta.
Bagaimana, pak Jokowi? Bagaimana, pak Ahok?
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Menampung ‘PKL Tanah Abang’: Sedikit Konsep Dariku”
Posting Komentar