Jumat, 22 Agustus 2014
Mencoba Sepatu Kayu Ala Noni Belanda
Jumat, 22 Agustus 2014 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Pabrik sepatu kayu Belanda, atau sering
disebut ‘Clog’ atau wooden shoes di Marken, memang bukan seperti pabrik
biasa. Pekerjanya pun hanya beberapa orang saja. Tidak ada mesin2 yang
memakan daya besar, bahkan hanya ada 2 mesin tanpa daya listrik saja,
yaitu mesin pemotong kayu dan mesin penyerut kayu. Itupun daya nya
adalah dari si pembuat sepatu.
Namanya saja pabrik tradisional. Sepatu2
kayu Belanda sudah ada sejak jaman dahulu, dimana waktu itu pin belum
ditemukan listrik. Jadi, ketika Holland sudah mempunyai listrik, tidak
sedikit pabrik pembuat sepatu kayu pun yang tetap memakai alat2
tradisional.
Saat itu, ada 2 pembuat sepatu kayu
Belanda, atau clog, yang kesemuanya adalah noni2 Belanda. Mereka besar
dan kekar, tangannya berotot, mungkin karena sejak kecil mereka bergumul
dengan pembuatan clog. Wajah mereka ramah, mereka selalu tersenyum. Pun
mereka kadang2 memakai clog buatan sendiri serta memakai baju
tradisional mereka. Tetapi sering kali kata mereka, memakai baju
bengkel, untuk mempermudah pekerjaan mereka.
Si noni pembuat sepatu Belanda.
Alat2nya sebagian besar masih tanpa listrik, sehingga si pembuat sepatu
terlihat tangannya kekar, karena harus mengoperasikan alat itu sendiri
……
Ternyata membuatnya sangat mudah!
Memang, tidak semua orang berpikir begitu. Tetapi ketika aku mengamati
presentasi pembuatan clog, aku justru terinspirasi banyak hal. Mereka
mampu membuat sepatu dari kayu, memakainya, dijual secara lokal bahkan
nasional, dan menjadi ‘aset’ negara mereka dalam dunia pariwisata.
Berbagai jenis ‘terompah’ Belanda, berdasarkan kota pembuatnya
Mereka mampu dan berhasil mendidik generasi
muda mereka untuk menghargai serta justru mengembangkan clog, dan
sampai sekarang pun, aku sangat tertarik untuk selalu membeli souvenir
clog ini.
Presentasi tidak memakan waktu lama. Si
noni Belanda mempresentasikan bagaimana dari sebuah gelondongan kayu
sekitar sebesar telapak kaki, dipotong2 sesuai kira2 cukup nyaman untuk
sebuah sepatu.
Foto atas, adalah sepatu2 yang sudah dipotong, di bentuk khas ‘terompah’ Belanda dan langsung digantung untuk mengeringkannya.
Foto dibawahnya, sepatu2 yang sudah
mulai di amplas dan diberi warna dasar, sebelum 100% kering dan bisa di
desain warna dan asesorisnya.
Setelah itu, potongan2 kayu itu, dalamnya
dipahat dan dibuang, untuk meletakan telapak kaki kita. Sedemikian
sehingga cukup nyaman. Lalu di sekeliling sepatu itu pun di pahat dan
diserut, sesuai keinginan. Karena clog ini sedah ‘pakem’ sengan
bentuknya, clog tidak akan keluar dari pakemnya. Ujung sepatunya runcing
dan finishing yang cukup diserut rapi.
Jadilah sepasang clog, lalu di gantung
selama beberapa hari untuk dikeringkan. Karena sepotong kayu adalah
benar2 baru ditebang dari hutan ( jaman dahulu ) sehingga belum kering.
Jika sudah kering, susutlah clog tersebut, sekitar 10%, dan barulah
sepatu2 itu diberi warna, lukisan atau apapun yang dikehendakinya.
Mungkn setelah 20 menit di ruang presentasi
pembuatan clog, kami digiring ke tempat penympanan clog yang sudah
kering, tetapi belum di hias. Clog2 itu benar2 masih mentah, dari kayu
hutan dan siap untuk di hias, sebagai hadiah, dijual atau untuk mereka
sendiri.
Beberapa turis mencobanya. Beberapa juga
memesannya untuk di hias sesuai dengan keinginannya. Ruangan itu ramai
dengan tawa dan canda. Aku pun ingin mencoba, tetapi susah untuk
melakukannya. Pertama, karena kakiku kecil ( ukuran maksimal 37 ), tidak
ada yang kecil. Kedua, cloh cukup berat dan kaki kananku tidak mampu
mengangkatnya, karena memang lumpuh.
Michelle mencoba clog, dengan riang …..
Aku tertarik ketika Michelle ingin
mencobanya. Walau dia masih berumur 14 tahun, tetapi tubuhnya bongsor
tinggi, tetapi kurus. Telapak kakinya saja ukurannya 40. Sehingga, dia
bebas memilih dan mencobanya.
Mulanya, Michelle ragu untuk mencobanya ……
Mulanya, dia malu2 untuk mencoba. Satu
kakinya dulu. Dipatut2nya, sebelum aku mendorongnya untuk memakai clog
sebelahnya lagi. Agak lama dia mematut2nya. “Berat,” katanya, tetapi tawanya membuat wajahnya sumringah.
Lama2 dia merasa nyama dan senang
dan mulai berjalan2 dengan sepatu kayunya. Jika tidak berat,mungkin aku
membelinya. Clog itu ternyata berat dan besar. Sebenarnya harganya tidak
terlalu mahal, untuk sebuah sepatu dan souvenir dari Holland …..
Lalu dia berjalan2 dengan kedua clog nya.
Hilir mudik sambil bercanda dengan Dennis, yang meledek2nya. Kedua
anakku, kaka beradik, bercanda riang. Dennis menggelitik Michelle dan
Michelle berteriak2. Terlihat sangat bahagia …..
Dari ruang ‘mencoba clog’, kami digiring ke
ruang untuk membeli berbagai jenis clog. Dari yang ‘asli’ terbuat dari
kayu hutan, dengan berbagai jenis hiasan dan ‘finishing touch’, sampai
clog dari bahan yang lembut, flanel. Kalau yang ini memang hanya untuk
di dalam rumah, di dalam kamar. Harganya dari sekitar 8 Euro sampai 40
Euro, tergantung desain dan hiasannya, untuk clog kayu, dan 7 Euro
sampai 15 Euro untuk clog flanel.
Clog kayu dan clog flanel
Atau juga clog hanya untuk souvenir. Dari
yang terkecil panjangnya sekitar 3 cm dengan berbagai macam hiasan,
sampai yang terbesar panjangnya sekitar 40 cm untuk hiasan rumah. Aku
membelinya untuk souvenir dan dibagi2kan untuk teman2ku. Juga aku
membeli kalung clog kayu, untukku sendiri. Bisa dibayangkan, berapa
harga souvenir itu, tidak lebih dari 20 Euro.
Souvenir clog untuk dibagikan sebagai oleh2 …..
Mungkin 1 jam kami berada di sekitaran parbik clog tersebut, sebelum kami digiring keluar untuk kembali ke bus wisata kami.
Gerimis benar2 sudah berhenti. Kami
sempatkan duduk2 di taman sekitar pabrik, karena tour guide membolehkan
beberapa menit untuk menikmati lingkungan disana.
Dan ternyata, inspirasi baru datang untukku, ketika seorang ibu2 Belanda memberi makan sekumpulan burung2 liar …..
Sebelumnya :
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Mencoba Sepatu Kayu Ala Noni Belanda”
Posting Komentar