Senin, 10 Februari 2014
Pengungsi di Bawah Kolong Jembatan Layang Kampung Melayu…
Senin, 10 Februari 2014 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Sebuah catatan tentang hasil ketidak-pedulian untuk Jakarta kita …..
Banjir masih melanda ibukota. Sudah 1
bulan lebih, dan 1 bulan lebih inilah mereka yang kebanjiran masih
berada di tempat pengungsian, terutama di Kampung Pulo dan Kampung
Melayu, tetangga daerah rumahku. Bahkan jika banjir melanda mereka, aku
juga ikut merasakannya, karena tidak bisa keluar kompleks ku karena
pintu masuk dan keluarnya dihadang banjir …..
Pulang pergi kemanapun, aku akan melewat
kamung Melayu, berputar di bawah jalan layang Kampung Melayu untuk
masuk ke kompleks ku, Gudang Peluru. Dan aku tidak bisa menutup mata,
ketika keterpurukan para korban banjir yang mengungsi dimanapun,
termasuk yang mengungsi di bawah atau kolong jembatan layang Kampung
Melayu.
Pagi ini menuju kantorku, aku sengaja
berputar ke kolong jembatan layang Kampung Melayu, hanya untuk sekedar
mengamati lebih jelas, apa yang mereka lakukan dalam pengungsian. Iseng?
Bukan! Aku hanya berpikir, apa yang aku bisa lakukan untuk mereka.
Dalam sumbangan2 di beberapa komunitasku, sudah aku sampaikan. Secara
real tidak mungkin aku lakukan untuk membantu mereka, dengan
keterbatasanku. Apalah aku, seorang perempuan cacat untuk membantu
mereka? Bahkan pemerintah pun tidak mampu melakukannya dengan
keterbatasan2 mereka juga.
Di atas jembatan Sungai Ciliwung, yang
berbatasan dengan kompleks rumahku, aku minta supirku untuk berhenti
sejenak untuk mengambil gambar foto. Ternyata Sungi Ciliwung memang
belum surut. Masih tinggi, dan sewaktu2 akan memuntahkan airnya sebagai
banjir. Jalan Kampung melayu di foto diatas itu, pastilah tiap saat
‘ketar-ketir’ melihat naik turunnya air Sungai Ciliwung.
Apalagi jika
ada SMS dari BPBD DKI yang setiap kali Bendungan Katulampa memuntahkan
air banjir kiriman ke Jakarta, emungkinan besar mereka akan siap2 untuk
mengungsi, atau paling tidak mengangkat barang2 mereka ke lantai 2 (
jika ada ). Belum lagi yang benar2 tinggal di bantarn sungai, di
belakang rumah mereka ( foto diatas ) ……
Sampah berserakan, belum sempat dibersihkan. Kalaupun sempat, tidak lama kemudian banjir lagi
Dari jembatan Sungai Ciliwung, mobil
lanjut berputar ke kolong jembatan layang Kampung Melayu. Mataku
melayang ke kanan, melihat kolong jembatan ayang penuh sesak oleh
pengungsi. Aku sangat yakin, di kolong jembatan layang di tempat2 lain
yng kebanjiran, pasti juga penuh dengan pengungsi. Seperti di Kalibata.
Pengungsi ‘dikepung’ oleh asap dan kendaraan serta suara bising, tanpa dinding ……
Semakin hari jika aku berputar disana,
semakin hatiku trenyuh, melihat kehidupan mereka tanpa ’sinar’. Lebay?
Mungkin. Tetapi coba bayangkan. Puluhan keluarga ( di beberapa foto atas
) dengan beberapa anak2 mereka, hanya tinggal di kolong tanpa dunding,
dan bercampur baur degan sampah, makanan sisa, baju2 yang bergelantungan
karena dijemur dan dengan kebisingan kendaraan yang ada disana serta
debu2 asap kendaran yang mengancam jiwa.
‘Makan pagi’ mereka dan perenungan dalam seorang bapak disana …..
Mereka memang kaum miskin. Marjinal.
Jangankan kebanjiran. Tidak kebanjiran saja, mereka hanya tinggal di
gubug2 reyot bantaran Sungai Ciliwung, dimana rumah mereka sekarang
belum tentu tersisa. Barang kali bugub reyot mereka sudah disapu
gelombang air sungai …..
Barang2 mereka yang ada sekarang ini,
sebagian besar bukan barang2 yang mereka bawa dari rumah reyot mereka.
Beberapa yang supirku tanya, barang2 itu adalah hasil sumbangan
masyarakat. Pun itu sudah tidak nyaman untuk dikenakan karena sudah 1
bulan lebih mereka tinggal disana.
Baju2 yang dipakai berhari2 karena
sangat terbatas, belum lagi selalu hujan dan tidak kering2,
bergelantungan di mana2, menimbulkan bau tak sedap karena cucian yang
tidak kering berhari2. Aku tidak melihat dapur umum di daerah kolong
jembatan itu, entah dapat makanan dari mana mereka. Tetapi dari sedikit
pengamatan ku lewat lensa kameraku, sepertinya mereka hanya mencari
makan yang seadanya.
Makan pagi anak2 yang aku lihat hanya sekedar
lontong sayur dan makanan2 ringan yng mereka suka. Ada yang bisa
memanfaatkan waktu untuk berjualan kopi sachet ke pada teman2nya. Ibu2
menggendong anaknya, sambil ngerumpi, pasti ngerumpi keadaan mereka yang
tidak tahu kapan banjir ini berakhir dan bagaimana nasib mereka …..
Cucian yang tidak kering berhari2
dan seorang ibu yang sedang menggendong anaknya yang masih bayi.
Bagaimana jika AKU DISANA??? Duh …..
Dengan sekedar bercanda bersama teman2
sebaya, anak2 pengungsi itu terlihat berseri2, tertawa2 dan bernyanyi
bersama. Beberapa orang dewasa, entah keluarga mereka atau orang lain,
hanya juga sekedar duduk, bengong bahkan tidur beralaskan selembar
kardus yang di lepekkan, yang sudah lecek. Wajah2 mereka kusuk, lesu,
cape dan tertunduk. Fisik mereka pun terlihat kidup dan kotor. Ya,
memang nya mau mandi dimana??
‘Permainan’ anak2 sebaya untuk membuang jenuh. Bagaimana dengan sekolah mereka?
Daerah kolong jembatan Kampung Melayu
ini memang sangat ‘akut’ dengan berbagai permasalahannya. Ketika disana
dalam keadaan normal, merupakan ‘terminal bayangan’ Kampung Melayu.
Artinya, si pengendara angkot dan Metro Mini tidak masuk dan ngetem di
Terminal Kampung Melayu, tetapi ngetem di kolong Jembatan layang Kampun
Melayu. Alhasil, jalan tersebuut ruwaetnya bukan main! Dari seharusnya
bisa 2 jalur + parkir, menjadi 1 jalur itupun harus berhati2 jika tidak
mau diserempet motor atau angkot!
Belum lagi di Jakarta kalau ada terminal
( apalagi terminal bayangan ), pastilah akan ada PKL dan pedagang
asongan, yang benar2 mmenambah ruwet disana. Jika tidak harus, aku tidak
akan lewat sana, koq karena bisa 15 menit atau lebih hanya untuk
memunar saja…..
Sekarang, dengan banyak pengungsi di
kolong jembatan layang kampung Melayu, bayangkan saja betapa ruwetnya
keadaan disana. Bayangkan mereka harus tinggalditempat itu. Bahkan anak
dan bayi pasti akan bertumbuh sebagai anak2 yang ‘luar biasa!’ Jika
survive, bisa menjadi anak2 yang luar biasa ’struggle’ ( positif ) atau
luar biasa yang negatif!
Bagaimana keseharian mereka? Aku tidak
tahu! Tetapi jika ditilik dengan pengamatanku sepanjang aku melintas
disana, keseharian mereka tidak banyak berubah dengan pagi itu. Ibu2
menggendong anak2 atau bayi2 mereka sambil ngerumpi atau tidur jika
cape. Anak2 bermain, yang aku pun yain bahwa mereka akan bermain
dijalanan atau apapun yang menarik perhatian mereka. Kaum pria dewasa,
kemungkinan besar akan mencoba ke rumah mereka untuk melihat keadaannya.
Atau mencoba berdagang dan memulung bagi kehudupan mereka. Aku tidak
tahu …..
Ketika aku sempat melihat di jalan
Jatinegara Barat, tempat pengungsian dan di depan sekolah anakku, Santa
Maria Fatima, keadaan disana tidak jauh berbeda dengagn di bawah
jembatan layang Kampung Melayu. Eh … tetap berbeda. Pengungsinya sama,
tetapi keadaan mereka sedikit berbeda.
Di Jatinegara Barat, mereka disiapkan
tenda2 darurat dan aku melihat selimut cukup tebal disana. Dapur umum
selalu siap dengan 3x makan mereka. Bahkan di salah satu TV swasta
berkata, bahwaternyata menu makan pagi, sian dan malam mereka berbeda,
tergantung dengan sumbangan yang ada, bukan hanya sekedar mie instan
saja. Tetapi di kolong jembatan layang Kampung Melayu, bahkan mie instan
pun tidak terlihat untuk mereka. Tidak ada dapur umum bagi mereka …..
Entahlah, apa yang melanda hatiku, selama banjir ini. Melow? Lebay? Entahlah …..
Tetapi yang jelas, otakku
tidak berhenti berpikir, apa yang aku bisa perbuat untuk mereka. Lebih
besar lagi, apa yang bisa aku perbuat bagi perbaikan Jakarta ……
Link tentang Banjir Jakarta :
Jakarta?
Beberapa ‘Predator’ Air!
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Pengungsi di Bawah Kolong Jembatan Layang Kampung Melayu…”
Posting Komentar