Selasa, 12 November 2013
Cerita di Balik ‘Pedestrian Baru’ Sepanjang Jalan Gatot Subroto
Selasa, 12 November 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Kerja keras tim Jokowi-Ahok sudah
membuahkan hasil. Jakarta sedikit demi sedikit berubah. Dari lingkaran kumuh Waduk Pluit dan Waduk Ria Rio, berubah menjadi RTH (ruang terbuka
hijau) yang cantik dengan fasilitas plaza tanpa beton (memakai
con-block) serta fasilitas untuk sosialisasi warga sekitarnya.
Juga dari lingkungan crowded PKL (pedagang kaki lima) di beberapa titik,
berubah lapang dan kemacetan terurai sedikit demi sedikit. Apalagi
konsep pedestrian yang dicoba untuk dibangun sepanjang Jalan Gatot
Subroto, berlanjut ke arah selatannya, jalan MT Haryono dan ke sebelah
utaranya, dari Semanggi sampai Slipi.
Memang masih ‘bolong’ di sana-sini
tetapi arah keinginan Jakarta memperbaiki diri mulai terarah, dan bukan
cuma ‘omdo’ (omong doang). Walau sedikit protes di sana-sini, tim
Jokowi-Ahok terus melaju. Dan aku salah satu yang senang dengan konsep
‘Jakarta Baru’-nya.
Khusus tentang penyediaan fasilitas
pedestrian di sepanjang Jalan Gatot Subroto, yang akan melebar ke
seluruh Jakarta, aku sangat bersuka cita! Secara aku sudah banyak
menulis tentang ini, aku akan terus mendukungnya. Tetapi ketika
pedestrian baru itu mulai terbentuk, aku agak sedikit kecewa dengan
pengadaannya, dengan kualitasnya yang menurutku tidak sesuai dengan
keinginanku, mungkin juga tidak sesuai dengan keinginan Pak Jokowi dan
timnya.
Mengapa?
Ketika pertama kali aku melihat sepanjang Jalan Gatot Subroto mulai
berbenah dengan mengganti material pedestrian, aku sangat berharap besar
dengan fasilitas ini. Aku tidak tahu konsep dan gambarnya, tetapi aku
masih percaya bahwa Pak Jokowi akan memberikan yang terbaik bagi
warganya. Berharap dengan tidak sabar, aku benar-benar terus mengamati
pembenahan trotoar sepanjang Jalan Gatot Subroto.
Tetapi apa yang terjadi?
Aku tidak tahu, bagaimana kontraktor
pembenahan trotoar ini terpilih. Apakah lewat tender yang terbaik sesuai
dengan perhitungannya? Ataukah terpilih dari sebuah penunjukan? Jika
salah satu, juga apakah pekerja-pekerjanya sesuai dengan
kriteria-kriteria sebagai pekerja di kontraktor terpilih? Apakah
pekerja-pekerjanya hanya sekedar orang-orang yang tidak peduli dan tidak
berdedikasi? Dari pekerja yang terbawah, sampai pengambil keputusannya.
Mengapa aku katakan demikian?
Untuk melebarkan trotoar, memang agak susah karena sejak
lama tidak ada ketegasan peraturan Pemda dan tidak ada ‘punishment’
atau hukuman bagi pemilik bangunam tentang kebutuhan warga Jakarta
sebagai pedestrian. Sehingga, tidak jelas terlihat, berapa
besar trotoar di depan bangunannya dan seberapa pedulinya untuk
membangun ‘keindahan’ di depan bangunannya, seperti taman atau
pepohonan. Padahal taman dan pepohonan seharusnya
digalakkan, secara mereka ‘mengambil’ hak untuk tanah penyerapan dan
untuk paru-paru lingkungan dengan pepohonannya.
Jadi ketika sekarang konsep ini mulai
terbangun, jelas terlihat bahwa sepanjang Jalan Gatot Subroto sampai
ujung jalan MT Haryono dan Semanggi ke utara, besar trotoar sama sekali TIDAK SAMA!
Ada yang lebar tetapi ada yang hanya sekedar dua orang berjalan
berpapasan. Ini jelas terlihat di depan Bank Mandiri dengan Komdak. Atau
di depan lapangan Auri Pancoran dengan Gedung UKM. Padahal Jalan Gatot
Subroto termasuk jalan protokol. Lalu bagaimana dengan jalan-jalan
nonprotokol?
Beberap titik yang terlihat bahwa lebar trotoar tidak sama! Foto atas, trotoar lebih besar dari foto di bawahnya.
Lalu, apakah hanya dengan sekedar
mengganti material saja, tanpa membenahi kemungkinan-kemungkinan yang
lebih baik? Seperti misalnya, fasilitas-fasilitas disabled? Ya! Ada
fasilitas disabled tunanetra dengan konsep beda permukaan di trotoar,
dan itu lumayan untuk kaum disabled tunanetra, tetapi tidak tuntas!
Bagaimana dengan disabled kursi roda?
1. Antara trotoar satu dengan yang
lain, tidak ’smooth’, beda tingginya cukup besar dan tidak nyaman bagi
tunanetra. Warga sehat saja akan kepayahan jika jarak tingginya cukup
jauh, bagaimana yang disabled?
2. Antar trotoar seharusnya
memakai ramp, sehingga nyaman bagi pedestrian. Bagaimana dengan kursi
roda? Apakah mereka harus diangkat oleh orang lain untuk bisa trus
melewati pedestrian?
Itu yang pertama.
Sekarang yang kedua.
Apakah desainer konsep pembenahan pedestrian ini tidak memikirkan
‘jeda’ antarbangunan? Jika ada pintu masuk dan keluar bangunan atau beda
antarbangunan, seharusnya desainer membuat konsep yang nyaman. Di
negara-negara yang maju dan peduli warganya, perbedaan-perbedaan fisik
seperti ini sangat diminimalisasi. Karena warga sudah mengeri hukum.
Bahwa jika seseorang warga mendapatkan pelayanan buruk oleh kotanya,
warga tersebut akan men-claim kotanya. Misalnya, tidak adanya fasilitas
bagi disabled padahal memang kota harus memberikan fasilitas-fasilitas
tersebut. Sehingga, pemda akan sangat hati-hati memfasilitasi warganya
jika tidak mau berurusan dengan hukum.
Coba bayangkan, betapa tingginya
trotoar dari jalan mobil? Dan tidak ada ‘ramp’ untuk ‘jeda’ sehingga
bisa menyebabkan ketidaknyamanan bagi pedestrian. Apalagi
‘workmenship’-nya sering tidak berkualitas, tidak peduli dengan keamanan
dan kenyamanan warga Jakarta.
Bandingkan dengan trotoar di luar
negeri. Ketinggian trotoar hanya beberapa centimeter saja (di Jakarta
sekita2 20 cm), sehingga pada pejalan kaki, disabled (baik tunanetra dan
memakai kursi roda) akan merasakan kenyamanan dan keamanan.
Bagaimana dengan Indonesia, khususnya Jakarta sebagai ibu kota negara?
Selanjutnya yang ketiga, bagaimana dengan ‘workmenship’-nya?
Ketika aku mengamati hasil pekerjaan
kontraktor itu, aku sampai geleng-geleng kepala! Pekerjaannya memang
hanya membongkar dan mengganti dengan material yang baru, berwarna
hijau, merah, dan kuning. Tetapi mereka sangat tidak peduli, apakah
materialnya masih layak pakai atau harus disortir, karena banyak keping
material sudah pecah atau ‘gripis’ tetapi tetap saja dipasang!
Beberapa masalah di foto di atas ini:
1. Permukaan pedestrian
menjadi tidak sama karena ada segaris material yang tidak terpasang.
Mengapa? Jika alasan tentang untuk pengaliran air ke selokan di
bawahnya, mengapa yang berwarna kuning (untuk tunanetra), tetap di
pasang? Hal ini membahayakan pejalan kaki.
2. Pembenahan pedestrian
ini memang baik, tetapi seharusnya berlanjut dengan yang lain. Tidak
seharusnya ada PKL yang menjual bensin campur di atas trotoar! Termasuk
warung oli! Ini adalah khusus untuk pejalan kaki, bukan untuk berjualan!
Jika trotoar sudah bagus, tetapi masih ada pejual-penjual di sana, sepertinya sia-sia saja Pak Jokowi membenahinya.
Begitu juga, ketika yang lama sudah
dibongkar, tetapi tanahnya tidak diratakan (walau sekedarnya saja),
sehingga begitu material baru dipasang, trotoar menjadi tidak rata dan
akan membahayakan para pejalan kaki! Dan kulihat, para pekerjanya seakan
hanya robot. Membongkar-pasang, tanpa ekspresi, tanpa peduli.
(tribunnews.com)
Jika mau teliti untuk menjaga
kualitas, coba perhatikan foto di atas. Permukaan trotoar yang sudah
dilapisi material baru, miring ke kanan. Dengan perbandingan ketinggian
di sebelah kiri.
Artinya adalah, pekerja tidak meratakan tanahnya dahulu.
(Atau memang tidak ada dalam TOR-nya?). Bahkan sampah-sampahnya sama
sekali tidak dibersihkan! Artinya lagi, begitu material lama dibongkar,
material baru langsung dipasang tanpa pembersihan tanah. Sehingga
lambat laun, aku yakin, apalagi banyak hujan, trotoar itu akan ‘turun’,
dan materialnya akan tidak rata bahkan akan terlepas.
Padahal seharusnya, sebagai kontraktor
kelas A, standar yang dipergunakan untuk negara, walau hanya sekadar
renovasi atau bongkar-pasang, untuk memasangnya yang baru harus
diperbaiki lebih dahulu. Dalam hal ini, jika material lama dibongkar
untuk dipasang material baru, tanah di bawah material yang lama harus
diratakan dahulu, bahkan diisi lagi dengan yang baru, dipadatkan, baru
dipasang material yang baru! Bukan hanya sekedar membongkar dan memasang
lagi.
Ketiga hal ini yang terlihat! Sebagai
arsitek, mataku memang ‘awas’ dengan hal-hal seperti itu. Aku tidak tahu
tentang pilihan materialnya tetapi jika boleh memilih, mengapa memakai
material dengan warna yang mencolok, padahal ‘workmenship-nya’
kacau-balau?
Jika konsepnya memang begitu dengan
warna-warna yang mencolok, seharusnya ‘workmenship’-nya harus bagus,
karena warna-warna yang mencolok akan membuat kita terus memandangnya,
sehingga jika pekerjaannya jelek, akan terus terpampang di hadapan kita.
Tetapi jika desainnya dengan
material natural, akan lebih ‘teredam’ jika hasil pekerjaannya jelek.
Karena warna-warna natural akan berbaur dengan warna-warna bumi.
Tentang ‘bench’ atau kursi-kursi taman di beberapa titik sepanjang pedestrian baru ini? Bagaimana konsepnya? Itu lain cerita.
***
Mungkin ini hanya omongan ngaco dari seorang perempuan biasa-biasa saja, tetapi peduli dengan Jakarta. Diharapkan, ke depannya membangun
pedestrian-pedestrian seperti ini di seluruh Jakarta, bukan hanya
sekedar memperbaikinya saja hanya menggantikan material lama saja,
tetapi lebih memikirkan kebutuhan-kebutuhan serta koordinasi dengan
lingkungannya, serta kualitasnya lebih diperhatikan.
Maju terus, Pak Jokowi untuk membangun ‘Jakarta Baru’.
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Cerita di Balik ‘Pedestrian Baru’ Sepanjang Jalan Gatot Subroto”
Posting Komentar