Selasa, 12 November 2013

Cerita di Balik ‘Pedestrian Baru’ Sepanjang Jalan Gatot Subroto



By Christie Damayanti

1384233090403203327
satuharapan.com

Kerja keras tim Jokowi-Ahok sudah membuahkan hasil. Jakarta sedikit demi sedikit berubah. Dari lingkaran kumuh Waduk Pluit dan Waduk Ria Rio, berubah menjadi RTH (ruang terbuka hijau) yang cantik dengan fasilitas plaza tanpa beton (memakai con-block) serta fasilitas untuk sosialisasi warga sekitarnya.
Juga dari lingkungan crowded PKL (pedagang kaki lima) di beberapa titik, berubah lapang dan kemacetan terurai sedikit demi sedikit. Apalagi konsep pedestrian yang dicoba untuk dibangun sepanjang Jalan Gatot Subroto, berlanjut ke arah selatannya, jalan MT Haryono dan ke sebelah utaranya, dari Semanggi sampai Slipi.

Memang masih ‘bolong’ di sana-sini tetapi arah keinginan Jakarta memperbaiki diri mulai terarah, dan bukan cuma ‘omdo’ (omong doang). Walau sedikit protes di sana-sini, tim Jokowi-Ahok terus melaju. Dan aku salah satu yang senang dengan konsep ‘Jakarta Baru’-nya.

Khusus tentang penyediaan fasilitas pedestrian di sepanjang Jalan Gatot Subroto, yang akan melebar ke seluruh Jakarta, aku sangat bersuka cita! Secara aku sudah banyak menulis tentang ini, aku akan terus mendukungnya. Tetapi ketika pedestrian baru itu mulai terbentuk, aku agak sedikit kecewa dengan pengadaannya, dengan kualitasnya yang menurutku tidak sesuai dengan keinginanku, mungkin juga tidak sesuai dengan keinginan Pak Jokowi dan timnya.

Mengapa?

Ketika pertama kali aku melihat sepanjang Jalan Gatot Subroto mulai berbenah dengan mengganti material pedestrian, aku sangat berharap besar dengan fasilitas ini. Aku tidak tahu konsep dan gambarnya, tetapi aku masih percaya bahwa Pak Jokowi akan memberikan yang terbaik bagi warganya. Berharap dengan tidak sabar, aku benar-benar terus mengamati pembenahan trotoar sepanjang Jalan Gatot Subroto.

Tetapi apa yang terjadi?

Aku tidak tahu, bagaimana kontraktor pembenahan trotoar ini terpilih. Apakah lewat tender yang terbaik sesuai dengan perhitungannya? Ataukah terpilih dari sebuah penunjukan? Jika salah satu, juga apakah pekerja-pekerjanya sesuai dengan kriteria-kriteria sebagai pekerja di kontraktor terpilih? Apakah pekerja-pekerjanya hanya sekedar orang-orang yang tidak peduli dan tidak berdedikasi? Dari pekerja yang terbawah, sampai pengambil keputusannya.

Mengapa aku katakan demikian?

Untuk melebarkan trotoar, memang agak susah karena sejak lama tidak ada ketegasan peraturan Pemda dan tidak ada ‘punishment’ atau hukuman bagi pemilik bangunam tentang kebutuhan warga Jakarta sebagai pedestrian. Sehingga, tidak jelas terlihat, berapa besar trotoar di depan bangunannya dan seberapa pedulinya untuk membangun ‘keindahan’ di depan bangunannya, seperti taman atau pepohonan. Padahal taman dan pepohonan seharusnya digalakkan, secara mereka ‘mengambil’ hak untuk tanah penyerapan dan untuk paru-paru lingkungan dengan pepohonannya.

Jadi ketika sekarang konsep ini mulai terbangun, jelas terlihat bahwa sepanjang Jalan Gatot Subroto sampai ujung jalan MT Haryono dan Semanggi ke utara, besar trotoar sama sekali TIDAK SAMA! Ada yang lebar tetapi ada yang hanya sekedar dua orang berjalan berpapasan. Ini jelas terlihat di depan Bank Mandiri dengan Komdak. Atau di depan lapangan Auri Pancoran dengan Gedung UKM. Padahal Jalan Gatot Subroto termasuk jalan protokol. Lalu bagaimana dengan jalan-jalan nonprotokol?

13842331191907774937
1384233160660539513

Beberap titik yang terlihat bahwa lebar trotoar tidak sama! Foto atas, trotoar lebih besar dari foto di bawahnya.

Lalu, apakah hanya dengan sekedar mengganti material saja, tanpa membenahi kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik? Seperti misalnya, fasilitas-fasilitas disabled? Ya! Ada fasilitas disabled tunanetra dengan konsep beda permukaan di trotoar, dan itu lumayan untuk kaum disabled tunanetra, tetapi tidak tuntas! 

Bagaimana dengan disabled kursi roda?

1.       Antara trotoar satu dengan yang lain, tidak ’smooth’, beda tingginya cukup besar dan tidak nyaman bagi tunanetra. Warga sehat saja akan kepayahan jika jarak tingginya cukup jauh, bagaimana yang disabled?

2.       Antar trotoar seharusnya memakai ramp, sehingga nyaman bagi pedestrian. Bagaimana dengan kursi roda? Apakah mereka harus diangkat oleh orang lain untuk bisa trus melewati pedestrian?

Itu yang pertama.

Sekarang yang kedua. Apakah desainer konsep pembenahan pedestrian ini tidak memikirkan ‘jeda’ antarbangunan? Jika ada pintu masuk dan keluar bangunan atau beda antarbangunan, seharusnya desainer membuat konsep yang nyaman. Di negara-negara yang maju dan peduli warganya, perbedaan-perbedaan fisik seperti ini sangat diminimalisasi. Karena warga sudah mengeri hukum. Bahwa jika seseorang warga mendapatkan pelayanan buruk oleh kotanya, warga tersebut akan men-claim kotanya. Misalnya, tidak adanya fasilitas bagi disabled padahal memang kota harus memberikan fasilitas-fasilitas tersebut. Sehingga, pemda akan sangat hati-hati memfasilitasi warganya jika tidak mau berurusan dengan hukum.

1384233210464550184

Coba bayangkan, betapa tingginya trotoar dari jalan mobil? Dan tidak ada ‘ramp’ untuk ‘jeda’ sehingga bisa menyebabkan ketidaknyamanan bagi pedestrian. Apalagi ‘workmenship’-nya sering tidak berkualitas, tidak peduli dengan keamanan dan kenyamanan warga Jakarta.

1384233303735327528

Bandingkan dengan trotoar di luar negeri. Ketinggian trotoar hanya beberapa centimeter saja (di Jakarta sekita2 20 cm), sehingga pada pejalan kaki, disabled (baik tunanetra dan memakai kursi roda) akan merasakan kenyamanan dan keamanan.

Bagaimana dengan Indonesia, khususnya Jakarta sebagai ibu kota negara?

Selanjutnya yang ketiga, bagaimana dengan ‘workmenship’-nya?

Ketika aku mengamati hasil pekerjaan kontraktor itu, aku sampai geleng-geleng kepala! Pekerjaannya memang hanya membongkar dan mengganti dengan material yang baru, berwarna hijau, merah, dan kuning. Tetapi mereka sangat tidak peduli, apakah materialnya masih layak pakai atau harus disortir, karena banyak keping material sudah pecah atau ‘gripis’ tetapi tetap saja dipasang!

138423335816727209

Beberapa masalah di foto di atas ini:

1. Permukaan pedestrian menjadi tidak sama karena ada segaris material yang tidak terpasang. Mengapa? Jika alasan tentang untuk pengaliran air ke selokan di bawahnya, mengapa yang berwarna kuning (untuk tunanetra), tetap di pasang? Hal ini membahayakan pejalan kaki.

2. Pembenahan pedestrian ini memang baik, tetapi seharusnya berlanjut dengan yang lain. Tidak seharusnya ada PKL yang menjual bensin campur di atas trotoar! Termasuk warung oli! Ini adalah khusus untuk pejalan kaki, bukan untuk berjualan!  

Jika trotoar sudah bagus, tetapi masih ada pejual-penjual di sana, sepertinya sia-sia saja Pak Jokowi membenahinya.

Begitu juga, ketika yang lama sudah dibongkar, tetapi tanahnya tidak diratakan (walau sekedarnya saja), sehingga begitu material baru dipasang, trotoar menjadi tidak rata dan akan membahayakan para pejalan kaki! Dan kulihat, para pekerjanya seakan hanya robot. Membongkar-pasang, tanpa ekspresi, tanpa peduli.

13842334101064918739
(tribunnews.com)

Jika mau teliti untuk menjaga kualitas, coba perhatikan foto di atas. Permukaan trotoar yang sudah dilapisi material baru, miring ke kanan. Dengan perbandingan ketinggian di sebelah kiri.

Artinya adalah, pekerja tidak meratakan tanahnya dahulu. (Atau memang tidak ada dalam TOR-nya?). Bahkan sampah-sampahnya sama sekali tidak dibersihkan! Artinya lagi, begitu material lama dibongkar, material baru langsung dipasang tanpa pembersihan tanah. Sehingga lambat laun, aku yakin, apalagi banyak hujan, trotoar itu akan ‘turun’, dan materialnya akan tidak rata bahkan akan terlepas.

Padahal seharusnya, sebagai kontraktor kelas A, standar yang dipergunakan untuk negara, walau hanya sekadar renovasi atau bongkar-pasang, untuk memasangnya yang baru harus diperbaiki lebih dahulu. Dalam hal ini, jika material lama dibongkar untuk dipasang material baru, tanah di bawah material yang lama harus diratakan dahulu, bahkan diisi lagi dengan yang baru, dipadatkan, baru dipasang material yang baru! Bukan hanya sekedar membongkar dan memasang lagi.

Ketiga hal ini yang terlihat! Sebagai arsitek, mataku memang ‘awas’ dengan hal-hal seperti itu. Aku tidak tahu tentang pilihan materialnya tetapi jika boleh memilih, mengapa memakai material dengan warna yang mencolok, padahal ‘workmenship-nya’ kacau-balau?

Jika konsepnya memang begitu dengan warna-warna yang mencolok, seharusnya ‘workmenship’-nya harus bagus, karena warna-warna yang mencolok akan membuat kita terus memandangnya, sehingga jika pekerjaannya jelek, akan terus terpampang di hadapan kita.

Tetapi jika desainnya dengan material natural, akan lebih ‘teredam’ jika hasil pekerjaannya jelek. Karena warna-warna natural akan berbaur dengan warna-warna bumi.

Tentang ‘bench’ atau kursi-kursi taman di beberapa titik sepanjang pedestrian baru ini? Bagaimana konsepnya? Itu lain cerita.

***

Mungkin ini hanya omongan ngaco dari seorang perempuan biasa-biasa saja, tetapi peduli dengan Jakarta. Diharapkan, ke depannya membangun pedestrian-pedestrian seperti ini di seluruh Jakarta, bukan hanya sekedar memperbaikinya saja hanya menggantikan material lama saja, tetapi lebih memikirkan kebutuhan-kebutuhan serta koordinasi dengan lingkungannya, serta kualitasnya lebih diperhatikan.

Maju terus, Pak Jokowi untuk  membangun ‘Jakarta Baru’.

Tags:

0 Responses to “Cerita di Balik ‘Pedestrian Baru’ Sepanjang Jalan Gatot Subroto”

Posting Komentar

Subscribe

Berlangganan Artikel Saya

© 2013 Christie Damayanti. All rights reserved.
Designed by SpicyTricks