Jumat, 08 Februari 2013

‘Arsitektur’ untukku: Bagian dari Keselarasan Hidup dan Idealisme



By Christie Damayanti


1360298640222496286
architectureforhumanity.org

Arsitek adalah dunia yang sangat menyenangkan untukku. Angkatan tahun aku kuliah ( tahun 1988 - 1992 ), aku harus menyelesainkan 160 Sistim Kredit Semester ( SKS ), dengan mata kuliah utama adalah Studio Arsitektural serta Azas2 dan Konsep Arsitektural, yang ada di setiap semester, dengan antara 6 samai 8 SKS ( besar sekali ). 

Dan di semester terakhir sebelum TGA ( Studio dn tugas Akhir, harus 1 semester, tidak bisa diambil bersamaan dengan perkuliahan ), adalah mata kuliah pilihan, yang berhubungan dengan arsitektural, seperti Studio Strukr, Studio Landscape, Studio Interior, Studio Pemukiman dan Studio Perkotaan. Serta peerkuliahan tentang Sosial Konstruksi, Arsitektur Konseptual serta Bahan Bangunan dan Fisika Bangunan sebagai penunjang studio2 itu. Dimana, 3 dari studio ini harus diambil, dan sianya adalah pilihan. Dan aku mengambil semua studio pilihan diatas,secara aku memang sangat menggemari desain dan aku ingin bisa semuanya ……

Jika aku ditanya tentang cita2ku waktu itu, bahkan sejak kecil, aku tetap menjawab, “Aku mau jadi arsitek”, walau belum mengerti apa dan tugas yang bagaimana yang aku harus kerjakan. Tetapi ketika aku sudah lulus kuliah dan mulai bekerja sebagai seorang arsitek, aku mulai ragu2 bahwa aku bisa menjadi arsitek handal, karena di Indonesia ( menurutku ) bidang pekerjaan sering tidak dilakukan sebagai bagian dari diri dan eksistensi kita, melainkan hanya sekedar formalitas saja ( hanya mengejar gelar saja ), tanpa memandang manfaat dan lingkungan kita saja …..

Ketika aku mulai benar2 bekerja sebagai seorang arsitek yang ‘baik’, aku mendapatkan sebuah dilema. Dimana ssebenarnya untuk menjadi seorang arsitek, aku harus menanamkan manfaat bagi bangunan yang aku desain dan bagi banyak orang. Tetapi pada kenyataannya, sering aku mendapatkan klien2 tidak peduli dengan azas2 konseptual sebagai arsitek, sehingga sering aku mendebat kllien dan ujung2nya jika si klien tidak sesuai dengan konsep kita, akulah yang harus tahu diri dan mengundurkan diri sebagai konsultannya.

Misalnya saja, ketika aku mendesain sebuh ruamh dengan aturan2 pemda serta mengikuti berundang2an dalam membangun, klien bisa dengan seenaknya tidak setuju dengan pandanganku. Jika seharusnya rumah si klien harus berjarak 5 meter dari jalan di depannya, ternyata si klien minta 3 atau 4 meter jrak antara jalan dan rumah yang mau dibangun. Padahal aturan pemda jelas dan seharusnyalah kita ssemua mengikutinya. Jika si klien ngotot, aku tidak segan2mengundurkan diri sebagai arsiteknya, dan si klien akan mencari arsitek lain, yang mau melakukan apapun yang si klien inginkan …..

Begitu pula jika tentang ketinggian bangunan, atau luas koofisien bangunan, atau tentang adanya RTH ( Ruang Terbuka Hijau ) di seitar bangunan, dan sebagainya, aku lebih baik mengundurkan diri sebagai arsitek …..
Itu ketika aku masih ‘muda’, dan yang tergambar di hatiku adalah idealisme yang tinggi untuk memberikan desain yang terbaik bai semuanya. Tetapi kenyataannya agak berbeda. Idealisme2 yang aku tanamkan sejak dini, sejalan dengan kebutuhnku sebagai manusia yang membutuhkan dana dalam kehidupan, sedikit demi sedikit tidak setebal dibanding idealisme awal.

Sebagai arsitek muda, idealisme awal mulai menyurut dengan kebutuhanku. Tetapi ketika aku sekarang yang sudah sekitar 20 tahun malang-melintang di dunia ini, dan aku sudah memasuki tahap mampu untuk biaya kehidupanku, idealisme2 yang sudah menyurut waktu lalu, sekarang drastis menanjak kembali. Karena apa? Aku tidak tahu, tetapi aku mulai mempertebal idealismeku sebagai seorang arsitek.

Dalam dunia dan komunitasku sebagai seorang arsitek dan dalam pekerjaanku, ternyata aku sering tidak kuat dan tidak tahan dengan ‘pembalikkan’ dengan azas2 konsep sebagai arsitek humanis.  Sering aku dihadapkan dengan sebuah dilema. Jika aku tidak mau melakukannya, aku harus mengundurkan diri sebagai arsitek, tetapi jika aku melakukannya, aku merasa berdosa karena menyalahi idealismeku yang sudah digariskan sejak awal mula. Tidak gampang …..

Di luar negeri, arsitek adalah merupakan seorang desainer bangunan. Arsitek disana tidak menjadi bagian dari Fakultas Teknik, sehingga mereka tidak bisa membangun karena tidak diajarkan tentang perhitungan2 fisik bangunan. Arsitek disana merupakan jurusan khusus dan gelarnya adalah “Arch” atau “M.Arch”. Bukan seperti di Indonesia dengan gelar “Insinyur” atau “Sarjana Teknik Arsitektur”.

Dan seperti yang aku tahu dan mengerti, bahwa dunia pekerjaan di Indonesia kenyataannya adalah lebih kepada mencari uang, dan hanya sedikit idealisme yang mengikutinya. Bahkan aku yakin, hanya sedikit orang yang bekerja demi idealismenya. Begitu juga aku, walau aku tetap lebih mementingkan sedikit idealisme, walau tetap sangat tidak gampang. Konsep2 arsietktur di padu padankan dengan desain perkotaan, sering membuat aku ‘depresi’. Aku memang memerlukan dana untuk penghidupanku bersama dengan anak2ku. Tetapi sekarang aku sudah mampu untuk lebih menjaga idelismeku untuk ide2 ku.

Ironis? Memang. Sebuah bidang pekerjaan, seharusnya bisa membuat sejahtera bagi si pekerja. Sejhtera bukan hanya mendapatkan uang saja, tetapi justru lebih ke arah kesejahteraan pribadi, ekspresi diri serta aktualisasi diri. Hidup memang tidak hanya uang - uang dan uang saja, teatpi menurutku lebih kearah eksistensi diri sebagai bagian dari pelayanan epada Tuhan lewat banyak orang di sekeliling kita.

Apapun yang kita inginkan terhadap pekerjaan kita, yang jelas kita harus terus mengupayakan untuk terus berdiri paling depan dan ‘berjalan’ demi kebaikan kita semua. Aku akan sangat berdosa pada Tuhan, jika aku tidak mau dan tidak mampu menjadikan pekerjaanku sebagai  berkat bagi Tuhan, untuk semua orang, paling tidak untuk sekelilingku …..

Dan untuk aku, sebagai arsitek sekarang ini, dengan keterbatasanku ini, aku ingin  melakukan yang terbaik. Mungkin aku sekarang tidak bisa bekerja full time sebagai arsitek lapangan. Atau mungkin aku tidak bisa memberikan saran2 terbaik dalam pekerjaanku, karena memang aku sedang tidak berkolaborasi dengan banyak arsitek2 yang biasanya saling berdiskusi bersama. Tetapi, paling tidak aku ingin tetap memberikan yang terbaik lewat tulisan2ku tentang apa yang aku inginkan dalam dunia desain arsitektur yang labih bermakna bagi kesejahteraan kita bersama ……

Tags:

0 Responses to “‘Arsitektur’ untukku: Bagian dari Keselarasan Hidup dan Idealisme”

Posting Komentar

Subscribe

Berlangganan Artikel Saya

© 2013 Christie Damayanti. All rights reserved.
Designed by SpicyTricks