Minggu, 31 Maret 2013
‘Pasar Minggu’: Di Mana Pohon-pohon Buahnya? Ke Mana Cerita Kehidupan Alamnya?
Minggu, 31 Maret 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Kenangan pedagang2 buah di Pasar Minggu …..
Ketika aku masih kecil, Pasar Minggu
merupakan gambaran tentang tempat yang nyaman, rindang, tempat banyak
pohon, bahkan aku ingat sekali bahwa Pasar Minggu merupakan tempat untuk
berkenan, membeli buah2an dan mencari kelinci2 Lucu untuk bermain. Benar- kah demikian?
Benar! Tetapi, dulu! Ya, sering papa ku
mengajak aku ke Kebon Binatang Ragunan. Tempat itu begitu rindang,
bahkan sampai sekarang ( lihat tulisan ku Kebon Binatang Ragunan : Wisata Pendidikan sambil Bermain, Konsep Ruang Terbuka Hijau yang Idealis ).
Tempat itu sangat rindang, segar dan nyaman. Biasanya, kita kesana
melihat2 binatang2 yang sangat aku sukai, membawa makanan untuk makan
siang sambil berpiknik Jika sudah cape. Dan setelah itu sambil menuju
pulang, kita membeli buah2an segar. Ada pisang, pepaya, jeruk dan aku
suka sekali manggis. Menyenangkan sekali ……
Menuju pulang pun, senang sekali aku
melihat2 jalanan dari mobil, dengan pepohonan2 yang besar dan rindang.
TIDAK terlihat kaki Lima, dan TIDAK Ada kemacetan. Sambil bernyanyi2
dengan adik2ku lewat kaset ( dulu belum Ada CD ), senang sekali mencari
kelinci2 lucu. Dan Jika sudah sampai rumah, aku merasakan kebahagiaan
serta kesegaran jiwaku. Padahal, aku masih cukup kecil untuk memahami
sebuah hati antara senang serta bahagia dengan hati yang ’susah’.
Itu Pasar Minggu yang dulu, sekitar awal
tahun 1970-an sampai sekitar awal 1980-an. Setelah itu, Pasar Minggu
mulai tergerus jaman dan berusaha ‘menyamai’ kehidupan metropolitan
seperti daerah2 yang lain di Jakarta. Bukan hanya semua kehidupan urban
di Jakarta saja yang di ikuti oleh Pasar Minggu saja, melainkan Pasar
Minggu menjadi ‘proyek percontohan’ PKL di sekitar terminal bus dan pasarnya Pasar Minggu ….. Aaahhhhhh ….
Sesaat sebelum sekarang, sungguh Pasar
Minggu merupakan tempat yang sangat2 tidak nyaman untuk di datangi.
Mungkin hanya Kebon Binatang nya saja yang tetap merupakan tempat yang
rindang dan pantas untuk didatangi. Tetapi, pun jalan kesana sangat
macet dan crowded! Dari sebelum Departemen Pertanian sampai KB Tagunan,
bukan hanya macetnya saja, tetapi angkot2 berhenti seenaknya saja,
Malang melintang di pintu masuk ke KB Ragunan, dan memakan waktu sampai 1
jam, dengan jarak tempuh beberapa kilometer saja! Menyebalkan sekali!
Belum lagi jika kita melewati pasarnya
Pasar Minggu di jalan Pasar Minggu Raya! Macet total, jika kita menuju
Depok karena PKL2 yang memenuhi jalan serta angkutan massal yang
serabutan! Angkot dan Metro Mini seenaknya saja berhenti untuk menaikan
dan menurunkan penumpang. Bajaj? Apa lagi! Dan bukan hanya supir2 nya
saja yang seenaknya, penumpangnya pun lebih seenaknya saja! Mentang2
sama2 seenaknya saja ……
Eh, ternyata pemda memang masih
beranggapan untuk Pasar Minggu sebagai daerah yang sejuk dan nyaman
untuk kita, termasuk hewan. Jadi ketika sekelompok kijang totol di beri
ruang untuk hidup di sebelah Taman Makam Pahlawan Kalibata, menurutku
sunggu tidak pada tempatnya! Tanahnya sudah gundul karena rumput2nya
telah habis dimakan mereka, pepohonannya pun sudah menguning, sehingga
mereka bergantung kepada wortel2 kurus yang dibeli oleh beberapa warga
disana untuk mereka ( lihat tulisanku Si Kijang Totol : “Tempatmu Bukan Disini, sayang ….” ).
***
Kenyataan2 ini membuat warga kota Jakarta, khususnya aku, merasa tidak
ada tempat yang nyaman untuk kita bisa santai sejenak di akhir Minggu.
Bahkan Gereja ku pun yang terletak di Kompleks Pertanian di seberang
pasarnya Pasar Minggu, terkena imbas nya dengan warga Gereja nya yang
selalu terlambat jika ada kegiatan di Gereja, baik pagi, siang, sore
ataupun malam. Untuk ke Gereja di Minggu pagi pun, kami sering
terlambat, sehingga kami harus lebih pagi untuk kesana, karena PKL2 yang
semakin menyeruak ke badan jalan ( terutama pasar tumpah dari pasar
utama ).
Itu sudah sejak aku perhatikan sekitar
tahun 1980-an dan semakin ke sini semakin parah. Dan aku mulai
membicarakan tentang ini dan berdiskusi dengan papa almarhum, sampai pak
Jokowi datang untuk mulai membenahi Jakarta, termasuk PKL di Pasar
Minggu, yang sekarang ini sudah jauh lebih baik!
Pasar Minggu adalah wilayah di selatan Jakarta, yang dahulu sangat
rindang dengan pepohonan besar serta hunian ber-KDB rendah. Dulu, ada
seorang saudaraku bertempat tinggal di Jalan Ragunan searah dengan KB
Ragunan. Tanahnya cukup besar, mungkin sekitar 1000 m2. Tetapi rumahnya
hanya sekitar 100 m2 bertingkat. Sisa tanahnya ditanami banyak pohon
buah, terutama rambutan. Juga apotek hidup serta memelihara kelinci2
lucu dan ayam kate. Sebagian lagi, untuk perkebunan anggrek karena Bude
ku itu sangat cinta anggrek. Jika aku bermain ke rumahnya, nyaman sekali
dan betah serta malas pulang. Dan begitu juga dengan tetangga2nya,
tanah besar dengan rumah kecil dan kebon untuk berbagai kegiatan
terbuka, menyenangkan sekali ….
Tetapi sejak anak2nya dewasa dan menikah
serta Pakde dan Bude ku sudah berumur, rumah dan kebonnya dijual, untuk
pindah rumah yang lebih kecil karena sudah teralu susah untuk
memeliharanya. Beberapa tahun kemudian, aku sempatkan kesana dan aku
menemukan rumah dan tanah itu sudah berubah menjadi ruko2 untuk bisnis
di depannya, serta di belakangnya untuk pergudangan dengan banyak
material2 entah apa dan mobil2 rongsokan banyak terdapat disana …..
Menyedihkan sekali ……
Dan aku sangat tahu bahwa bukan hanya
bekas rumah Pakde dan Bude ku saja yang begitu, tetapi ( mungkin ) semua
pemilik lama akan merasa sedih jika tahu sekarang tempat itu menjadi
seperti sekarang ini. Juga ketika aku kuliah arsitektur, salah satu
tugasku adalah mendesain pemukiman ( untuk mata kuliah studio pemukiman )
ber-KDB rendah dengan arsitektur ‘pertanian’, tetapi ketika aku survey
di sekitar selatan jalan Warung Buncit, ternyata tanah lapang untuk
perumahan ber-KDB rendah itu sudah tidak ada dan beralih menjadi
perumahan padat yang tidak sesuai dengan aturan Pemda Jakarta ……
Pak Jokowi memang berhasil mengatur PKL
di sekitar pasarnya Pasar Minggu, tetapi mungkinkah pak Jokowi bisa
menertibkan pembangunan fisik wilayah Pasar Minggu, terutama dari jalan
Warung Buncit ke arah KB Ragunan? Kemacetan dari arah ujung Warung
Buncit sekitar Mamang Prapatan ke KB Ragunan benar2 sangat membuat
perguliran kegiatan menjadi terhambat. Karena memang sebagian Warung
Buncit masuk daerah Mampang Prapatan, sebagian lagi yang di selatan
masuk daerah Pasar minggu.
Juga daerah2 Pasar minggu pelosok,
jalan2 antar daerah2 lain seperti ke Kemang. Sebagian besar sudah
berubah. Tanah kebon yang luas yang dulunya selalu ada poho2 buah,
tetapi sekarang sebagian besar berganti dengan ruko, restauran atau
tempat2 bisnis lainnya. Dan pohon2 buah yang dulu menjadi ‘trade mark’
dari Pasar Minggu, sekarang digantikan poho2 buah dalam penangkaran di
Dinas Pertamanan bahkan Kementrian Pertanian, yang membagikan atau
menjualnya dengan murah untuk kita bisa membelinya dan menanamnya di
tempat2 atau rumah2 kita sendiri …..
***
Ketika Pasar Minggu menjadi ruang umum
tempat rekreasi alam untuk warga Jakarta, tetapi sekarang tidak bisa
lagi karena sudah sesuai dengan konsep ‘berlibur’ dalam alam terbuka di
akhir minggu, membuat warga kota semakin susah dan bingung untuk
melepaskan penatnya. Dan mereka mulai bergeser untuk rekreasi modern, ke
dalam mall atau rekreasi ‘dunia maya’ lewat gadget2 mereka.
Menurutku,
rekreasi modern pada warga Jakarta sekarang ini, salah satu pemicunya
adalah tidak ada lagi tempat untuk berwisata dalam alam bebas karena
Jakarta sudah dipenuhi oleh kehidupan modern, yang sama sekali tidak
untuk mendidik generasi muda. ‘Rekreasi’ dalam mall akan memicu
konsumerisme dan ‘rekreasi’ gadget akan memicu ‘ketagihan’ karena mereka
belum mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan …..
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “‘Pasar Minggu’: Di Mana Pohon-pohon Buahnya? Ke Mana Cerita Kehidupan Alamnya?”
Posting Komentar