Senin, 03 Februari 2014
Fenomena ‘Makan Buah Simalakama’ untuk Jakarta
Senin, 03 Februari 2014 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Dalam beberapa minggu inin semua TV
menayangkan tentang banjir Jakarta serta semua bencana di Indonesia.
Tiap saat, tiap berita dan tiap ‘breaking news’ adalah tentang bencana,
apalagi banjir Jakarta. Begitu juga semua reporter sari semua TV selalu
ada di banyak titik bencana dan sering mewawancara orang2 disekitar
situ, termasuk mereka yang terkena bencana tersebut.
Biasanya aku hanya sambil lalu saja
mendengarnya, apalagi ketika ‘pembesar2′ bicara tentang banjir Jakarta,
menurutku semuanya hanya ‘omdo’ saja. Sejak dulu katanya mau bergerak
untuk menanggulangi banjir tetapi ketika musim berganti kemarau,
semuanya dilupakan! Akan dimulai lagi setelah bulan2 akhir tahun. Itupun
hanya sekedar mengurusi drainase kecil, BUKAN peremajaan sungai, bukan
tentang alokasi pemukiman bantara sungai atau bahkan bukan merubah
‘mindset’ untuk TIDAK mengijinkan permintaan pemilik modal untuk
membangun yang sekedar mencari keuntungan semata saja!
Tetapi ketika Jokowi menjadi Gubernur
DKI, Jakarta sudah mulai berubah. Sebelum musim hujan tiba, peremajaan
sungai sudah dimulai, bahkan sejak beliau baru menjabat. Alokasi
pemukiman kumuh di Waduk Pluit dan Waduk Ria Rio, bahkan sudah memulai
pembangunan ‘kampung deret’ serta konsep2 alokasi untuk pemukiman di
bantaran sungai. Dan aku sangart semangat, ketika Tuhan memberikan
Jokowi untuk mulai mengubah dan memulihkan Jakarta …..
Tapi aku bukan pengikut Jokowi, aku hanya mendukung siapapun yang mau peduli untuk pemulihan Jakarta. Lihat tulisanku ‘Rekayasa Pencitraan’ Jokowi? Hahaha, Masa Bodohlah…..
Sama sekali tidak salah, ketika Ahok berkata dengan berapi2 di salah satu stasiun TV kemarin,
“Sampai matipun, mereka terus akan kebanjiran, karena mereka tinggal di bantaran sungai!”
Aku tersenyum, “Itu aku banget!”.
Blak2an! Banyak tulisanku tentang itu! Bahwa salah satu cara mengatasi
banjir Jakarta adalah meremajakan sungai2 Jakarta, membangun DAS (
Daerah Aliran Sungai = Garis Sepadan Sungai ) termasuk me-alokasi
pemukiman dan kegiatan di bantaran sungai. Lihat di salah satu tulisanku
: Banjir Jakarta Mulai Reda, tapi….
Tidak banyak warga Jakarta yang berani
atau mau peduli dengan blak2an seperti itu. Tetapi aku tidak mau
membahas masalah ‘keberanian’ Ahok. Tetapi ada seorang warga Jakarta
yang tinggal di bantaran sungai Ciliwung di daerah Kampung Pulo. Dia
seorang lelaki setengah baya, yang sedang mengungsi karena banjir
melanda rumahnya sampai sebatas plafond rumah. Bersama dengan teman2nya,
bapak itu sedang ( mungkin ) memikirkan tentang banjir.
Ketika itu reporter mengajak berbicara
bapak itu. Bertanya2 tentang banjir dan juga bertanya apakah bapak itu
sadar bahwa salah satu penyebab kecil banjir Jakarta adalah
ketidak-pedulian tentang membuang sampah sembarangan. Bahkan mereka
membuang sampai ke sungai! ( Lihat tulisanku Perbaiki Furniture Bekas, Sampahnya Dibuang ke… Sungai! Ckckck….). Dan bapak itu sepertinya mengakui hal tersebut.
Waktu reporter itu bertanya, mengapa
tetap membuang sampah ke sungai, padahal tahu bahwa itu salah satu
penyebab banjir? Dan aku menajamkan telingaku, menunggu jawaban bapak
itu :
“Kami pernah mencoba mengumpulkan
sampah dan tidak membuangnya ke sungai. Kami meletakan di tepi jalan,
trtapi petugas kebersihan menolak sampah kami. Katanya, itu bukan tugas
mereka. Dan pemerintah tidak memberikan tempat2 sampah untuk kami
membuangnya. Lalu, apa yang kami bisa lakukan?”
Dan warga di bantaran sungai itu akhirnya selalu membuang sampah di sungai, yang ada tepat di depan rumahnya. Duh ……
Sungguh, aku terhenyak! Keberanian bapak
itu mengkritik sesuatu yang paling dasar dalam bermasyarakat antara
warga dan lingkungannya. Walau aku tahu dan sangat sadar, bahwa mereka ( warga yang tinggal di bantaran sungai ) SEBENARNYA tidak seharusnya tinggal disana! Ini benar2 sebuah fenomena ‘makan buah simalakama!’.
Semakin pemerintah mem-fasilitasi mereka, semakin mereka tidak mau
pindah!Banyak fenomena2 seperti itu di jakarta, dan beberapa yang aku
amati :
1. Pemukiman kumuh di bantaran sungai, di kolong jembatan, di pasar2 yang tidak seharusnya.
Mereka sebenarnya TIDAK BOLEH TINGGAL DI SANA, tetapi
ada oknum yang mem-fasilitasi
mereka dengan memungkut iuran liar (
pungli ) untuk mempunyai jalur listrik, jalur telpon atau fasilitas2
lainnya. Bahkan jika kita melewati jembatan layangan tol di daerah Priok
atau Pluit, kita akan bisa melihat antena2 bahkan parabola2 mencuat di
sela2 jalan layang tersebut. Artinya apa? Silahkan terka sendiri …..
2. Yang lebih luas lagi :
Selatan Jakarta sebenarnya sangat
’strik’ sebagai daerah penyerapan air, dan sebenarnya juga, Jakarta
seharusnya tidak mem-fasilitasi dengan kenyamanan2 untuk warga Jakarta
yang memang tinggal di selatan Jakarta. Tetapi yang ada sekarang adalah,
justru banyak sekali ’sodetan’ jalan2 tol, yang menghubungan
antar
jalan2 tol di selatan Jakarta, sehingga warga menjadi ‘keenakan’.
Perumahan2 selatan Jakarta semakin menjamur, yang sebenarnya pemukiman Jakarta sesuai dengan ‘Poros Timur-Barat’. Lihat tulisanku Ketika Zonning Kegiatan Warga Jakarta Berbicara …..
Yang seharusnya, pemda memusatkan pembangunan pemukiman Jakarta sesuai
dengan ‘Poros Timur-Barat’. Semua sebenarnya bisa diselesaikan, konsep2
pun bisa terlaksana dengan baik, ASALKAN kita benar2 mau untuk
memperbaiki Jakarta!
Beberapa konsep tulisanku yang berhubungan dengan pemukiman Jakarta :
(Bagian 7)
***
Baiklah, Aku hanya sekedar urun rembug
untuk Jakarta. Selebihnya, ‘pembesar2′ Jakarta lah yang akan mampu dan
mau untuk memperbaiki Jakarta.
Tentang membuang sampah.
Kita semua sudah gembar gembor berbicara tentang membuang sampah, khususnya untuk warga Jakarta, seperti yang aku tuliskan di :
Tetapi jujjur, aku sering susah untuk MENEMUKAN TEMPAT SAMPAH, apalagi di tempat2 umum.
Tempat sampah yang adapun, sering tidak berfungsi. Ada yang selalu
penuh dan nelum jelas kapan petugas kebersihan akan membunang dan
membersihkannya. Ada juga yang benar2 tidak sebagai tempat sampah lagi
tapi hanya sebagai ’simbol’ fasilitas perkotaan saja.
Bahkan ketika Jokowi memperbaiki
pedestrian sepanjang Gatot Subroto dan sudah menyebar ke pedestrian2
yang lain di Jakarta, pengamatanku ternyata hanya sekedar memperbaiki
permukaan pedestrian ( dengan 3 warna ) saja serta menempatkan bench (
kursi taman )di tiap 100 atau 200 meter saja. Tetapi TIDAK
ADA TEMPAT SAMPAH ( ada hanya sedikit sekali ), sesuai dengan konsep
pehitungan jumlah kebutuhan tempat sampah di sepanjang jalan (
pedestrian ) tersebut!
Bagaimana dengan petugas kebersihan?
Bahkan aku sempat mengamati bahwa mereka hanya sekedar menyapu jalanan
dengan sampah yang terlihat saja, tetapi tidak membuang di tempat sampah
( yang notebene susah / tidak ada ). Hanya dikumpulkan saja, tetapi
tidak peduli bahwa sampah2 itu langsung berterbangan lagi jika ada
angin.
Atau jika memang dibuang di tempat
sampah, mereka tidak peduli apakah tempat sampah tersebut sudah
‘amburadul’, sehingga sama saja bohong sampah2 itu akan ada disana
sebelum petugas yang harus membuang dengan truk sampah itu datang ……
Ah, terlalu banyak yang harus diperbaiki untuk ‘Jakarta Baru’. Seperti yang aku banyak tuliskan, bahwa untuk
memperbaiki Jakarta, yang harus benar2 dibenahi BUKAN FISIK KOTA
dahulu, melainkan MINDSET dan KEPEDULIAN WARGA JAKARTA tentang kehidupan
untuk diri sendiri, lingkungan dan dalam bermasyarakat perkotaan.
Bahwa kita tidak hidup
sendiri saja, kita semua harus bergotong-royong untuk membina kepedulian
bermasyarakat bagi kesejahteraan hidup bersama dalam lingkungan
perkotaan, khususnya Jakarta sebagai ibukota negara ……
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 Responses to “Fenomena ‘Makan Buah Simalakama’ untuk Jakarta”
23 Juli 2015 pukul 09.02
makasih untuk bacaannya... klo aslinya buah simalakama klo gak salah mahkota dewakan..
Posting Komentar