Selasa, 04 Februari 2014
Jakarta Menjadi ‘Hutan Rimba?’ Bisa Saja…
Selasa, 04 Februari 2014 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Ini lagi tentang cerita ‘makan buah simalakama’ di Indonesia.
Pagi ini, seperti biasa aku bangun jam
4.30 langsung setel TV dan bermacam berita di semua TV memberi banyak
infoormasi tentang berbagai hal. ‘Buah simalakama’ terus ada dimana2,
yang membuat hatiku miris. Bahwa seperinya tidak ada jalan keluar bagi
masyarakat yang tidak mempunyai keahlian untuk mencari uang, kecuali
dengan ‘otot’nya.
Ketika manajemen kota dan pemda
membangun konsep bagi kenyaman, keamanan dan kesejahteraan warga kota
sejak dahulu, banyak sekali warga kota yang belum mengerti tentang
kenyamanan, keamanan dan kesejahteraan hidup di perkotaan. Ditambah
lagi, arus urbanisasi sangat tinggi sehingga pemda kewalahan untuk
membendungnya.
*Btw, adakah peraturan untuk mengantisipasi dan membatasi arus urbanisasi ke perkotaan, khususnya kota Jakarta?
Ketika arus urbanisasi hampir tidak
terbendung, apalagi sesaat setelah pang kampung sehabis Lebaran, mereka
mencoba mencari peruntungan di kota, walau mereka tidak mempunyai modal
materi apalagi modal keahlian untuk mencari uanh. Mereka mendirikan
gubug2 ala kadarnya di tempat2 yang dilarang, bahkan berdagang di
sekelilingnya. Dan jumlah mereka pun semakin banyak, seiring semakin
banyaknya issue yang terdengar bahwa ‘mencari uang itu memang mudah di
Jakarta’.
Pemda lengah, ketika mereka semakin
membludag. Pemda semakin tidak peduli, juga ketika semakin lama mereka
semakin ‘menjajah’ ruang publik kota, yang sedianya untuk kenyamanan,
keamanan dan kesejahteraan warga kota. Dan semakin seperti benang kusut
lah problematika perkotaan, khususnya Jakarta, dengan banyaknya oknum2
yang justru memberikan fasilitas untuk mereka, yang seharusnya tidak
bisa ada di ruang2 publik untuk bertempat tinggal dan berdagang.
Problema terus bergulir ketika ruang
publik menjadi bertambah sempit bahkan menjadikan penyerapan menghilang
dan keamanan juga tidak ada. Banjir melanda. Keamanan hidup tidak ada.
Tentang banjir sudah banyak yang aku ungkapkan. Dan salah satu berita TV
pagi ini, ketika mereka bergerombol untuk menjajakan dagangannya
sebagai pedagang kaki lima dalam lapak dan pegadang asongan di stasiun
kereta bahkan di gerbong2 kereta.
Stasiun apapun adalah merupakan tempat
pemberhentian kereta atau bus untuk mrlayani penumpang. Para penumpang
sudah membayar sesuai aturan dan mereka mau mendapatkan kenyamanan dan
keamanan sesuai yang mereka butuhkan.
Ketika stasiun dipenuhi oleh penjaja
asongan atau dipenuhi oleh PKL, sejujurnya para penumpang sangat
resah,
risih dan tidak nyaman dengan ketidak-amanan serta ketakutan karena
terlalu banyak orang. Bisa jadi, mereka sebagian hanya berpura2
berdagang tetapi mereka adalah pencopet, prnjambret bahkan yang
terang2an, yang lebih buruk lagi.
Peraturan di negara manapun, tidak
memperbolehkan penjaja asongan berkeliaran di stasiun, apalagi di
gerbong. Pedagang yang ada sesuai dengan ijin dan aturan, yang tempatnya
memang disediakan oleh stasiun. Pun hanya sesuai dengan konsep dan
perencanaan. Itu semua ada tata letak dan aturannya, dan membayar sesuai
juga dengan aturannya. Sisanya, tidak boleh berdagang dalam stasiun,
membangun lapak2 PKL di liar dan sekitar stasiun dan pedanang asongan
yang banyak berkeliaran disana.
TV tadi pagi, ditayangankan suasana yang
kacau ketika petugas mengusir pedagang asongan yang menjajakan
dagangannya di gerbong2 kereta. Mereka saling berteriak. Petugas
berusaha untuk menjelaskan tidak bolehnya mereka menawarkan dagangannya
di stasiun dan di gerbong kereta. Tetapi apa yang mereka jawab?
“Kami ini butuh hidup! Kami mencari
makan! Kami juga warga negara yang boleh berdagang untuk hidup! Kenapa
kami di usir karena berdagang untuk hidup kami?”
Bapak2 tua itu berapi2 berkali2
berteriak seperti itu. Tetapi petugas itupun juga hanya menjalankan
tugasnya untuk menertibkan PKL dan pedagang asongan.
Sekarang, siapa yang salah? Siapa yang harus mengalah?
Semuanya benar, dan semuanya juga salah! Pemerintah sudah salah sejak dulu dengan banyak hal :
1. Arus urbanisasi yang tidak ditertibkan
2. Ketidak-pedulian dengan
lingkungan, fisik, manajemen dan sosial masyarakan perkotaan, dengan
tidak adanya punishmen dari peraturan2 yang silanggarnya
3. Tidak bertanggung jawab nya
pemerintah dengan edukasi masyarakat tentang peraturan, kepedulian
lingkungan bahkan anak2 tidak diajarkan sejak dini tentang pendidikan
bermasyarakat, bertoleran dengan sesama atau tentang agama
4. Dan sebagainya
Masyarakat pun juga sangat bersalah dengan :
1. Tidak mencoba merubah mindset pemikirannya sebagai warga masyarakat yang harus bertoleran dan bergotong royong
2. Tidak mau mengubah untuk ‘mencari keuntungan diri sendiri’
3. Dan karena
warga dewasa memang ‘belum mengerti’ untuk nomor 1 dan 2, pastilah
mereka tidak mengajarkan anak2 mereka untuk melakukan yang baik
Semuanya saling menyalahkan, semuanya saling mencari pembenaran diri sendiri …..
***
Sekali lagi, sebuah kota merupakan ‘tempat tinggal’ bagi
warganya. Semua kota haruslah diatur untuk kenyamanan, keamanan dan
kesejahteraan warganya. Karena jika tidak diatur, kota tersebut hanya
akan menjadi HUTAN RIMBA, dimana YANG KUAT adalah YANG MENANG!
Begitu juga Jakarta. Manajemen kita dan
Pemerintah mendesain ( urban planning ) dalam semua segi secara fisik
kebutuhan manusia berkegiatan. Dan mereka juga mendesain tata laksana
peraturan2nya untuk semua hasilnya bisa digunakan oleh semua warga kota,
tidak terkecuali!
Hasil desain dan peraturan ini harus dipatuhi oleh semua warga kota, termasuk penghargaan dan hukumannya, juga sesuai dengan yang disepakati bersama.
Tetapi ketika pemerintah lengah dan
lalai dengan apa yang diatur serta malas untuk melakukannya, warga akan
mulai berani dan terus lebih berani untuk melanggarnya! Begitu juga
ketika warga yang awalnya takut melanggar, tetapi ada ‘lampu hijau’
untuk melanggar, mereka terus melakukannya. Bahkan mereka mengajarkan
anak2 mereka untuk melakukan seperti mereka …..
Dan ini sudah berlangsung sejak dahulu.
Indonesia, khususnya Jakarta, mungkin sudah kehilangan lebih dari 1
generasi, sehingga jika Indonesia mau pulih, mungkin kita harus menunggu
lebih dari 1 generasi dulu, JIKA sekarang kita mau mendidik anak2 kita
tentang kepedulian bermasyarakan dalam sosial perkotaan dan bernegara!
Jika tidak? Mungkin sampai kiamat pun Indonesia, khususnya Jakarta,
TIDAK AKAN PULIH!
Dan jika Jakarta tidak dapat
mentaati yang sudah disepakati ( misalnya tentang peraturan ), Jakarta
akan menjadi HUTAN RIMBA. Dan akan ada penguasa ( pemerintah atau warga )
yang kuat, yang akan melakukan apapun yang diinginkannya ( walau belum
tentu sesuai dengan peraturan ).
Dialah si ‘raja hutan’ …..
Akankah Jakarta mempunyai ‘raja hutan? Duh …..
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Jakarta Menjadi ‘Hutan Rimba?’ Bisa Saja…”
Posting Komentar