Senin, 21 Oktober 2013
Kenangan Buruk dan Tidak Terduga di Jatinegara
Senin, 21 Oktober 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Ketika salah satu anjing jenis Peking ku
mati karena sakit, aku nangis sekencang2nya sambil guling2. Selalu
begitu. Hewan2 peliharaanku sama dengan keluargaku. Mereka aku rawat
sejak kecil, kadang2 memandikan ( biasanya di salon ) dan memberi
makanan, bahkan sebulah sekali aku bawa mereka ke dokter hewan untuk cek
up atau vaksinasi.
Tidak heran, keluargaku sering memarahiku, terutama
papaku, karena aku bisa ketiduran di pojok ruangan rumah orang tuaku,
sambil berpelukan dengan anjing2ku. Bahwa anjing2ku ini lebih sayang
padaku dari pada dirinya sendiri. Mereka sampai tidak mau makan jika aku
dimarahi orang tuaku karena selalu bermain bersama anjing2ku …..
Dalam suatu saat, aku pernah punya 16 ekor anjing. Dari yang besar (
Siberian Husky dan Collie ) sampai yang anak2nya. Swbagian besar memang
anjing campuran bahkan ada seekor anjing kampung yang setia menjaga
rumahku dan anak2 anjing2 yang lain jika mereka ‘nakal’ dan maunya
keluar terus.
Jika kami sekeluarga makan bersama, anjing2ku
mengelilingiku, duduk manis dan menengadahkan kepalanya dengan
menjulurkan lidahnya, minta diberikan makanan. Dan aku sering
memberinya, diam2, karena kalau ketahuan, alamat dimarahi lagi oleh
orang tuaku. Tetapi anjing2ku itu sangat mengerti, karena setiap aku
jatuhkan makanan diam2, mereka tidak berebut, karena mereka tahu,
masing2 punya jatah, dan aku selalu adil …..
Anjing2ku adalah pemakan segala. Mereka
tidak mengkhususkan diri, terlebih lagi aku, makanan jenis daging2an.
Aku beri mereka sayur pun, mereka makan. Sejak kecil memang kami didik
mereka untuk menjadi ‘pemakan segala’. Bahkan kue lebih disukai. Dulu (
tahun 1980-an ) belum ada makanan insan atau snack yang bisa dibeli di
supermarket, sehingga mamaku selalu memberikan tetelan untuk mereka
setiap hari, dicampur dengan sayur serta kue pada ’snack-time’.
Tetapi untuk anjing2 yang ras ( asli,
dan ada ’stambum’ ), aku berikan makanan khusus, bukan harganya tetapi
tetelan direbus tidak memakai garam supaya bulu2nya yang cantik tidak
rontok. Dan mereka mengerti itu! Itulah yang aku heran, ternyata mereka
bisa berpikir, dan aku yakin kalau mereka berpikir dengan ‘hati’ …..
Suatu ketika salah satu anjing Peking
hitamku mati, Miki, namanya. Aku menguburkannya di samping rumahku. Ada
tanah kosong, yang sekarang disewa sebuah provider telpon terkenal.
Tanah itu pasti penuh dengan kuburan anjing2ku, hehehe …..
Berhari2 aku nangis, bahkan di sekolahku
pun aku hanya duduk di kelas, nangid dengan meratapi Miki lewat
foto2nya ( lebay ya? ). Sampai papa sangat kasihan denganku dan mengajak
mencari ganti Miki. Miki memang tidak tergantikan, tetapi aku bisa
memahaminya ketika papa sempat ikut menangis, bukan karena Miki yang
mati, tetapi pasti karena papa melihat aku terus menangis …..
***
Cerita itu mulai dari sini …..
Suatu sore setelah aku pulsng sekolah
dan selesai les, papa mengajakku ke suatu tempat di Jatnegara. Dulu
belum banyak ‘pet-shop’. Dan jika ada pun harganya mahal, karena anjing2
itu memang ras asli. Padahal aku tidak peduli ras atau bukan, tetapi
aku ingin berbagi, menyayangi serta merawat mereka. Anjing2ku yang ras
asli pun, bukan karena beli sendiri, tetapi beberapa teman papa yang
memberikannya kepadaku karena mereka tahu bahwa aku sayang binatang.
Mobil papaku parkir di sisi Stasuin
Jatinegara. Suasana disana masih tidak terlalu ramai, walau masih ‘jam
kantor’. Mudah mencari tempat parkir. Waktu itu aku masih klas 1 SMP.
Papa hanya mengajakku mencari anjing, karena adik2ku atau mamaku pasti
tidak mau ikut karena mereka tidak suka anjing. Papa mengunci pintu
mobil kami, dan menggandengku menyusuri jalan2 di depan ruko2 kuno.
Sambil melihat2 apa yang
papa cari, aku sering bertanya papa,
“Pa, memangnya ada jualan anjing ya disini? Koq hanya jualan kelontong? Baju2 atau sepatu? Kayaknya salah deh, pa …”, terus aku bertanya.
Mungkin papa juga terpengaruh sehingga
papa mencari tahu dan bertanya2 kepada orang2 sekeliling itu. Dulu belum
ada handphone dan tidak banyak terdapat telpon umum. Tetapi jawabannya
oun mengecewakan. Tidak ada yang tahu, dimana membeli anjing2 yang kami
inginkan. Bahkan mereka tidak tahu bahwa ada toko yang menjual anjing
untuk dipelihara.
Aku bertanya2 lagi, “Pa, memangnya teman papa yakin tempatnya disini? Udah pasti? Atau kira2?”.
Duh, aku memang cerewet. Papa hanya fokus untuk mencari anjing untuk putri kesayangannya.
Lalu ada yang ( katanya ) tahu, di
belakang ruko2 tersebut, banyak anjing. Mungkin itu yang teman papa
ceritakan kepada papa, tempat mencari dan membeli anjing peliharaan.
Kami mencari gang diantara ruko2 tersebut untuk kebelakang area
pemukiman padat ( pastinya ).
***
Dibelakang ruko2 tersebut ternyata cukup
‘mengerikan’ untukku, seorang anak kelas 1 SMP yang belum pernah ke
tempat2 seperti itu. Rel kereta dengan banyak gubug kumuh, membuat aku
bergidig ngeri. Aku merapatkan tubuhku ke tubuh papa, dan mengencangkan
pegangan tanganku ke tangan papa. Dan begitu aku melakukan itu, papa
sadar bahwa aku ketakutan …..
Dinding2 ruko ersebut bagian belakang,
penuh coret2an. Sebagian lagi menghitam dan berlumut. Memang tidak
banyak orang yang berkeliaran dan memperhatikan kami. Tetapi aku merasa
pandangan mata mereka terus mengiringi langkah2 kami. Sampai papa
bertanya, dimana ada yang jual anjing2 untuk dipelihara. Suara anjing2
itu memang banyak dan keras, saling bersautan seperti di ‘pet-shop’,
tetapi tidak terlihat mereka, apalagi jenis anjingnya.
Kupikir, “Masak sih, jualan anjing peliharaan disini? Di tempat kumuh seperti ini?”
Ketika ada orang yang tahu tempat jualan
anjing, kami mulai excited. Sudah jauh kami melangkah, masak tidak
bertemu? Dan kami sampai di sebuah ‘rumah’ ( rumah dari papan, sebagian
dari ‘gedeg’ serta banyak coret2nya ), dan bertemu dengan si pemilik.
Aku lebih merapatkan tubuhku kepada tubuh papa sambil bersembunyi di
balik tubuh papa. Untukku, oang itu mengerikan sekali! Berkumis,
berjambang serta banyak tatto di tangannya! Duh …..
Papa bertanya, apakah dia menjual anjing
kecil berwarna hitam? Dia menjawab, ya ada semua berwarna hitam! Aku
mulai tertarik. Anak anjing berwarna hitam? Hmmmm ……
Dia tanya, untuk apa anjing itu? Di sate atau di sop? Atau di tumis?
Heh ??? Di sate ??? Di sop ???
Aku bergidig ngeri! Buat apaan? Masa anjing di makan????
Seketika wajahku memerah! Aku menangis …..
Ternyata, di daerah itu adalah jual
anjing untuk dimakan! Astaga! Seorang anak kelas 1 SMP, adalah seorang
anak yang masih belia dan di didik dari orang tua yang penuh kasih.
Bahwa anjing itu adalah teman dan sahabta kita, yang juga merupakan
makhluk hidup. Apalagi aku memang sayang binatang! Sehingga, hanya
mendengar pertanyaan saja bahwa anjing2 itu akan di sembelih untuk
dimakan saja, membuat aku menangis, kasihan dan ketakutan …..
Papa cepat2 mengajakku untuk ‘keluar’
dari tempat itu dan menuju mobilku. Aku sempat melihat anak2 anjing
berbulu hitam, keluar dari rumahnya. Lucu2. Imut2 dan anak2 anjing itu
menjilat2 kakiku. Mereka mau disembelih??? Betapa jahatnya orang2 yang
membeli anjing2 itu untuk disembelih???
Setelah sampai di mobil, aku menganis
tergugu dan papa memelukku. Sampai reda tangisku, papa tetap memelukku.
Setelah tenang, papa mengajakku ke restauran di sekitar Rawamangun,
mengajakku mengudap snack dan makan es krim sampai aku menjadi lebih
tenang …..
***
Cerita ini berakhir, ketika ada seorang
teman papa yang mengarahkan kami kesana bercerita, bahwa dia tidak tahu
tentang ‘mau cari anjing untuk apa?’ dan papa ternyata juga tidak bilang
bahwa anjing itu untuk dipelihara. Teman papa itu berkata bahwa daerah
itu memang ‘penangkaran’ anjing2 hitam untuk disembelih ( dan khusus
anjing hitam karena ( katanya ) lebih lezat. Duh ….. ).
Anak2 anjing2
kampung, karena ada sebuah suku yang memang selalu mencari hal ini. Dan
walau aku sudah tahu tentang hal tersebut, sampai sekarangpun aku tetap
tidak bisa menerima karena anjing untukku adalah teman dan sahabat …..
Entahlah, apakah masih ada sekarang?
Yang jelas, kenangan buruk itu terus memberkas di hatiku, jika aku
melewati depan Stasiun Jatinegara ……
Tags: Jakarta , sosbud
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Kenangan Buruk dan Tidak Terduga di Jatinegara”
Posting Komentar