Kamis, 25 Juli 2013
‘TransJakarta’ : Layu Sebelum Berkembang
Kamis, 25 Juli 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti

www.ciputranews.com
Lagi tentang konsep transportasi umum di Jakarta.
Cerita tentang Trans Jakarta dengan
‘feeder’ nya sebenarnya cukup memberi solusi untuk perjalanan waktu bagi
warga Jakarta, terutama para pegawai yang tinggal di pinggiran Jakarta
dan bekerja di pusat bisnis Jakarta. Mereka bisa naik ojek atau angkot
dari rumah mereka, atau diantar keluarga mereka ke titik dimana ‘feeder’
akan membawa mereka ke halte Trans Jakarta, dan Trans Jakarta bisa
melaju dengan cepat ke pusat2 bisnis, tanpa halangan karena memakai
jalur khusus, busway. Cukup ok, untukku, sebelum Jakarta berkembang lagi
ke arah yang lebih baik.
Ketika aku pernah 3 bulan tinggal di
Sydney untuk belajar dan survey serta sedikit riset tentang arsitektur,
aku tinggal di seorang arsitek senior, Graeme Goodsell, di Yaralla (
lihat tulisanku Salah Satu Keanehan Dunia Fauna: ‘Platypus,’ Hewan Mamalia Australia yang Bertelur. Agak
jauh dari Sydney Downtown. Jadi ketika dia harus ke downtown untuk
bekerja, aku selalu ikut. Tetapi dulu aku merasa aneh, mengapa dia hanya
membawa mobilnya sampai di suatu titik lokasi, dan dia meneruskan
dengan citybus ke kantornya?
Aku baru mengerti ketika Graeme
bercerita, mengapa dia tidak membawa mobilnya ke kantor dan memilih
menumpang citybus. Ternyata ada beberapa hal :
1. Kantornya agak jauh, di selatan
Sydney sehingga sama sekali tidak efisien jika membawa mobil kesana
karena bensin dan waktu serta lumayan capek jika terhadang macet pada
jam2 kerja.
2. Jika memakai mobil pribadi,
parkirnya pun mahal. Disana ( waktu itu ) tetap saja harus bayar parkir
walau dia bekerja di perusahaan besar. Selain itu, tempatnyapun sedikit,
sehingga susah untuk memarkirkan kendaraannya.
3. Jika harus meeting ke luar
kantor atau harus membeli sesuatu di toko, membawa mobil adalah
‘menyebalkan!’. Bukan hanya parkir mahal, tempat parkirpun jauh. Tidak
seperti di Jakarta, yang bisa berhenti mendadak untuk foto copy atau ke
minimaket ( padahal tidak boleh seperti itu, lihat tulisanku Jakarta ‘Kota Sejuta Minimarket’ ).
Di Sydney, untuk sekedar membeli roti di
toko pinggir jalan, kita harus memarkirkan kendaraan kita di gedung
parkir terdekat, atau bisa berhenti di tempat parkir yang sudah
tersedia. Selain susah mencari tempat parkir, bayar nya pun mahal,
dengan mesin khusus dan dipantau oleh CCTV. Menyebalkan sekali! Sehingga
Mr Howard atau semua warga Sydney waktu itu, memilih menumpang citybus
atau MRT underground, kemanapun tujuannya. Kensdaraan pribadi hanya
khusus untuk keluarga weekend atau emergensi. Mobil bukan untuk gengsi,
tetapi lebih kearah efisiensi …..
Dan konsep citybus di sydney,
berbeda dengan konsep citybus di kota2 dunia yang lain. Mereka akan
menyesuaikan dengan warga dan lingkungannya. Itu kuncinya : mereka mau melayani warganya, untuk kepentingan bersama!
Dan itu pertama kali aku sadar untuk
belajar memikirkan konsep tentang perkotaan untuk Jakarta, tahun 1989
dilanjut tahun 1992, sesaat setelah aku lulus S1 sebelum melanjutkan
belajar di Perth. Aku mulai mengamati dan mengerti tentang konsep2
perkotaan dan otakku sudah penuh dengan ide2 untuk Jakarta …..
***
Konsep Trans Jakarta dengan jalur khususnya, busway
Konsep Trans Jakarta dengan feeder
hampir menyerupai di Sydney, waktu itu. Begitu launching proyek ini, aku
agak semangat, bahwa nanti Jakarta akan bergerak seperti itu. Jalan2
busway sudah dibuat dengan masing2 koridor. Halte2nya pun sudah beberapa
dibangun. Cukup ideal, walau aku mulai bertanya2, kapan bus Trans
Jakarta mulai dapat melayani Warga Jakarta.
Tunggu punya tunggu, ternyata jumlah bus
belum sesuai dengan yang diburuhkan. Beberapa koridor tetap kosong,
padahal jalan busway dan halte nya sudah mulai ‘digunakan’ oleh yang
tidak berhak!

megapolitan.kompas.com
Wah, malah bus non-Trans Jakarta yang berada di jalur busway? Bagaimana nih, pak Jokowi?

www.tempo.co
Atau mobil2 pribadi yang berada di
belakang Trans Jakarta? Coba perhatikan foto diatas, seorang polisi
sedang menilang pengendara mobil pribadi, dan dibelakangnya mobil2
pribadi nekad keluar dari jalur busway … ckckck … benar2 seperti di
‘jalan jahiliyah’, Jakarta seperti kota ‘terbelakang’ dengan
ketidak-pedulian warganya …..
Busway untuk bus2 kota yang notebene
tidak peduli dengan penumpangnya. Berjejal2 dan membuat beban busway
menjadi berat, tidak sesuai dengan standard Trans Jakarta. Apalagi bus
kota atau metro mini itu selalu mengerem mendadak, sehingga aspalnya
akan ‘mengangkat’ yang akan membuat busway bergelombang. Belu lagi
mereka masuk bukan dari pintu busway tetapi lewat batasannya sehingga
batu2 batas busway menjadi rusak! Dan banyak mobil pribadi dan motor
juga masuk ke busway sehingga menambah kesemrawutan konsep Trans
Jakarta, sebelum digunakan …..
Bagaimana dengan haltenya? Sama saja!
Halte2 yang sedianya memakai pintu2 otomatis sudah rusak berat, bahkan
sudah banyak materialnya ( besi2 serta ‘checker plate’ ) dijarah entah
kemana, sehingga sudah banyak yang bolong2. Corat coret? Selalu! ( Lihat
tulisanku Yang Penting Gue, Kan? Yang Lain, Terserahlah ). Dan Trans Jakarta menjadi ‘layu sebelum berkembang’, seperti hatiku …..

www.tempo.co
Penumpang berjejalan dan sering
bergelantungan jika ada yang mendorong dibelakang sana. Pintu otomatis
sudah rusak sebelum dipakai. Trans Jakarta ‘layu’ sebelum berkembang …..
Setelah koridor2 sudah terisi, Trans
Jakarta pernah merupakan alternatif angkutan umum yang lumayan untuk
warga Jakarta. Aku sih tetap tidak bisa untuk menumpang Trans Jakarta.
Tetapi jika aku bertanya kepada beberapa temanku yang menggunakan Trans
Jakarta, ada yang pro dan kontra. Jika pro, bersyukurlah paling tidak
Trans Jakarta bisa membuat sebagian warga Jakarta nyaman berkendara.
Tetapi yang kontra?
Aku terus menggalli dan bertanya, mengapa? Ada beberapa komplain mereka tentang konsep Trans Jakarta :
1. Mana yang katanya supir bergaji
tinggi sehingga peduli dengan kenyamanan penumpang? Jika halte penuh,
tetap saja bertumpuk masuk ke bus, tanpa mengindahkan kenyaman
penumpang. Ya, mungkin penumpangnya saja yang mau masuk, begitu
sanggahan beberapa orang. Tetapi untuk bus2 negara lain, mereka dengan
tegas melarang calon penumpang untuk masuk jika bus sudah penuh, dan
mereka harus menunggu bus berikutnya!
“Bus yang berikutnya lama sekali! Waktunya tidak sesuai dengan timeline!”
2. Haltenya semakin lama semakin
tidak terurus! Ga nyaman!.Bahkan banyak bolong2 dan jika kita menungg
bus datang, seharusnya kita berdiri di batas garis, dan mengantri.
Tetapi? Kita harus berdesak2kan! Bahkan pintu2 otomatisnya sudah rusah
dan tidak pernah dibetulkan! Jadi kita sering harus ‘beegelantungan’
menunggu bus, jika kita didesak dari belakang! Waduh ….. berbahaya!
3. Pada pembelian tiket bus, sering ada pengumuman di depan loket, bahwa ‘bus terlambat’. Katanya lagi, “Ga terlambat saja belum sesuai dengan timeline, apalagi kalau terlambat?”. Wah wah wah …..

news.detik.com
Bagaimana jika tidak terlambat? Lalu terlambat berapa menit? Sepertinya, akan sama saja ya?
Jika aku melihat pemakai jalur busway,
masih ada yang bukan haknya, seperti motor, mobil bahkan metro mini.
Bagaimana tidak terlambat jika pemakai jalur busway sering menghambat
Trans Jakarta? Pada kenyataannya, Trans Jakarta pun sering aku melihat
berjejer2 pada di jalurnya. Seharusnya, bus2 tersebut ada jeda dengan
pengaturan waktu yang sudah disepakati, seperti yang aku tuliskan di ‘Wisata Naik Kendaraan Umum di Jakarta?’ Mimpi, kaleeeeee…

www.merdeka.com
Sepertinya sering terdengar bus Trans Jakaarta, rusak dan terbakar. Memangnya, apa yang terjadi?
So? Kapan Jakarta ‘maju’
dalam hal kepedulian masyarakat? Apakah Indonesia mau menjadi negara2
‘terbelakang’ karena ketidak-pedulian warganya? Jangan-jangan, Indonesia
akan lebh ‘terbelakang’ dibanding dengan negara2 ‘dunia ke-3′ sana …..
Salamku …..


Tentang Saya:

Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “‘TransJakarta’ : Layu Sebelum Berkembang”
Posting Komentar