Senin, 04 Agustus 2014
Makan Siang Pertama di Amsterdam: Masakan China dan Suriname
Senin, 04 Agustus 2014 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Sebelumnya :
***
Amsterdam memang cantik. 3 kali aku kesana, 3 kali juga aku semakin
excited untuk meng-explore. 2 kali aku kesana, aku tidak atau belum bisa
meng-explore semuanya. Hanya
sekedar sight-seeing kota Amsterdam dan
hanya fokus dengan pekerjaan ku saja. Jadi liburan kali ini, 5 hari
tinggal di Holland, khususnya di Amsterdam, membuat aku semakin excited!
Cerita tentang arsitektur Kota Amsterdam, mungkin tidak akan aku ulang. Bisa dibaca di tulisan ku Menikmati Arsitektur dan Lingkunngan di Amsterdam Dengan detail tentang arsitektur dan tata kota Amsterdam. Aku hanya akan menuliskan sesuai dengan detail2 yang aku inginkan.
Dari De Wallen menyaksikan lingkungan
prostitusi illegal yang sudah menjadi Wisata dunia, kami mencari
restoran untuk makan siang. Mencari restoran Chinese Food. Belum
kepingin makanan lokal, ah …. Kami lapar dan benar2 kelaparan!
Arie memang benar2 ‘menguasai Amsterdam, selalu ‘blusukan’ seperti ketika kami ingin maka siang Chinese Food disana …..
Menyusuri daerah pinggiran Wellen,
keluar masuk gang2 kecil di Amsterdam, berkeliling di sekitar itu, kami
menemukan sebuah gang, full dengan resto Chinese Food! Hmmmmm …… Mataku
dan anak2 menjadi semakin melotot, melihat foto2 di menu untuk rencana
makan siang kami! Dan kami dengan Arie yang masih setia mendorong kursi
rodaku, masuk ke dalam salah satu restoran itu, yang tidak penuh …..
Pelayanan mereka cepat sekali. Resto
Chinese Food di banyak negara, sepertinya sama saja. Tetapi untuk ku
tidak sama sekali. Tiap negara, cita rasa itu berbeda, termasuk masakan
khas China.
Masakan China di Asia, kemungkinan besar
nyaris sama, walau tidak sama. Seperti kita tahu, seperti Indonesia
sebagai Negara besar, mempunyai banyak resto China dari banyak suku
China daratan.
Di Indonesia, khususnya Jakarta, ada
masakan China Hokkian. Juga ada masakan China Tio Chiu. ‘Kolaborasi’
masakan China daratan berpadu dengan campuran China-Indonesia pun banyak
di Jakarta. Misalnya masakan China + Belitung, masakan China +
Singkawang, bahkan masakan China + Jawa. Hampir semua daerah di
Indonesia, terdapat masakan China bercampur lokal.
Masakan China + Singapore, China +
Malaysia, China + Amerika atau masakan China + Eropa merupakan masakah
‘chinese food’ yang kami suka! Mengapa? Karena berbagai kombinasi
bercampur bumbu2 oriental serta bumbu2 lokal, menjadikan chinese food
menjadi masakan bercita rasa luar biasa!
*Hihihi … aku ‘gila’ chinese food
ketika aku kuliah di salah satu universitas swasta terbesar di Jakarta,
yang sebagian besar mahasiswanya merupakan suku China atau campuran. Dan
4 tahun aku kuliah disana, menjadikan aku mampu membedakan. Rasa khas
masing2 masakann China dan aku menjadi ‘gila’ chinese food.
Kami masih ke salah satu resto China
( lebih ke Resto Suriname, sih, tetapi akar bumbu2nya adalah bumbu2
China )yang tidak terlalu ramai karena memang sudah sedikit lewat jam
makan. Suasananya bukan suasana Holland, justru ber-suasana China.
Dekorasi resto khas China dengan meja
kursi kayu besar bercorak China. Dinding2nya ditempel berbagai kalender
bertuliskann aksara China serta pelayanan2nya yang tidak bisa berbahasa
Inggris bahkan tidak bisa berbahasa Belanda! Benar2 hanya bisa berbahasa
China!
Ok! Kami menentukan pilihan makan siang
kami. Ada 3 lauk pauk + 4 nasi putih + 4 teh hangat manis, karena udara
waktu itu cukup dingin. ‘Summer’ yang aneh ….
Kami memesan dengan gambar dan sedikit
keterangan bahasa Inggris kepada si empunya ( atau manajer ) resto itu.
Seporsi cap cay ayam goreng, seporsi fu yung hai dan seporsi babi kecap.
Hmmmm ….
Cap cay nya tidak seperti cap cay Indo,
tetapi lebih mirip dengan sayur campur ( bukan 10 jenis sayur / cap =
sepuluh ), dan tidak ada sawi putihnya ) di Amerika, tetapi rasanya
yummy!
Cap cay made in Kam Yin
Fu yung hai nya pun sepertinya
hanya telur dicampur jamur di dalamnya dengan saos asam manis, tanpa
nanas segar,karena nanas jarang di negeri dingin ( buah tropikal ).
Fu Yung Hai made ini Kam Yin
Babi kecap nya pun lain dengan di
Indo, tetapi rasanya memang sangat yummy! Sepertinya kecap di campur
dengan madu, yang membuat masakan itu menjadi manis dengan bumbu2 rempah
‘made in Kam Yin’.
Babi kecap madu di campur dengan paprika hijau dan bawang bombay
Aku tahu, walau nama masakan yang kami
pesan, sama dengan masakan Chinese di Indonesia, tapi kami pun tahu
bahwa rasa masakan tersebut belum tentu sama. Tetapi kami sangat yakin,
masakan tersebut sama2 enak, walau berbeda rasa!
Sambil menunggu makan siang kami, Arie banyak bercerita tentang makanan2 kesukaannya. Ya, salah satunya adalah chinese food.
Baunya semerbak mewangi …. Makanan kami
datang dan seorang pelayan berkebangsaan China berbahasa China
menghidangkan pada kami. Hmmmmm …. Hmmmmm ….. Cacing2 di perut kami
berjingkrakan! Sangat mengundang selera! Yummyyyy …..
So, tidak berlama2 setelah masing2 dari
kami berdoa mengucap syukur atas makan siang itu, berbalapan kami
mengambil semua masakan di depan kami. Saling berebut, tertawa, bercanda
dan
mengomentari masakan itu. Enak dan lezat!
Seperti yang aku yakini, jika masakan
dan makanan entah apa di Amerika dan Eropa, porsinya cukup banyak.
Bahkan sangat banyak! Jika seporsi masakan chinese food di Jakarta,
tahulah besarnya! Biasanya kami makan berempat di resto China, kami
memesan 5 macam masakan. Tetapi di Amerika atau Eropa seperti saat itu,
kami hanya memesan 3 macam masakan untuk 4 orang, dan perhitungan kami
tepat!
Walau selapar2nya, dan seenak2nya
makanan itu, 3 macam masakan itu pun tidak habis! Sehingga kami minta di
‘take-away’. Bisa untuk tambahan makan malam di hotel, dan mengulang
kembali kelezatan masakan siangnya …..
Sebelum membayar, perut kenyang kami
menjadi secercah semangat baru untuk mulai menjelajah lagi ke pelosok2
Amsterdam, dengan berjalan kaki dan aku diatas kursi roda. Senyum pun
berseri2. Kenyang, santai, segar dan bahagia …..
Suasana membahagiakan, berkumpul dengan anak2ku serta sahabat di Amsterdam saat makan siang
Makan siang itu menghabiskan 50 Euro (
sekitar 850 ribu ). Cukup mahal untuk ukuran Indonesia,
tapi cukup murah
untuk uluran Amsterdam. Yah, sudah di-niat-i kan? Berlibur di Eropa
memang mahal …..
***
Angin dingin menyambut kami begitu kami keluar dari resto itu. Brrrrr … padahal matahari tersenyum ramah, dengan sinarnya yang kuning menyengat.
Angin dingin menyambut kami begitu kami keluar dari resto itu. Brrrrr … padahal matahari tersenyum ramah, dengan sinarnya yang kuning menyengat.
Aku merapatkan mantel merahku dan
melilitkan syal tenun berwarna warni-ku, tenun Buna NTT khas Indonesia.
Ya, aku membawa sebagian besar koleksi baju2, mantel dan syal khas
Indonesia ke daratan Eropa, untuk memperkenalkan kain2 tradisional
Indonesia. Konsepnya adalah ‘Harta Karun Indonesia di Daratan Eropa’.
Dan konsep itu sudah aku pikirkan cukup lama untuk mem-blow up keindahan Indonesia lewat kain2 tradisional, koleksiku …..
Anak2ku pun merapatkan jaketnya karena
angin dingin itu. Hanya Arie yang sepertinya tidak merasakan dinginnya
kota Amsterdam dan jaket tipisnya pun tertiup angin, melambai, karena
sama sekali tidak dikancingkan dan tidak merasakan dinginnya …..
Dan jadwal berikutnya adalah menyusuri kanal2 Amsterdam yang sangat terkenal di dunia, dalam ‘canal cruise’ …..
Aku dan anak2ku, narsis di depan resto Kam Yin, Amsterdam …..
Tags: kuliner
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Makan Siang Pertama di Amsterdam: Masakan China dan Suriname”
Posting Komentar