Rabu, 02 Oktober 2013

Potensi Wisata Jakarta Terus Menurun: Mengapa Mereka Lebih Memilih ‘Wisata yang Konsumtif?’



By Christie Damayanti

13807077701293860711
yptravel.com

Sebagai warga kota yang baik, kecintaanku untuk merubah wajah Jakarta menjadi ‘Jakarta Baru’, menggebu2 untuk bisa terealisir segera. Walau aku sangat tahu bahwa untuk itu tidak bisa instan, tetapi harus  bertahap sesuai dengan waktunya. Banyak titik2 yang menjadi permasalahan, baik secara fisik ataupun secara sosial masyarakatnya. Masing2 mempunyai ribuan permasalahan2 yang harus diuraikan seperti mengurai benang kusut. Dan sekarang kita mulai berbenah untuk bersama mengurai benang kusut tersebut untuk benang2 yang lebih terurai …..

Beberapa kali aku mengamati kehidupan sosial masyarakat Jakarta, salah satunya adalah tentang kehidupan warga Jakarta untuk ‘bersenang2′. Artinya, kita butuh bersenang2 setelah 1 minggu bekerja atau bersekolah. Dan yang aku tahu, Jakarta masih kurang untuk sebuah tempat ‘bersenang2′ atau berwisata yang murah untuk keluarga.

Potensi wisata di Jakarta mmang tidak selalu  secara alami. Bahkan, di Jakarta sekarang ini sudah tidak ada wisata alam, secara Jakarta sudah dibuat ‘amburadul’ oleh warga Jakarta sendiri. Jangankan alamnya, fisik buatannya saja sering tidak dipedulikan dengan selalu tidak dipedulikan, misalnya mencorat coretnya …..

Konsep2 wisata di Jakarta sebenarnya cukup beragam. Seperti dunia Ancol, Ragunan, Taman Mini Indonesia Indah ( TMII ), museum2 atau sekedar jalan2 di taman2 seputar Jakarta. Dunia Ancol merupakan ‘trend’ di Jakarta. Seseorang mengatakan, jika sudah di Jakarta tetapi tidak ke Ancol, berarti sama saja bohong … berlebihan? Tidak juga! Bahkan saudara2ku yang jarang ke Jakarta, jika belum melihat Ancol, khususnya Dufan, berarti ada yang kurang. Walau harga masuk dan bermainnya cukup mahal, sebagian besar masyarakat bela2in nabung hanya untuk bermain di Dufan …..

Tetapi tidak dengan wisata yang lain, seperti Ragunan, TMII, museum dan taman2 seputar Jakarta. Mereka dianggap ‘kecil’ dan tidak menarik! Bahkan warga dari luar Jakarta berwisata di Jakarta, mereka lebih memilih ‘berwisata dalam mall!’ Cuci mata bahkan belanja seharian! Termasuk anak2 kita yang tinggal di Jakarta, walau memang mungkin mereka sudah bosan ke Ancol, Ragunan, TMII, atau museum2 ( karena memang tinggal di Jakarta ), tidak seharusnya mereka dididik untuk berwisata di mall, karena itu akan mendidik mereka menjadi sangat konsumtif!

Memang, fasilitas2 wisata Jakarta itu, yang terbaik adalah Ancol. Dengan tiket masuk, memang sudah sepantasnya mereka membangun yang terbaik. Tetapi, mengapa Ragunan ( kebon binatang )  tidak memakai konsep itu? Di banyak kota di dunia, kebon binatang sangat bagus dengan fasilitas2 canggih dan cantik! Bahkan dulu ketika aku masih kecil dan diajak erwisata ke negara lain, aku melihat paket2 wisata lokalnya, salah satunya adalah kebon binatang.

Begitu juga dengan TMII. Mengapa pemda tidak membangun TMII dengan sangat cantik dan luar biasa bagus, secara TMII merupakan miniatur Indonesia? Mengapa potensi TMII dibiarkan saja tidak terurus, setelah TMII dianggap sebuah wisata yang unik untuk Indonesia? Wisatawan asing tidak harus berkeliling ke seluruh Indonesia, sebelum mereka melihat dan merasakan berkeliling Indonesia di TMII.

Aku termasuk sering ke TMII, karena berhubungan dengan hobiku. Dengan sering menyalurkan hobi filateli dalam pameran, aku sudah menganggap TMII, khususnya Museum Prangko, sebuah ‘rumah’ kesekian untukku. Sehingga, aku dengan jelas dan sering mengamati, fasilitas2 apa saja yang tidak dipunyai oleh TMII, jika TMII mau menjadi tampat wisata ‘berkelas’ bagi wisatawan dunia.

Lalu tentang museum. Siapa yang tidak suka museum di Jakarta? Wajar. Sangat wajar! Pertama, bangsa kita belum terdidik dengan adanya museum sebagai tempat wisata. Dengan ‘tidak terdidiknya’ kita dalam masalah ini, tidak heran jika pemda pun mengambil bagian dalam ‘ketidak-sukaan’ warga Jakarta khususnya, bahkan warga Indonesia umumnya, menjadikan museum sebagai tempat wisata.

Kedua, karena museum dianggap bukan merupakan tempat wisata, sehingga fasilitas2nya tidak dipenuhi. AC yang sampai sekarang terus mati di Museum Prangko TMII, misalnya. Sudah 2 tahun lebih AC museum ini mati. Sudah dilaporkan tetapi tidak ada sambutannya. Lalu untuk membetulkannya sendiri tidak ada biaya! Ya, wajar saja! Tiket masuk museum ini hanya 2000 Rupiah saja per-orangnya …… duuuh …..

Museum filateli di Singapore, misalnya. Per-orang sekitar 6 Dollar Singapore, setara dengan sekitar 45 ribu Rupiah, sehingga mereka cukup mandiri untuk fasilitas2 lokal, sebelum melaporkannya jika ada permasalahan. Bahkan museum2 di Amerika, Australia dan di Eropa mematok tiket sampat  ratusan ribu Rupiah untuk masuk per-orang. Dan ituppun bisa saja antre, karena untuk orang lain ( kecuali Indonesia? ), museum adalah tempat wisata ‘berkelas’ ….. selain untuk berwisata, bersenang2 juga untuk belajar …..

Seharusnya, tiket museum justru dipatok cukup besar tetapi pemda harus membangun museum dengan fasilitas2 lengkap! Bahkan jika perlu museum super canggih! Lihat saja, ketika aku mengajak anak2 berwisata terakhir di Singapore, kami ke Mueum Filateli. Semua mereka tidak tertarik. Tetapi setelah mereka mencoba2 fasilitas2 dan kecanggihan2 museum ini, mereka justru sampai tidak mau pulang, karena ‘terbius’ oleh wisata ini ( lihat tulisanku Bermula dari Sebutir Telur dan ‘Philatelic Museum, Singapore’ : Mungkinkah Museum-Museum di Jakarta Seperti ini? )…..

Bagaimana dengan wisata2 taman yang tersebar di banyak tempat di Jakarta? Seperti Taman Menteng, Taman Suropati, Taman Monas dan sebagainya. Sekarang taman2 di Jakarta sudah cukup pandai untuk ‘membius’ warga kota, sebagai tempat wisata murah, bahkan sama sekali tidak ada biaya. Fasilitas2nya cukup baik walau jika pemda ‘ngantuk’, taman2 ini sempat tidak terawat. Permasalahannya adalah memang sebagian warga Jakarta itu benar2 tidak peduli! Tetap corat coret dimana2, buang sampah sembarangan bahkan beberapa remaja berpacaran dengan bebas! Jika malam, sering kali taman2 seperti ini dimanfaatkan untuk tidur bagi tuna wisma …..

Sekarang, tempat2 wisata yang aku tuliskan di atas ( sebenarnya cukup menarik untuk dikembangkan ) cukup beragam dan seharusnya merupakan tempat pembelajaran bagi warga jakaarta khususnya generasi muda. Tetapi terlihat mereka masih nerasa ‘tidak mempunyai tempat wisata yang enak’. Bagaimana dengan wisata2 budaya? Aku belum pernah mendengar tentang potensi wisata budaya bisa ‘didengar’ oleh warga Jakarta, apalagi anak2 muda ……

***
Jakarta memang seharusnya sudah mampu membiayai sendiri bagi semua warga untuk berwisata. Dan yang aku amati adalah, warga Jakarta pun yang berekonomi lemah, mereka mau ‘bela2in’ menabung untuk berwisata ke tempat2 yang cukup mahal. Tetapi, mengapa mereka tidak mau berwisata ke tempat2 yang lebih murah, seprti Museum atau taman? Seharusnya pemda mengadakan riset untuk permasalahan ini. Kupikir, analisaku lumayan jelas dengan memasukan beberapa studi di kota2 dunia lainnya.

Dan jika pemda sudah mulai ‘terbuka’ dan ‘ngeh’ untuk mereka mencari tahu yang berhubungan dengan wisata Jakarta pastilah Jakarta akan lebih baik lagi. Artinya, Jakarta itu adalah kota spesifik, sebagai kota bekas penjajahan Belanda dan ‘multi-culture’, akan mempunyai banyak potensi wisata yang unik dan menarik, seperti beberapa tulisanku dibawah ini :


Walau semuanya merupakan wisata buatan ( bukan alam ), kita harus optimis untuk membangun tempat wisata untuk wwrga Jakarta khususnya ( apalagi wisata yang murah tetapi tidak murahan, atau tempat wisata ‘berkelas’ tetapi bukan ‘maha’ ), dan untuk wisatawan manca negara pada umumnya.

Lebih jauh lagi, mari kita membangun tempat wisata di Jakarta yang berhubungan dengan potensi budaya Indonesia, sebagai warisan budaya bangsa ……

Tags:

0 Responses to “Potensi Wisata Jakarta Terus Menurun: Mengapa Mereka Lebih Memilih ‘Wisata yang Konsumtif?’”

Posting Komentar

Subscribe

Berlangganan Artikel Saya

© 2013 Christie Damayanti. All rights reserved.
Designed by SpicyTricks