Kamis, 10 Oktober 2013
‘Pinangsia’ sebagai Guruku : Mengenang dan Konsep Perbaikan
Kamis, 10 Oktober 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Pinangsia di waktu pagi. Toko2 bbelum buka, tetapi aktifitas dan kehidupan disana sudah dimulai.
Bagi yang bergerak dalam bidang
konstruksi dan bangunan, apalagi yang berhubungan dengan arsitektur,
pasti tahu tentang jalan Pinangsia, di Glodok. Sebuah jalan yang relatif
kecil, sebenarnya. Hanya untuk 1 mobil dalam 1 arah, selebihnya untuk
parkir. Jalan ini yang aku tahu ( aku mulai menjalankan bisnis
konstruksi dan bangunan sekitar tahun 1991-an ketika masih kuliah ),
mulanya hanya tempat ruko2 berbisnis bahan bangunan, sekedarnya.
Sepertinya, pemda tidak ingin membangun sebuah jalan khusus untuk tempat
itu.
Tetapi seiring dengan perjalanan waktu,
jalan tersebut menjadi sangat terkenal sebagai pusat penjualan bahan
bangunan ( khusus nya arsitektur ) di Jakarta, sampai sekitar awal tahun
2000-an. Setelah itu, sudah terdapat sentra2 penjualan bahan bangunan
di Panglima Polim Blok A atau di daerah Mangga Dua. Bahkan sudah sampai
ke daerah Klender, sebagai sentra penjualan bahan bangunan untuk Jakarta
Timur.
Dulu, ketika aku mulai menjalankan
bisnis konstruksi dan bangunan, aku sangat excited untuk mencari bahan2
material yang berhubungan dengan arsitektural. Secara aku memang sangat
senang untuk yang berhubungan dengan desain. Khususnya tentang keramik,
marmer dan granit. Dari yang lokal berharga puluhan ribu per-meter
persegi sampai yang import dan inden berharga jutaan per-meter persegi.
Begitu juga tentang sanitary dari yang lokal sampai import, fabrik dan
kain2 gordin, lampu2, genteng, juga batu bata cantik import.
Aku belajar
dari lapangan, sehingga tidak mengherankan jika aku lulus 4 tahun
sebagai arsitek ( jaman itu aku harus menyelesaikan 166 SKS, yang
seharusnya hanya bisa lulus setelah 5 tahun kuliah ) dengan nilai
kelulusan sangat memuaskan.
Pelajaran berharga sekali untukku. Dalam
mencari cara untuk mencari pengalaman sambil mendapatkan tambahan uang
untuk jajan dan membeli buku2 arsitek ( dulu belum ada internet dan
buku2 arsitek itu mahal sekali dan jarang ada ),
Pinangsia adalah ‘guru’ bagi ke-profesional-an ku sebagai ( calon ) arsitek.
Hampir
pada waktu weekend atau senggang, aku kesana untuk mencari material (
aku sudah menerima ‘proyek’ kecil2an mendesain dan membangun unit toko2
di mall atau unit2 apartemen, ataupun interior rumah ), sampai pemilik
toko2 itu tahu bahwa aku adalah ‘arsitek’ ( waktu itu aku belum menjadi
arsitek ) yang selalu cerewet dan bertanya2 tentang produk2 yang dijual.
Bahkan supir2 yang mengantar material2 tersebut, sudah tahu siapa aku.
Seorang perempuan kecil mungil ( dulu bobotku hanya 35 kg ), selalu
berpakaian kaos dan jeans dan memakai topi, yang cukup ‘galak’ sambil
berteriak2 ketika aku mencari2 material tetapi tidak menemukannya …..
Biasanya, hari Sabtu pagi aku kesana,
masih agak sepi, walau sudah banyak tukang2 mendorong gerobak2 material.
Dengan diantar supir, aku berjalan agak cepat jika sudah tahu mau beli
material apa karena sudah hafal tempatnya. Tetapi sering kali mareial2
baru berdatangan, menjadikan aku berlama2 untuk bertanya2 keuntungan dan
kerugian tentang material2 baru tersebut. Itulah yang menjadi
pengetahuan baru untukku dan itulah yang menjadikan aku ‘terkenal’
sebagai perempuan yang ‘mau2nya bersusah payah’ berhubungan dengan
tukang2 dan supir2.
“Mendingan titip supir atau telpon saja”, kata temanku yang lebih memilih ‘bekerja dengan white collar’ , hehehe …..
Biasanya jam 12.00 siang aku berusaha
untuk beristirahat sejenak, karena jika aku paksakan pasti aku collaps,
kecapekan dan terlalu kepanasan dan dehidrasi ( itu pernah terjadi ).Dan
biasanya, aku hanya sendiri, tetapi bisa juga ditemani dengan teman2ku
yang bekerja sama untuk sebuah proyek.
Aku mundur untuk makan siang. Di Glodok
Plaza, banyak makanan. Di pujasera ( pusat jajan serba ada ) itulah aku
selalu makan siang. Sepiring nasi campur serta segelas jus buah, akan
membuat staminaku naik lagi dan mulai untuk ‘berburu’ material. Dan
sekitar jam 15.00-an, biasanya aku selesai. Bisa kembali lagi ke kampus
atau langsung ke proyekku, tergantung ada kuliah tambahan dan responsi
tugas, atau aku harus cepat bekerja lagi ke proyek2ku.
Sejak dulu pun, daerah Glodok dan Pinangsia itu sudah sangat amburadul. Kadang2 aku hanya geleng2 kepala,
“Sekarang saja sudah amburadul seperti ini, bagaimana 10 tahun lagi?”
Dan kenyataannya, terbukti saat ini.
Seperinya, semakin amburadul-lah Pinangsia, dan pemda belum mulai
membereskannya, secara mereka mendahulukan warga Jakarta ( manusia ),
dibandingkan dengan material2 bahan bangunan ( benda mati ), bukan? Jika
kita bermobil ke Glodog, melewai Glodok Sky di bawah jembatan
penyeberangan, sebelah kanannya itulah pusat material dan bahan bangunan
jalan Pinangsia.
Kemacetan selalu melanda. Di depan
adalah jembatan penyeberangan dari Harco Glodok ke pertokoan Glodok Sky.
Jalan Pinangsia di sebelah kiri
Tetapi Pinangsia itu hanya untuk
showroom nya saja, walau tidak menutup kemungkinan, mereka juga menyetok
( stok ) material2 kecil seperti sanitary, disana. Sehingga, jika aku
benar2 harus langsung membawa pulang material yang aku butuhkan, aku
harus menunggu cukup lama karena mereka akan mengambilnya di gudang,
tergantung mereka menyewa gudangnya dimana. Tetapi yang aku tahu, banyak
dari antara mereka, gudangnya di sekitar jalan Mangga Besar 1, jalan
Pangeran Jayakaarta, atau jika barang2 besar seperti kulkas, AC atau
kompor, mereka stok di gudang Mangga Besar atau Kampung Bandan.
Pernah aku diajak oleh pemilik toko
untuk memilih marmer di gudang mereka di Kampung Bandan. Karena urat2
marmer itu alamiah, sehingga si penjual tidak mau mengambil resiko, jika
si pembeli tidak suka ‘gambar’ dan urat marmet tersebut. Dan aku
menjadi lebih mengerti, tentang bisnis material. Baik mendatangkannya
jika import, menympannya, masuk ke showroom, menjualnya serta ‘after
sales service’nya.
***
Itu Pinangsia yang aku kenal, ketika menjalankan bisnis konstruksi
sebagai arsitek, selain bekerja, dari tahun 1991 sampai sekitar tahun
2007, sesaat aku belum bercerai. Ketika kita melihat suasana di mulut
Pinangsia dari jalan Gajah Mada di bawah jembatan penyeberangan, kadang2
aku berpikir, Jakarta seperti itu benar2 sama dengan China dan Hong
Kong seperti di film2, dengan latar belakang ‘resek’ dan seperti sebuah
tempat penjahat2 narkoba atau mafia2 China yang menembakan peluru2ya
untuk membunuh, seperti itulah yag aku bayangkan. Dan dulu, aku berani
untuk datang kesana, untuk mencari material, ditengah2 lelaki2 ‘kasar’ (
fisiknya memang kasar, tetapi banyak dari mereka sangat lembut dalam
melayaniku sebagai pembeli dan perempuan ) …..
Setelah tahun 2007, aku tidak pernah
kesana lagi, secara aku tidak memegang proyek dan berbisnis konstruksi
lagi. Untuk mencari material, aku hanya menelpon ke mereka, bahkan aku
langsung ke distributor atau importir material2 tersebut, sehinga
praktis aku tidak mempunyai akses ke pelosok2 Pinangsia untuk masuk ke
dalam lingkaran bisnis mereka. Apalagi setelah aku dalam keterbatasan
sekarang ini ……
Pinangsia, ‘jasa’mu akan terus aku
kenang, sebagai ‘teman’ dan ‘guru’, untuk menghasilkan seorang Christie
sebagai arsitek, seperti sekarang …..
Yang aku inginkan bagi pemda Jakarta
bagi Pinangsia adalah bukan menutup bisnis mereka karena sudah menjadi
trade-mark mereka sebagai penjual material dan bahan bangunan di Jakarta
yang utama, tetapi aku inginkan untuk pemda bisa MEMBENAHI dengan MERAPIHKAN dan MENYEDIAKAN fasilitas2 yang memadahi sebagai si pemilik toko, penjual dan si pembeli.
Salah satunya :
1. Parkir yang nyaman dan aman.
Bukan hanya sekedar parkir di depan toko, yang sangat amburadul dan bertambahkan kemacetan.
2. Sebaiknya, jalan Pinangsia dibuat sebagai PEDESTRIAN.
Mobil2 parkir di gedung khusus yang harus dibangun, dan pedestrian itu harus ramah seperti di Pasar Baru.
3. Toko2 itu benar2 sebagai
showroom, bukan gudang, sehingga tidak ada kardus2 bertumpuk di depan
toko, atau tukang2 lalu-lalang membawa gerobak atau troly untuk
mengankut matrial.
4. Disediakan tempat istirahat
untuk sekedar duduk sambil minum. Tetapi jangan biarkan pedestrian itu
menjadi ajang penjual PKL-PKL baru! Diatur dan di manage untuk yang mau
menyewa tempat.
5. ‘Mulut’ jalan Pinangsia lewat
Gajah Mada, sebaiknya bisa membangun seperti gerbang dengan desain
sesuai dengan konsep ‘toko material dan bahan bangunan’, secara
arsitektural.
Hahaha, mungkin pikiranku sudah
ngawur! ‘Wong, pak Jokowi lagi pusing urusin perpindahan warga Jakarta
dari area gusuran ke rusunami2 di beberapa wilayah Jakarta, koq di
‘rusuhi’ dengan benda2 mati seperti material2 dan bahan bangunan ….. Ah,
sudahlah …..
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “‘Pinangsia’ sebagai Guruku : Mengenang dan Konsep Perbaikan”
Posting Komentar