Rabu, 02 Oktober 2013
Pilih Tetap ‘Berdiri di Tempat’ ataukah Ikut Berjuang Bersama untuk Jakarta Baru?
Rabu, 02 Oktober 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Jakarta memang sudah cukup banyak
berubah. Cukup cepat juga Pak Jokowi mampu menciptakan suasana Jakarta
lebih baik, seperti cita-cita kita bersama untuk ‘Jakarta Baru’. Menarik
sekali ketika aku melihat berita tentang Jakarta dari hari ke hari. Apa
yang aku tuliskan selalu di Kompasiana ini, perlahan direalisasikan
oleh tim Pak Jokowi, sehingga sungguh, aku semakin semangat menuliskan
apa yang menjadi konsepku sebagai warga Jakarta yang peduli.
Aku memang hanya memfokuskan
konsep-konsepku tentang Jakarta di bidang pembangunan fisik, khususnya
tentang ‘urban planning’, seperti yang aku tuangkan dalam tesis S2-ku
belasan tahun lalu. Juga sedikit selayang pandang tentang ide-ide
dadakan untuk sebuah area yang memang sebenarnya bisa diberdayakan lebih
baik, seperti di tulisanku tentang Si Kijang Totol : “Tempatmu Bukan di Sini, Sayang …”
Atapun tentang wawasan pemikiran awal
dari sebuah titik sentral dalam kegiatan di Jakarta pun, pemda sudah
mulai mengeksekusinya. Bisa dilihat dari beberapa tulisanku.. Bukan
berarti aku ke-GR-an, pemda mengeksekusi pemikiran-pemikiranku (pasti
ada banyak orang yang sama pemikirannya denganku), tetapi setidaknya
ketika kita memberikan sesuatu tanpa terlalu berharap akan terjadi namun
terjadi juga, aku pun cukup senang dengan perbaikan ini.
Dan aku juga yakin, suatu saat pemda
akan merealisasikan semuanya secara bertahap tentang apa yang menjadi
pemikiran kami, warga Jakarta yang peduli.
Secara fisik, Jakarta mulai berubah. PKL
digusur dan diberikan tempat untuk berjualan, bahkan jauh lebih baik
daripada PKL. Gubug-gubug liar digusur dan diberikan ‘unit rumah’ di
rusunami yang dibangun khusus untuk mereka. Pedestrian mulai dibenahi,
dengan membuat ‘project pilot’ di sepanjang Jalan Gatot Subroto, serta
memberi fasilitas-fasilitas disabled, seperti yang aku pernah tuliskan
konsep-konsepnya di beberapa
tulisanku di Kompasiana ini.
Tetapi bagaimana reaksi warga Jakarta?
Yang aku lihat di televisi, untuk warga
yang memang ingin Jakarta berubah termasuk aku, sangat menyambut
‘gerakan Jokowi’ untuk memperbaiki Jakarta, baik secara fisik kota juga
secara sosial masyarakatnya. Tetapi untuk warga yang justru terkena
dampaknya (seperti warga yang terkena gusuran), sebagian masih memprotes
kebijakan Pak Jokowi.
Seperti warga gusuran dari beberapa tempat
(misalnya, Waduk Pluit: ‘Waduk Pluit : Mengapa Baru Sekarang?, Ada Apa dengan Waduk Pluit? dan Sedikit Konsep tentang Waduk Pluit untuk pak Jokowi ),
beberapa dari mereka tidak mau pindah ke rusunami yang diperuntukkan
bagi mereka. Alasannya beragam.
Dari tentang tidak suka atau susah untuk
naik-turun di rusunami, tidak ada tempat berdagang lagi, sekolah
anak-anaknya yang jauh sampai mereka menuntut lebih banyak
fasilitas-fasilitas untuk apartemen mereka yang baru. Seperti di
tulisanku Sedikit Pemikiran untuk Jakarta : Manajemen Pembangunan terhadap Pertumbuhan Fisik Kota ( Bagian : 8 ).
Dari penggantian dispenser menjadi
kulkas, pemberian uang kerohiman sampai 4 juta serta fasilitas-fasilitas
truk-truk untuk mengangkut barang-barang mereka, sudah disediakan.
Tetapi warga gusuran Waduk Ria Rio, tetap banyak yang tidak mau pindah
karena alasan-alasan yang sering aku merasa tidak semestinya, walau juga
semua manusia memang berbeda-beda, pun itu aku sangat sadari.
Menjadi pemimpin yang baik itu susah,
apalagi menjadi pemimpin yang disegani warganya. Menurutku, pemda
sekarang sudah instropeksi dirinya dan sudah mempunyai pemimpin yang
benar-benar ingin Jakarta berubah. Seharusnyalah kita sebagai warga kota
mendukungnya. Walau perubahan awalnya mungkin tidak menyenangkan,
apalagi perubahan-perubahan yang perhitungannya dalam jangka panjang.
Apalagi kita semua menyadari bahwa sebenarnya kota Jakarta
ini sudah ‘jenuh’ dengan penduduknya yang padat, atau
fasilitas-fasilitasnya yang sudah tidak diperhatikan (kesemuanya), juga
ketidakpedulian warganya dalam segala hal, membuat Jakarta sebenarnya
(menurutku) sudah tidak layak huni sebagai ibukota negara dan sebagai
tempat tinggal yang aman dan nyaman.
***
Dari data lembaga Demografi UI
menyatakan bahwa setiap tahunnya Jakarta ketambahan pendatang sampai
antara 130 ribu-140 ribu orang dengan tingkat kenaikan 1,49% per tahun
(urbanisasi pascalebaran, khususnya). Dan pada kenyataannya menurut
pengamatanku (salah satunya dengan berdiskusi dengan beberapa teman),
ternyata penurunan jumlah penduduk Jakarta itu sebenarnya mereka tidak
ke mana-mana, melainkan mereka tetap tinggal di kota-kota pendukung
Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang ataupun Bekasi. Dan mereka
tetap terus berdatangan ke Jakarta (downtown) untuk bekerja atau mencari
pekerjaan.
Dan label ‘mencari pekerjaan’ ini
biasanya merupakan ‘low-skilled employee’, sehingga mereka tidak akan
mendapatkan pekerjaan di sektor riil. Dan mereka yang akan bekerja
serabutan, membangun gubug-gubug liar atau ‘membangun’ bisnis mereka
sendiri dalam PKL-PKL yang terus menumpuk di Jakarta.
Tidak salah, memang. Namanya juga mereka berusaha untuk mendapatkan sesuap nasi, tetapi akan ada dualisme bagi pemda Jakarta. Yang
pertama pastinya adalah keinginan kota Jakarta lebih baik secara fisik
kota dan sosial masyarakatnya. Yang kedua adalah, tetap ‘memanusiakan’
semua warga dalam berkehidupannya. Dan itu sama sekali tidak mudah!
Kebalikannya, sebagai warga Jakarta yang
sudah mapan dalam kehidupannya, mereka justru semakin tidak peduli
dengan lingkungannya. Banyak contoh, yang aku tidak mau menuliskannya di
sini, semua sudah tahu. Dari mulai menciptakan Jakarta sebagai
‘dunia’nya sendiri dan tidak peduli dengan aturan-aturannya (lihat
tulisanku beberapa ‘Dunia Glamour dan Gemerlap’ Kelapa Gading, Dari Ular Kobra, Serbuk Kuku Harimau sampai Dunia ‘Esek-Esek’, Ada di Mangga Besar, atapun Puncak Terus Menjadi Obyek Bisnis,
dan lainnya), menjadikan Jakarta lebih bertambah buruk!
Seperti tingkat
egoisme dan konsumtisme warga yang sangat tidak terbendung, seperti
mobil-mobil terus bertambah yang menambah kemacetan, tetapi pun pemda
tidak peduli dengan penambahan jalan serta memasukkan mobil-mobil baru
demi keuntungan semata. Atau juga tentang mall-mall menjadi Jakarta
lebih banyak mall (yang notebene barang-barang sekunder atau tersier)
daripada toko kelontong untuk kebutuhan warga (lihat tulisanku Memangnya Jakarta mau Diubah menjadi ‘Kota Shopping?’ ), bahkan apartemen-apartemen mewah lebih banyak dari rusunami untuk warga ekonomi lemah (lihat tulisanku Sedikit Pemikiran untuk Jakarta : Manajemen Pembangunan terhadap Pertumbuhan Fisik Kota ( Bagian : 6 ).
…..
Dari atas, Jakarta tertekan dengan
ketidakpedulian warga yang seenaknya saja, dan dari bawah Jakarta juga
tertekan untuk bisa menaungi warga ekonomi lemah yang butuh tempat untuk
bernaung. Ditambah lagi, oknum-oknum pemda Jakarta yang menambah
permasalahan yang juga seenaknya saja tentang peraturan-peraturan yang
tidak sejalan dengan konsep-konsep yang seharusnya bisa diselaraskan
untuk kehidupan keseluruhannya.
Dan menurutku sendiri, Jakarta, juga
Indonesia, sudah kehilangan 1 mata rantai sebagai generasi muda
Indonesia. Mungkin kita kehilangan 1 atau 2 generasi. Seperti yang aku
tuliskan beberapa kali. Ketika aku kecil (tahun 1970-an sampai 1980-an)
dan diajak liburan ke negara-negara Asia yang waktu itu Jakarta masih
bertengger yang teratas. Tetapi sekarang justru terbalik dengan
kesemuanya tentang Jakarta, sangat tertinggal dibandingkan mereka.
Dan kepemimpinan tim pemda yang dipimpin
oleh Pak Jokowi, sudah sepantasnya diberikan apresiasi walau sebagai
manusia tetap tidak sempurna. Dan Jakarta sekarang ini, sejak pimpinan
oleh Pak Jokowi (akhir tahun 2012), mulai menampakkan perubahan yang
lebih baik.
Sekarang, tinggal kitanya saja sebagai
warga kota. Apakah kita mau ikut berubah, ataukah kita tetap ‘berdiri di
tempat’, dan tidak mau ikut perubahan (tentunya yang lebih baik)?
Jawabannya, ‘terserah anda’.
Kalau aku, aku akan berdiri terdepan untuk perbaikan kota sebagai ‘Jakarta Baru’.
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Pilih Tetap ‘Berdiri di Tempat’ ataukah Ikut Berjuang Bersama untuk Jakarta Baru?”
Posting Komentar