Rabu, 21 Agustus 2013
“Eh, Ada Bule yang Tinggal di Klender, Lho!”
Rabu, 21 Agustus 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti

ilustrasiceritasenasurobotik.blogspot.com
“Eh, ada bule tinggal di Klender, lho!” …..
Aku ingat sekali ada teman yang berkata
seperti itu, ketika aku masih tinggal di depan Kantor Walikota Jakarta
Timur, seakan2 ‘bule’ atau orang asing, tidak mau atau tidak bisa
tinggal di Klender, dengan penekanan kata ‘bule’ seakan dia keheranan
…..
Jiaaaaah ….., memangnya ga boleh, ‘bule’ tinggal di Klender?
Mengapa expatriate atau pekerja2 asing
yang tinggal dan bekerja di Jakarta memilih tinggal di kawasan Kemang (
selain tinggal di unit2 apartemen elite yang sekarang menjamur di
Jakarta ), dibanding dengan rumah2 ( yang tentunya juga banyak yang
mewah dan prestisius ) di timur dan barat Jakarta? Jika expatriate dari
kawasan Asia, mereka lebih memilih tinggal di utara Jakarta, dibanding
ke selatan Jakarta. Ya, penghuni pemukiman di Jakarta sudah ‘terkotak2′.
Dari strata sosialnya serta kehidupan sosialnya, umurnya, juga dari
suku bangsanya.
Seperti yang aku tulisan di beberapa artikelku ( lihat tulisanku ‘Weltevreden’ : Taman Wisata Jaman Kolonial Belanda, Konsepku untuk Jakarta ),
pembentukan sebuah kota bisa dengan berbagai macam konsep. Jika kita
ingin membangun sebuah kota dan kota itu ingin ‘dijual’ untuk bisa
membangkitkan inspirasi sebagai kota yang unik, hidup dan bermartabat,
dalam berbangsa dan bernegara. Begitu juga pembentukan kota Jakarta.
Dengan
sejarah yang sedemikian, ditambah dengan tren kehidupan sebuah bangsa
yang sedang berdiam di negara lain, Jakarta tumbuh menjadi sebuah kota
yang unik, menarik ( menurutku ), cantik serta bermartabat, JIKA kita
mampu untuk mengelolanya dengan baik, dimasa2 sekarang ini.
Jika kita melihat Jakarta, warga Jakarta
ataupun warga Indonesia yang memang hidup di negara tropis dan
kepulauan, kita bisa hidup dimana saja di Jakarta. Dari mulai timur -
barat - utara atapun selatan. Tetapi memang juga tanah2 di Jakarta
memopunyai ‘kelas’nya sendiri2. Di daerah timur dan barat merupakan
daerah yang benar2 dikonsepkan untuk pemukiman di Jakarta, sehingga
harga tanah di timur dan barat Jakarta sebagian besar masih dikatakan
‘murah dibandingkan dengan harga tanah di utara dan selatan Jakarta.
Tetapi pun, antara Jakarta Barat dan Jakarta Timur, harga tanah di barat
Jakarta lebi9h tinggi di timur Jakarta. Apa sebab?
Aku tidak tahu, mengapa investor tidak (
atau belum? ) berkeinginan untuk membangun Timur Jakarta. Dari daerah
Matraman, By Pass, Klender, Rawamangun, Pulo Mas, apalagi Pulo Gebang
dan sekitarnya. Dan menurutku, itu salah satu sebab ( calon ) pembeli
rumah di kawasan tersebut enggan untuk bertempat tinggal disana. Jika
mereka membelinya, itu adalah hanya untuk investas ( aku mengamatinya
ketika aku sempat bekerja jual-beli rumah di Jakarta, dan mereka hannya
ingin mencari dan membeli rumah disana, sebagian besar hanya untuk
investasi karena harganya yang relative lebih murah dengan standard dan
fasilitas yang sama dengan daerah2 lain di Jakarta ).
Jika kawasan Pulo Gebang seharusnya
merupakan ‘downtown’ Jakarta Timur ( dengan Kantor Walikota Jakarta
Timur disana ), tetapi kenyataannya daerah tersebut benar2 terlihat
masih ‘terasing’, seperti bukan berada di wilayah Jakarta. Dengan posisi
di samping jalan toll lingkar luar, sebenarnya daerah ini sangat
strategis. Kita bisa kesana lewat toll, dari Tol Cikampek dan belok kiri
kea rah Cilincing dan keluar ke Bintara. Atau langsung terus dari
Casablanca lewat pinggir BKT ke Raden Inten belok kiri ke jalan
Penggilingan. Dan masing banyak rumah2 penduduk asli ( Duren Sawit dan
sekitarnya sampai Pulo Gebang ) yang bermukim disana dengan rumah2 lama.
Walau juga sudah mulai banyak developer2
yang membuka dan membangun kawasan perumahan disana, tetapi tingkat dan
intensitasnya tidak setinggi di kawasan2 lain di Jakarta, apalagi di
Jakarta Barat dan Jakarta Utara, dan pembeli rumah2 dan menempati disana
adalah warga dari kalangan menegah kebawah. Dan itu bukan sebuah
fenomena, bahwa Jakarta Timur tidak elite dan tidak prestisius, karena
tidak mempunyai fasilitas2 yang memadai untuk warga kalangan menengah
keatas tinggal disana. Sangat wajar …..
Jakarta Barat dan Jakarta Utara.
Merupakan daerah ‘kepala naga’, yang katanya merupakan tempat
‘keberuntungan’ jika mempercayainya. Warga berlomba2 membeli investasi,
bekerja atau tinggal disana. Developer2 juga berlomba2 untuk membangun
fasilitas2 yang cantik, apik dan unik disana. Apalagi di utar Jakarta,
developer berlomba untuk reklamasi sebagai calon tempat tinggal disana,
barupa perumahan2 elite, atau apartemen2 mewah untuk bertempat tinggal.
Jelas, pembeli disana sebagian besar adalah warga dari kalangan menengah
keatas.
Bagaimana dengan Jakarta Pusat? Di pusat
Jakarta, jelas tidak bisa lagi ‘berkembang’, karena yang ada dengan
konsep bangunan2 pemerintahan, bisnis serta hunian ‘resmi’ ( kedutaan2,
rumah2 dinas pebabat serta rumah2 warga tua dengan jaman kolonial
Belanda, lihat tulisanku ‘Weltevreden’ : Taman Wisata Jaman Kolonial Belanda, Konsepku untuk Jakarta ), sehingga dikatakan bahwa Jakarta Pusat adalah jantung kota Jakarta dengan fasilitas2 pemerintahan serta bisnis kota.
Dan Jakarta Selatan, seperti yang aku tuliskan di ‘Kawasan Kemang’ : Masih Adakah Lingkungan Asri Disana?.
Dengan konsep ( yang sebenarnya ) untuk penyerapan Jakarta, sebenarnya,
memang cocok bagi expatriate2 yang tinggal dan bekerja di Jakarta.
Mereka yang terbiasa di tempat ‘dingin’ ( Negara mereka dengan 4 musim
), pasti lebih menyukai pepohonan serta rumah2 besar, dibanding dengan
Jakarta Utara yang sebenarnya juga membangun perumahan2 mahal, tetapi
panas serta sedikit pepohonan. Walau ternyata dengan banyak expatriate
di selatan Jakarta, banyak warga yang melihat ‘ceruk pasar’ untuk
mengambil kesempatan membangun bisnis di selatan Jakarta …..
Pusat dan selatan Jakarta mempunyai
‘pasar’ yang high-class dan prestisius. Dan itu semua tidak dapat
dipungkiri, walau tidak semua daerah di masing2 kotamadya Jakarta.
Misalnya, Jakarta Utara yang sedianya merupakan pemukiman elite, tetapi
warga Pademangan atau sekitar Waduk Sunter, bukan dari kalangan elite.
Begitu juga warga di Pulo Mas, bukan merupakan warga mengeah bawah,
secara rumah2nya besar serta harganya selevel dengan Kelapa Gading.
Jadi, tidak menutup kemungkinan terjadi sebaliknya …..
Mengamati kehidupan dan tempat tinggal
warga Jakarta, untukku sangat menarik. Dari kecil papa mengajakku untuk
me-riset apapun ( lihat tulisanku Hobi Bersama : Papaku adalah Inspirasiku ), membuat aku ‘addict’ untuk mengamati ( salah satunya ) kehidupan social dan arsitektural serta perkotaan untuk fisik Jakarta.
Dan
ketika kita mengerti bagaimana sebuah kota bisa berkembang dan
‘menjual’ keunikan serta martabatnya bagi dunia lewat kepedulian dalam
hasil sebuah pengamatan, kota itu akan lebih bermartabat jika warga
kotanya mempunyai kepekaan social dalam menyentuh norma2 dalam
masyarakatnya …..
Dan itulah yang akan membuat ‘Jakarta lebih baik’ …..


Tentang Saya:

Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to ““Eh, Ada Bule yang Tinggal di Klender, Lho!””
Posting Komentar