Senin, 11 Februari 2013
Kisah Seorang Gadis Tuna Rungu
Senin, 11 Februari 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Insan ‘disabled’ itu bukan hanya
berkursi roda saja lho. Yang terlihat di sekeliling kita adalah orang2
cacat dengan tongkat atau di kursi roda. Insan disabled itu sangat
banyak. Dari cacat fisik yang benar2 terlihat, seperti memakai tongkat,
berkursi roda, lalu ada juga disabled tuna netra, tuna rungu, tuna daksa
atau tuna2 yang lainnya. Mereka tetap disebut sebagai insan disabled.
Bahwa banyak sekali insan disabled yang ada di dumi Indonesia ini,
ternyata tidak bannyak yang tahu dan peduli tentang kegiatan serta
fasilitas2 bagi mereka.
Bahkan pemerintahpun masih ‘ragu2′ untuk membuat
fasilitas2 insan disabled dalam perencanaan kota …..
Aku banyak mempunyai teman insan
disabled, ditambah lagi sekarang ini. Sebagai bagian dari mereka, insan
disabled karena stroke, aku juga merasakan bahwa kepedulian ‘mereka’
diluar sana belum menjadikan bukti bahwa Indonesia merupakan negara
‘ramah disabled’.
Tulisan ini, aku dedikasikan untuk
teman2 insan disabled, khususnya disabled tuna rungu, yang aku sangat
hormati. Bahwa dengan keterbatasan tanpa bisa mendengar, mereka bisa
menjadi generasi muda penerus yang membanggakan. Apakah kita bisa
membayangkan, bahwa mereka tidak atau belum pernah tahu, apa yang
disebut SUARA? MUSIK? Untukku, tidak bisa dibayangkan …..
Sejak aku mampu untuk menerima seorang
anak angkat setelah menikah, aku sudah dihadapkan untuk berbaur dengan
insan disabled tuna rungu. Saudara sebagai keponakan dari mantan suami,
terlahir sebagai insan tuna rungu. Sebut saja namanya Tika. Dia lahir di
Yogyakarta dengan orang tua yang tidak mampu, sehingga kami ingin
membiayainya. Jika Tika terlahir normal, mungkin kamitidak terpikirkan
untuk mengangkat anak. Tetapi Tika nuta rungu. Seorang bayi mungil yang
manis, Tuhan memberikan keterbatasan, tetapi kami yakin bahwa ada berkat
dibalik semuanya …..
Tika bertumbuh sebagai anak tuna rungu
yang cukup cerdas, ceria dan cantik. Dia tetap tinggal dengan orang
tuanya di Yogyakarta, tetapi setiap bulan kami mengirimi dana hidup dan
pendidikannya. Tidak ada perjanjian sama sekali, tetapi niat masing2
dari kami adalah tulus untuk menjadikan Tika seorang gadis hebat,
sehingga Tuhan memberikan berkat2 untuk Tika menjadi gadis tuna rungu
yang luar biasa!
Ketika Tika mulai bersekolah, kami
menyekolahkannya di asrama untuk lebih mandiri. Di Yogyakarta memang ada
beberapa sekolah SLB tetapi tidak berasrama. Sehingga kami
menyekolahkan di Wonosobo, SLB Dena Upakara. Dari umur 5 tahun ( TK ),
Tika sudah mampu mandiri dalam keterbatasannya. Banyak cerita dibalik
daya juang nya sebagai insan tuna rungu, yang akan aku bahas di artikel2
selanjutnya. Sampai Tika lulus SMA dan dia tidak ingin melanjutkan
sekolahnya. Dia ingin bekerja, untuk membantu orang tuanya.
Dengan banyak diskusi dengan kami, Tika
dan orang tuanya serta bertemu dengan beberapa gurunya, serta pengertian
sebagai seorang gadis remaja dalam keterbatasan, jadilah Tika mau
kursus menjadi seorang ‘hair-dresser’ ( di sebuah sekolah hair-dresser
terkenal ) serta bahasa Inggris, selama 1 tahun, dan Tika lulus dengan
membanggakan. Sekarang ini, dia membuka salon kecil2an di depan rumahnya
di Yogyakarta. Dan dia mampu menjadi berkat bagi kedua orang tuanya
serta seorang adik lelakinya …..
Tidak gampang, membesarkan seorang anak
disabled. Insan disabled, sangat rentan dengan ketidak-percayaan
dirinya, walau bukan semuanya. Memang tidak bisa digeneralisir, tetapi
aku sebagai bagian dari insan disabled, aku sangat mengerti tentang
ketidak-percayaan diri. Walau itu bisa diasah, tetapi dengan Tika masih
mempunyai orang tua kandung serta kami tidak sekota dengan nya, bisa
dibayangkan bahwa banyak sekali masalah2 yang mengelilingi Tika. Tetapi
ternyata Tika mampu!
Dan hasil pengamatanku, insan disabled memang
sering tidak percaya diri, tetapi justru mereka lebih bisa mengatasinya
karena semangat juangnya lebih tinggi dari pada orang2 normal, justru
insan disabled yang sejak lahir, sejak kecil atau cacat bawaan, apalagi
jika orang tuanya serta lingkunganya tidak ‘memusuhi’nya …..
Tika sekarang tumbuh menjadi seorang
perempuan insan disabled tuna rungu, berumur 22 tahun yang mandiri,
cantik, bebas berkarya serta mampu memberi berkat bagi keluarganya …..
Lain lagi dengan seorang teman baru, Nisa, anggota dari Young Voice Indonesia ( lihat tulisanku ‘Peduli Disabilitas’: Dunia Berharga Penuh Makna ). Nisa
seorang disabled tuna rungu yang luar biasa! Aku memang baru
mengenalnya beberapa minggu yang lalu. Tetapi aura keluar-biasaan nya
sangat kental terasa. Nisa seorang mahasiswa interior yang sangat
berbakat, cantik, serta sangat mandiri. Aku tidak tahu masa kecilnya,
tetapi dengan aku melihat kehidupan dan kegiatannya sekarang ini, aku
yain bahwa kehidupan masa kecilnya merupakan kehidupan yang
membahagiakannya.
Karena aku pernah ‘hidup’ dengan Tika,
anak angkatku sebagai insan disabled tuna rungu, sehingga aku sudah
mengerti, apayang ada di hatinya. Seperti Tikan, walau aku baru
mengenalnya, Nisa aku anggap anakku sendiri, Nisa seumuran dengan Tika.
Tika memang tidak mau kuliah, tetapi dia
mau mengembangkan dirinya dengan bekerja. Berbeda dengan Nisa, dia
mengasah kemampuannya denga kuliah di Universitas umum, berteman dengan
orang2 normal serta berorganisasi dengan cekatan. Nisa adalah seorang
pengurus dari Young Voice Indonesia, yag aktif.
Pertemuan kedua dengan nya ketika
kegiatan filateli beberapa minggu lalu. Dan sampai malam, aku mengamati
Nisa, dengan kepercayaan-dirinya, tidak ada yang tahu dan melihat bahwa
Nisa adalah disabled tuna rungu. Bahwa dia beerani menjelajah kota
Jakarta dalam berkegiatan sendirian dengan kendaraan umum, malam-malam
pula, itu salah satu keluarbiasaannya ….. luar biasa!
Dalam komunikasiku dengan kedua gadis
luar biasa ini, aku harus pintar2 ‘berbicara’ dengan mulut yang terbuka
lebar. Mereka akan ‘membaca’ mulutku jia aku berbicara dengan mereka,
dan mereka mampu untuk berkomunikasi dengan baik. Jika aku lupa untuk
membuka mulutku, mereka pasti kebingungan karena mereka tidak bisa
membaca bibirku. Mereka mengerti dengan bahasa isyarat, tetapi aku tidak
bisa, kan?
Persahabatanku dengan kedua gadis belia
ini, membuat aku tersadar, bahwa hidup itu jangan pernah terus mengeluh.
Ketika aku sekarang sebagai bagian dari insan disabled baru 3 tahun
ini, aku tahu bahwa ada banyak insan yang terlahir disabled. Banyak dari
mereka bertumbuh dalam keluarga yang tidak sejahtera ( komunikasi atau
materi ), tetapi mereka mampu menjadi seseorang yang luar biasa!
Walau
memang sebagai manusia biasa, ada keterbatasan2, tetapi insan2 disabled
akan lebih ‘tidak mampu’ dibandingkan dengan orang normal, apalagi tanpa
kepedulian banyak orang termasuk pemerintah dengan ketidak adanya
fasilitas2 standard di Indonesia, seharusnyalah mulut kita terkunci dari
segala macam keluhan. Paling tidak, jika mengeluh, marilah kita
langsung kehadapan Tuhan saja, tanpa harus selalu mengeluh kemanapun …..
Salam dari kami, insan disabled tetapi tetap berkarya …..
Tags: kejiwaan , Kesehatan
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Kisah Seorang Gadis Tuna Rungu”
Posting Komentar