Selasa, 12 Februari 2013

Gelar? Ilmu? Atau Intregritas?



By Christie Damayanti


13606546411199594563
michaesseaver.com

Ketika aku masih kecil, masih bersekolah, tentunya orang tuaku selalu mendorongku untuk bersekolah setinggi-tingginya. Paling tidak setinggi sekolah orang tuaku, bahkan diharapkan lebih tinggi dari mereka berdua. Tentunya semua orang tua selalu mengharapkan anak2nya berpendidikan tertinggi. Sudah lumrah dan sudah sepantasnya …..

Aku bersekolah disekolah2 terbaik waktu itu, dan kuliah di kampus terbaik bahkan sampai ke negeri Kanguru, itu berkat jasa orang tuaku. Pasti juga semua anakakan menecap pendidikan tertinggi jika orang tuanya peduli tentang anak2nya, bukan? Sangatlah wajar.

Jaman dahulu, jaman aku bersekolah, kita sangat mengharapkan title atau gelar di depan atau belakang nama kita. Bahkan ketika aku sedang kuliah S2, banyak sekali orang2 seumuran papaku, benar2 mengejar gelar S2 di blakang namanya, tetapi ternyata sewaktu kuliahpun mereka hanya duduk sbentar, dan diskusi2 serta tugas2nya diserahkan kepada sekretarisnya! Dan setelah itu, pikiranku berubah drastis!

***

Dengan bangga, waktu itu,  ku menuliskan namanku dibelakang gelar pendidikan S1 ku, ketika aku menandatangani lamaran kera pertamaku, di sebuah developer terkenal. Lamaran ini sekedar basa basi, karena ketika aku lulus S1 dengan angka yag sangat memuaskan, aku langsung diterima sebagai pegawai tetapi di perusahaan itu, yag memang mencari bibit arsitek di beberapa universitas, dan au salah satunya.

Dan dengan bangga pula, aku menyalami ibu2 tua sabagai Direktur HRD ketika beliau menganggukkan kepalanya tanda permintaan gajiku diterimanya. Dan ibu itu memberikan kartu namanya serta mengatakan bahwa jika aku mendapat masalah di pekerjaanku, aku diminta untuk menghubungi ibu itu. 

Dan ketika aku membaca nama di kartu nama itu, beliau yang merupkan anak dari pemilik perusahaan itu, tidak menyertakan gelarnya di depan dan di belakang namanya, padahal aku tahu bahwa beliau adalah master  ( S2 ) di bidang yangn di tekuninya serta merupakan kandidat doktor! Dan seketika itu juga, aku malu mendapatkan tanda tanganku dengan nama dan gelarku dengan mentereng di formulir penerimaan pegawai di perusahaan tersebut …..

***

Dua kali aku mengamati sebuah kenyataan yang terbalik dengan konsep2 yang diterapkan masyarakat, bahwa sebuah gelar itu bukan sebuah kebanggaan. Bukan, bukan seperti itu, tetapi sebuah gelar itu belum dikatakan sebagai kemampuan untuk menjalani pekerjaan dan kehidupan. Bahkan banyak orang pintar dan sudah bermateri banyak, tidak mencantumkan gelarnya di depan atau di belakang namanya, seperti ceritaku diatas.

Cerita pertama tentang orang2 seumuran papaku, berebut mencari gelar, tetapi hanya untuk gagah2an. Mereka tidak merasakan benar2 berpendidikan S2. Tugas2 mereka diserahkan sekretarisnya, bahkan mereka mengajak kami, kaum muda yang belum berpengalaman bekerja ( aku mengambil S2 sebagai fresh graduate dari S1 ) untuk mengerjakan tugasnya dengan iming2 uang. 

Waaahhh …… aku ingat sekali, ketika aku menolak dengan tegas untuk menerima uang dari mereka, ketika tugas dan diskusi kelompok meminta orang tersebut mau untuk mengerjakan tugas2nya!

Dan ketika hasil tugas tersebut, aku tidak mencantumkan nama mereka dalam penyerahan tugas di tata usaha, mereka memintaku untuk mencantumkan nama mereka, tetapi sekali lagi aku menolak dengan tegas usaha2 untuk itu! Sampai akhirnya, mereka tidak lulus untuk mata kuliah itu, sehingga teman2ku yang tadinya mau saja melakukan yang berseberangan dengan aku, akhirnya mereka mengikuti caraku …..

Setelah akhirnya aku berteman dengan mereka, mereka berkata bahwa perusahaannya minta untuk mereka mencari gelar untuk menjadi tingkat lebih tinggi sebagai pegawai. Waktu itu tahun 1994, belm bannyak cerita tentang ‘gelar palsu’. Sepertinya merekapun belum terpikirkan ‘membeli gelar’, walaupn dengan mereka tidak mengikuti kuliah dan tidak membuat tugas, mereka sebenarnya sudah ‘membeli gelar’ dengan tidak sengaja. 

Walaupun akhirnya, cara itu kami ‘patahkan’ dengan tidak memasukkan namannya dalam tugas2 kelompok. Karena jika tugas pribadi, mereka bisa memasrahkan kepada ‘pembuat tugas atau joki’. Dan tidak bisa meminta kami untuk membuat tugas mereka untuk tugas2 yang berkelompok …..

Yang pertama, bahwa seseorang bersekolah atau kuliah itu untuk mencari ilmu, bukan hanya mencari gelar. Bahwa gelar adalah sekian alasan untuk kita bersekolah, untuk kita mempunyai ‘cara’ hasil mencari ilmu, tetapi gelar bukan sebagai ’simbol kepintaran’ hasil dari mencari ilmu …..

Cerita kedua diatas, ketika aku sekali lagi ‘ditampar’ dengan sebuah kenyataan secara berbalikkan dengan cerita pertama. Bahwa pada crita kedua, gelar bukan sebagai ’simbol kepintaran’, tetapi sesorang akan tetap bersahaja dan berwibawa, bukan karena gelarnya tetapi cara pandangnya serta ekspresi dan integritasnya dalam hidup.

Si direktur HRD, seorang anak dari konglomerat yang membawahi banyak perusahaan atas nama keluarganya, tidak perlu mencantumkan gelarnya, karena kenyataan tentang pekerjaannya. Bukan itu saja! Bahwa beliau mampu dengan rendah hati, ‘memaksa’ aku untuk ‘melepaskan’ gelarku sebagai simbol di depan namaku, walau beliau tidak pernah berbicara apa2 tentang itu. 

Bahkan ketika aku diminta untuk mencantumkan gelarku pada formuli pebuatan kartu namaku, aku mencoretnya! Dan ternyata semua pegawai disana sama sekali tidak memikirkan gelarnya! Mereka hanya memikirkan tugas2 dan pekerjaan mereka, sesuai dengan masing2 talentanya dalam bekerja!

Di perusahaan pertamaku waktu itu pun,  mereka tidak pernah menanyakan dimana aku kuliah atau IP ( Indeks Prestasi ) nya berapa atau bagaimana tugas2nya sewaktu kuliah. Mereka hanya ingin aku bekerja dengan sebaik2nya, dan berprestasi dengan setinggi2nya, tidak peduli dengan gelar atau IP nya.

Yang kedua, bahwa seseorang menjadi berhasil, bukan karena gelarnya atau karena kepintarannya, tetapi karena kepiawainya dalam kebersahajaannya serta integritasnya sebagai manusia …..

Dua hal yang bertolak belakang tetapi membuat aku benar2 tersadar bahwa aku dulu bersekolah adalah untuk mencari ilmu dalam mencapai ekspresi diri dan hasilnya untuk pelayanan dan panggilan Tuhan dalam berkarya …..

Cerita terakhir adalah benar2 membuat aku terpengarah. Sangat berlainan dengan kedua cerita keatas. Begini, ketika aku masih bersekolah dan kuliah, teman2  yang pintar dan alim, ternyata sekarang tetap bersahaja. Aku tidak tahu kehidupannya sekarang, tetapi pekerjaannya sangat bersahaja. Mereka bekerja dalam idealisme dan kehidupannya juga sangat teratur seperti jaman mereka kecil.

Tetapi teman2 yang nakal, bandel atau yang tidak naik kelas, kenyataanya mereka lebih ‘bergaung’ di seantero komunitas terbatas, bahkan bisa menjadi ‘orang2 top’. Padahal dulu mereka ada yang tidak naik kelas dan nakal2. Aku mendapatkan teman 1 angkatan ketika masih SMP yang bandel dan nakal, sekarang dia menjadi konglomerat dengan banyak bisnis. 

Begitu juga seorang teman TK yang dulu selalu menggangguku dan nakal sekali, sekarang dia bekerja sebagai seseorang yang pintar dan mampu menolong anak2 teman2nya dalam mencapai nilai baik untuk lulus ujian sekolahnya. Ya, dia menjadi pengajar di bimbingan belajar miliknya sendiri …..

Yang ketiga, bahwa semuanya bisa berubah! Bahwa dalam hidup, tetaplah melakukan yang terbaik, sehingga apapun yang terjadi, kita akan tetap bisa dikenal sebagai seseorang dengan integritas tinggi dalam kebersahajaan kita …..

Tags: ,

0 Responses to “Gelar? Ilmu? Atau Intregritas?”

Posting Komentar

Subscribe

Berlangganan Artikel Saya

© 2013 Christie Damayanti. All rights reserved.
Designed by SpicyTricks