Selasa, 12 Februari 2013
Gelar? Ilmu? Atau Intregritas?
Selasa, 12 Februari 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Ketika aku masih kecil, masih
bersekolah, tentunya orang tuaku selalu mendorongku untuk bersekolah
setinggi-tingginya. Paling tidak setinggi sekolah orang tuaku, bahkan
diharapkan lebih tinggi dari mereka berdua. Tentunya semua orang tua
selalu mengharapkan anak2nya berpendidikan tertinggi. Sudah lumrah dan
sudah sepantasnya …..
Aku bersekolah disekolah2 terbaik waktu
itu, dan kuliah di kampus terbaik bahkan sampai ke negeri Kanguru, itu
berkat jasa orang tuaku. Pasti juga semua anakakan menecap pendidikan
tertinggi jika orang tuanya peduli tentang anak2nya, bukan? Sangatlah
wajar.
Jaman dahulu, jaman aku bersekolah, kita
sangat mengharapkan title atau gelar di depan atau belakang nama kita.
Bahkan ketika aku sedang kuliah S2, banyak sekali orang2 seumuran
papaku, benar2 mengejar gelar S2 di blakang namanya, tetapi ternyata
sewaktu kuliahpun mereka hanya duduk sbentar, dan diskusi2 serta
tugas2nya diserahkan kepada sekretarisnya! Dan setelah itu, pikiranku
berubah drastis!
***
Dengan bangga, waktu itu, ku menuliskan
namanku dibelakang gelar pendidikan S1 ku, ketika aku menandatangani
lamaran kera pertamaku, di sebuah developer terkenal. Lamaran ini
sekedar basa basi, karena ketika aku lulus S1 dengan angka yag sangat
memuaskan, aku langsung diterima sebagai pegawai tetapi di perusahaan
itu, yag memang mencari bibit arsitek di beberapa universitas, dan au
salah satunya.
Dan dengan bangga pula, aku menyalami
ibu2 tua sabagai Direktur HRD ketika beliau menganggukkan kepalanya
tanda permintaan gajiku diterimanya. Dan ibu itu memberikan kartu
namanya serta mengatakan bahwa jika aku mendapat masalah di pekerjaanku,
aku diminta untuk menghubungi ibu itu.
Dan ketika aku membaca nama di
kartu nama itu, beliau yang merupkan anak dari pemilik perusahaan itu,
tidak menyertakan gelarnya di depan dan di belakang namanya, padahal aku
tahu bahwa beliau adalah master ( S2 ) di bidang yangn di tekuninya
serta merupakan kandidat doktor! Dan seketika itu juga, aku malu
mendapatkan tanda tanganku dengan nama dan gelarku dengan mentereng di
formulir penerimaan pegawai di perusahaan tersebut …..
***
Dua kali aku mengamati sebuah kenyataan
yang terbalik dengan konsep2 yang diterapkan masyarakat, bahwa sebuah
gelar itu bukan sebuah kebanggaan. Bukan, bukan seperti itu, tetapi
sebuah gelar itu belum dikatakan sebagai kemampuan untuk menjalani
pekerjaan dan kehidupan. Bahkan banyak orang pintar dan sudah bermateri
banyak, tidak mencantumkan gelarnya di depan atau di belakang namanya,
seperti ceritaku diatas.
Cerita pertama tentang orang2 seumuran
papaku, berebut mencari gelar, tetapi hanya untuk gagah2an. Mereka tidak
merasakan benar2 berpendidikan S2. Tugas2 mereka diserahkan
sekretarisnya, bahkan mereka mengajak kami, kaum muda yang belum
berpengalaman bekerja ( aku mengambil S2 sebagai fresh graduate dari S1 )
untuk mengerjakan tugasnya dengan iming2 uang.
Waaahhh …… aku ingat
sekali, ketika aku menolak dengan tegas untuk menerima uang dari mereka,
ketika tugas dan diskusi kelompok meminta orang tersebut mau untuk
mengerjakan tugas2nya!
Dan ketika hasil tugas tersebut, aku
tidak mencantumkan nama mereka dalam penyerahan tugas di tata usaha,
mereka memintaku untuk mencantumkan nama mereka, tetapi sekali lagi aku
menolak dengan tegas usaha2 untuk itu! Sampai akhirnya, mereka tidak
lulus untuk mata kuliah itu, sehingga teman2ku yang tadinya mau saja
melakukan yang berseberangan dengan aku, akhirnya mereka mengikuti
caraku …..
Setelah akhirnya aku berteman dengan
mereka, mereka berkata bahwa perusahaannya minta untuk mereka mencari
gelar untuk menjadi tingkat lebih tinggi sebagai pegawai. Waktu itu tahun
1994, belm bannyak cerita tentang ‘gelar palsu’. Sepertinya merekapun
belum terpikirkan ‘membeli gelar’, walaupn dengan mereka tidak mengikuti
kuliah dan tidak membuat tugas, mereka sebenarnya sudah ‘membeli gelar’
dengan tidak sengaja.
Walaupun akhirnya, cara itu kami ‘patahkan’
dengan tidak memasukkan namannya dalam tugas2 kelompok. Karena jika
tugas pribadi, mereka bisa memasrahkan kepada ‘pembuat tugas atau joki’.
Dan tidak bisa meminta kami untuk membuat tugas mereka untuk tugas2
yang berkelompok …..
Yang pertama, bahwa seseorang bersekolah atau kuliah itu untuk mencari ilmu, bukan hanya mencari gelar. Bahwa gelar adalah sekian alasan untuk kita bersekolah, untuk kita mempunyai ‘cara’ hasil mencari ilmu, tetapi gelar bukan sebagai ’simbol kepintaran’ hasil dari mencari ilmu …..
Cerita kedua diatas, ketika aku sekali
lagi ‘ditampar’ dengan sebuah kenyataan secara berbalikkan dengan cerita
pertama. Bahwa pada crita kedua, gelar bukan sebagai ’simbol
kepintaran’, tetapi sesorang akan tetap bersahaja dan berwibawa, bukan
karena gelarnya tetapi cara pandangnya serta ekspresi dan integritasnya
dalam hidup.
Si direktur HRD, seorang anak dari
konglomerat yang membawahi banyak perusahaan atas nama keluarganya,
tidak perlu mencantumkan gelarnya, karena kenyataan tentang
pekerjaannya. Bukan itu saja! Bahwa beliau mampu dengan rendah hati,
‘memaksa’ aku untuk ‘melepaskan’ gelarku sebagai simbol di depan namaku,
walau beliau tidak pernah berbicara apa2 tentang itu.
Bahkan ketika aku
diminta untuk mencantumkan gelarku pada formuli pebuatan kartu namaku,
aku mencoretnya! Dan ternyata semua pegawai disana sama sekali tidak
memikirkan gelarnya! Mereka hanya memikirkan tugas2 dan pekerjaan
mereka, sesuai dengan masing2 talentanya dalam bekerja!
Di perusahaan pertamaku waktu itu pun,
mereka tidak pernah menanyakan dimana aku kuliah atau IP ( Indeks
Prestasi ) nya berapa atau bagaimana tugas2nya sewaktu kuliah. Mereka
hanya ingin aku bekerja dengan sebaik2nya, dan berprestasi dengan
setinggi2nya, tidak peduli dengan gelar atau IP nya.
Yang kedua, bahwa seseorang
menjadi berhasil, bukan karena gelarnya atau karena kepintarannya,
tetapi karena kepiawainya dalam kebersahajaannya serta integritasnya
sebagai manusia …..
Dua hal yang bertolak belakang tetapi
membuat aku benar2 tersadar bahwa aku dulu bersekolah adalah untuk
mencari ilmu dalam mencapai ekspresi diri dan hasilnya untuk pelayanan
dan panggilan Tuhan dalam berkarya …..
Cerita terakhir adalah benar2 membuat
aku terpengarah. Sangat berlainan dengan kedua cerita keatas. Begini,
ketika aku masih bersekolah dan kuliah, teman2 yang pintar dan alim,
ternyata sekarang tetap bersahaja. Aku tidak tahu kehidupannya sekarang,
tetapi pekerjaannya sangat bersahaja. Mereka bekerja dalam idealisme
dan kehidupannya juga sangat teratur seperti jaman mereka kecil.
Tetapi teman2 yang nakal, bandel atau
yang tidak naik kelas, kenyataanya mereka lebih ‘bergaung’ di seantero
komunitas terbatas, bahkan bisa menjadi ‘orang2 top’. Padahal dulu
mereka ada yang tidak naik kelas dan nakal2. Aku mendapatkan teman 1
angkatan ketika masih SMP yang bandel dan nakal, sekarang dia menjadi
konglomerat dengan banyak bisnis.
Begitu juga seorang teman TK yang dulu
selalu menggangguku dan nakal sekali, sekarang dia bekerja sebagai
seseorang yang pintar dan mampu menolong anak2 teman2nya dalam mencapai
nilai baik untuk lulus ujian sekolahnya. Ya, dia menjadi pengajar di
bimbingan belajar miliknya sendiri …..
Yang ketiga, bahwa semuanya bisa berubah! Bahwa dalam hidup,
tetaplah melakukan yang terbaik, sehingga apapun yang terjadi, kita
akan tetap bisa dikenal sebagai seseorang dengan integritas tinggi dalam
kebersahajaan kita …..
Tags: Edukasi , sosbud
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Gelar? Ilmu? Atau Intregritas?”
Posting Komentar