Senin, 22 Oktober 2012
Kisah Keempat Anak Nur Ali, si Tukang Kayu yang Berpulang….
Senin, 22 Oktober 2012 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Keempat anak Nur Ali : Adit, Desva,
Dita dan Arya dengan bibi2 mereka ( kakak dan adik Nur Ali ). Bu Peni (
yang memakai baju abu2 ) adalah yang dari dulu merawat anak2 Nur Ali
jika Nur Ali bekerja di Jakarta setelah istri meninggal …..
Hari Minggu, 14 Oktober 2012 pagi2 kami
sudah berangkat ke Tegal, kota tempat tinggal tukang kayu kami, Nur Ali (
lihat tulisanku Kisah Seorang Tukang Kayu yang Berpulang ….. ),
untuk menengok anak2nya serta memberi sedikit berkat dari Tuhan untuk
mereka. Sebenarnya, bukan hanya sekedar sumbangan, tetapi kami, aku dan
keluargaku dan sebagian teman2ku yang membaca tulisanku tentang Nur Ali,
ingin memberikan dana pendidikan kepada anak2 Nur Ali yang masih
membutuhkan. Jadi, bukan hanya sumbangan 1x saja tetapi dana pendidikan
yang berkelanjutan.
Sekitar jam 1 siang, kami tiba di Tegal.
Sebenarnya bisa lebih pagi, tapi ketika hampir sampai ke Tegal, macet
luar biasa dengan ratusan truk besar sehingga lebih dari 1 jam kami
antri masuk kota. Segera papaku telpon bu Peni, kakak dari Nur Ali, yang
juga menjadi ‘ibu’ dari ke-4 anak Nur Ali.
Dan kami bertemu di depan SD
Degung karena memang rumah Nur Ali masuk ke pelosok desa di Tegal, Jl. Projosumarto, Langgen RT 14 / 03, Kecamatan Talang.
Aku sih sudah 2x ke rumah Nur Ali, tetapi ketika anak2ku masuh kecil,
belasan tahun lalu, sehingga memang aku lupa. Kami - aku, papa, mama,
Michelle dan supir kami - di sambut baik oleh mereka.
Rumah itu sangat sederhana, itupun
sebenarnya rumah orang tuanya. Nur 4 bersaudara dan Nur anak ke-2.
Adiknya langsung seorang laki2 yang juga bekerja sebagai tukang kayu di
Jakarta, sedangkan 2 saudaranya perempuan dan yang tinggal di rumah itu
adalah 3 saudara, tetapi Nur selalu di Jakarta karena bekerja sebagai
tukang kayu, beberapa kali ikut dengan kami dalam beberapa pekerjaan.
Ke-4 anak2 Nur memang selalu diasuh oleh bu Peni, kakak dari Nur Ali.
Rumah warisan orang tua Nur Ali ( yang bercat hijau ), yang ditinggali 3 anaknya serta cucu2nya
.
Kehidupan Nur Ali dengan saudara2nya di Tegal, di rumah peninggalan orang tuanya …..
Ketika Nur ditinggal mati istrinya 1,5
tahun lalu, dia memang sakit berat sampai tubuhnya sungguh kurus. Kami
pikir karena kesedihannya yang mendalam ditinggal istrinya. Bolak balik
dia sakit, katanya sakit paru2 lalu sakit perut karena dia selalu
berobat di Tegal, bukan di Jakarta. Setelah itu dia tetap bekerja di
Jakarta, sering kerumah kami karena kami memang selalu membuka pintu
rumah kami jika dia memerlukan bantuan.
Pun dia sempat tinggal di
rumahku pribadi di Pulo Gebang, ketika aku bercerai dan tinggal di rumah
orang tuaku yang sekarang aku tempati.
Sebelum Lebaran tahun ini, kami
memerlukan bantuan Nur untuk memperbaiki beberapa perabotan kami yang
rusak, tetapi Nur tidak datang2 sampai ketika kami sedang ada di acara
keluarga, bu Peni menelpon papa sambil menangis mengabarkan bahwa Nur
Ali meninggal dunia …..
Sungguh, air mataku langsung keluar,
karena Nur Ali memang seorang tukang kayu yang baik, paling tidak
untukku dan untuk keluargaku. Dia selalu berdiri di depan aku, ketika
banyak orang ingin menggangguku, bukan hanya secara fisik bahkan dia
justru memilihku dibandingkan ex suamiku, justru dia ingin melindungiku.
Nur Ali telah tiada ….. Dan 2 minggu ini, aku selalu terpikir dengan
anak2nya yang sekarang sudah yatim piatu …..
Setelah kami bertemu dengan keluarga Nur
Ali, ternyata dia sakit lever sejak lama sampai di saat2 kritisnya
sebelum dia meninggal, dia sama sekali tidak bisa bergerak serta semua
aktifitas pribadinya di ranjangnya, dan bu Peni yang mengurusnya ….. Dan
kami sama sekali tidak tahu, karena ketika papaku telpon, tidak
dikatakan seperti itu dan katanya semuanya baik2 saja …..
Aku membayangkan, betapa tersiksanya Nur Ali dengan sama tidak bisa beraktifitas, ketika dia memang benar2 hanya berada di tempat tidur. Kasihan, dan sambil bu Peni bercerita tentang akhir hayat Nur, aku berjalan masuk ke rumahnya, melihat kamarnya yang sekarang dipakai anak2nya …..
Anak2nya ternyata ada 4 orang ( ralat :
di artikelku disebutkan 5 orang ). Yang pertama, Adit umur 11 tahun
kelas 5 SD. Yang kedua, Desva umur 10 tahun kelas 4 SD, lalu Dita (
satu2nya perempuan ) umur 7 tahun kelas 1 SD dan Arya umur 5 tahun belum
bersekolah.
Mereka bersekolah di SD 02 Pesayangan Kecamatan Talang dan menurut oom nya Nur Ali, sekolahnya gratis, sesuai program pemerintah.
Aku berpikir, bagaimana aku bisa
menolongnya? Keadaan keluarga Nur Ali sepertinya memang susah, mungkn
Nur yang paling ‘maju’ dengan melihat beberapa perabot elektroniknya di
kamar almarhum. Juga karena Nur memang sudah ikut kami puluhan tahun
sehingga dia tahu, mengerti dan bisa membeli barang2 di Jakarta,
dibanding dengan saudara2 nya yang lain.
Bukan mau ‘menuduh’ mereka, tetapi
dengan keadaan mereka sendiri yang seperti itu, susah sekali aku bisa
tahu, bagaimana dana yang kami berikan bisa benar2 sampai kepada anak2
Nur Ali. Sekarang ini, mereka terlihat sangat tidak terurus, secara
fisik. Aku sangat mengerti itu. Bu Peni atau saudara2nya yang lainpun
sudah menikah dengan anak2 mereka, dan keadaannya juga tidak mudah,
bagaimana mereka bisa mengurus dan membiayai anak2 Nur? Sungguh, aku
trenyuh melihatnya …..
#Tuhanku, bagaimana aku bisa menolong mereka?#
Seharian sepanjang kami pulang ke
Jakarta, aku berpikir, apa yang aku bisa lakukan? Bagaimana cara kami
memberi santunan untuk mereka? Bukan hanya kami, tetapi beberapa sahabat
kami juga ingin membantu mereka dengan dana pendidikan. Tadi kami sudah
memberikan sumbangan sekedarnya, tetapi kamipun ingin memberi dana
untuk pendidikannya, sehingga mereka masa depannya akan lebih baik …..
Ada beberapa kemungkinan yang bisa
diambil untuk dana pendidkan mereka. Salah satunya, jika mereka mau dan
diperbolehkan untuk tinggal di asrama, di sebuah yayasan bagi anak2
yatim piatu dan disekolahkan, di Yogyakarta atau di Semarang. Tetapi,
dengan obrolah dan sedikit diskusi kami dengan keluarganya, terlihat
bahwa anak2nya tidak bisa / tidak mau / tidak boleh ‘diambil’ oleh orang
lain. Dan itu kami bisa mengerti karena mereka masih terlalu kecil,
apalagi yang balita.
Kemungkinan kedua mungkin dengan dana
asuransi pendidikan mereka. Mungkinkah kami membeli asuransi pendidikan
untuk mereka, dan membayar premi tiap tahun sampai mereka dewasa, walau
kami bukan siapa2 mereka? Akankah nanti bermasalah, sehingga semuanya
menjadi permasalahan baru? Apalagi mereka ada di Tegal dan jauh dari
Jakarta.
Duh, sampai malam aku berpikir terus, bagaimana caranya? Apa yang aku harus lakukan untuk anak2 Nur Ali? Entahlah …..
Sudah sejauh ini dalam berbuat yang
terbaik untuk ‘titipan’ Tuhan melalui anak2 Nur Ali, aku percaya, Tuhan
akan membuka jalan untuk kami. Apa yang harius kami lakukan, Tuhan akan
menjawabnya. Karena misi kami adalah tulus, ingin berbagi berkat NYA,
walau tetap harus berpikir ’smart’.
“Tuhanku Yesus, bantulah kami untuk
menjadi saluran berkat bagi anak2 Nur Ali. Kami percaya, ada rencara
Tuhan yang terbaik untuk mereka, walau sekarang kami belum tahu, apa
itu. Tetap teguhkan kami dalam misi ini, sehingga mereka bisa menjadi
anak2 yang baik, sesuai dengan kehendak MU” …..
Salamku dari Tegal …..
Tags: Catatan Harian
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Kisah Keempat Anak Nur Ali, si Tukang Kayu yang Berpulang….”
Posting Komentar