Senin, 02 Juli 2012
‘Waduk Pluit’ : Mengapa Baru Sekarang?
Senin, 02 Juli 2012 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Tags:
Jakarta ,
Penghijauan ,
sosbud
Sebenarnya yang aku tahu, pekerjaan
Waduk Pluit meliputi 2 tahap. Tahap pertama, pembangunan Waduk Pluit ini
sebesar 80 hektar berkapasitas 2,5 juta meter kubik. Meliputi pekerjaan
penggalian serta pekerjaan mekanik dengan mengeluarkan air ke pintu
air Pasar Ikan. Dan tahap kedua adalah pembangunan pintu penutup Waduk
Pluit ini, ring kanal sert 3 jembatan dan dam di Ancol. Semuanya sudah
di desain sedemikian oleh ahli2 yang berpengalaman.
Biayanya cukup besar termasuk
penelitian dan mendapat dana pinjaman dari Belanda. Termasuk untuk
pembebasan lahan. Pekerjaan dimulai dengan penandatanganan tahun 1977
dan selesai tahun 1980. Presiden Soeharto meresmikan Waduk Pluit tahun
1982, yang dilengkapi dengan sistem polder untuk mengendalikan genangan
air di beberapa daerah sekeliling waduk tersebut.
***
Ini sekilas tentang Waduk Pluit yang
sebenarnya benar2 dirancang dan di desain oleh ahli2 yang berpengalaman,
apalagi dengan dana bantuan dari Negeri Belanda. Artinya, untuk
mendapatkan dana bantuan dari luar negeri, pastilah semuanya merupakan
desain yang teruji, karena tiak akan yang akan meminjamkan dana kepada
Indonesia, jika penelitian2nya tidak sesuai dengan standard2 desain yang
ada. Artinya juga, Waduk Pluit ini seharusnya sesuai dengan prediksi2
yang di inginkan, apalagi dana penelitian pastilah sangat besar.
Tetapi pada kenyataannya sejak
diresmikan tahun 1981 itu, apakah Waduk Pluit benar2 sesuai dengan yang
diharapkan? Apakah Waduk Pluit mendapat perlakuan yang layak sebagai
fasilitas umum Jakarta? Apakah Waduk Pluit mampu menyerap air dan
genangan2 air yang bisa memporak porandakan Jakarta? Padahal sistem
polder sudah terbangun sejak pertama kali Waduk Pluit ada, kan?
Ketika gembar gembor banjir Jakarta
sejak beberapa tahun belakangan ini, Waduk Pluit, masih tidak di gubris
oleh warga Jakarta.
Mengapa demikian?
Mengapa warga Jakarta hnya
‘menyalahkan’ debit air hujan yang turun sampai berlipat kali dan
banjirpun melanda?
Apakah hanya sungai yang menjadi kambing hitam,
dengan pendakalannya sampai ½ tinggi sungai dengan pemukiman2 di
bantaran sungai?
Mengapa baru sekitar beberapa bulan ini ( setelah ada
pak Jokowi ), Waduk Pluit mulai ‘dirusuhi’ oleh warga Jakarta?
Apakah
karena kita melihat Waduk Pluit sekedar tempat penampungan air hujan
tanpa tahu sejarahnya, dan tanpa peduli dengan keadaannya?
Ya, sering kita, terutama aku, sangat
menyayangkan sebuah fasilitas di Jakarta yang rusak dan tidak
terpelihara. Jangankan sebuah Waduk yang sebenarnya bisa menjadi
penampungan air banjir, fasilitas2 yang tersebar dan mempunyai fungsi
strategis bagi warga Jakarta saja, sangat tidak terurus!
Seperti tidak
pedulinya warga Jakarta serta pemda Jakarta untuk memelihara halte2 bus
yang tidak berfungsi, atau ketidakpedulian warga Jakarta yang masuk
seenaknya dalam fasilitas Trans Jakarta. Apalagi sebuah waduk yang
besar, yang mungkin tidak banyak penduduk Jakarta tahu tentang adanya
waduk tersebut.
Cerita tentang Waduk Plui sudah aku tuliskan di beberapa tulisanku terdahulu :
Ada Apa Dengan Waduk Pluit? dan Sedikit Konsep Untuk waduk Pluit untuk Pak Jokowi jelas
bahwa Waduk Pluit merupakan fasilitas untuk warga Jakarta. Pertumbuhan
penduduk Jakarta dari tahun ke tahun terus bertambah tinggi. Dan
merekapun tidak mampu untuk membeli rumah yang ditawarkan pengembang2 di
Jakarta. Apalagi mereka berasal dari setor pekerja menegah kebawah yang
tidak mampu memikirkan ‘bagaimana menjadi warga kota Jakarta yang
baik’. Mereka hanya berusaha untuk memikirkan mencari uang lebih baik
dari pada bekerja di kampung halaman mereka …..
Dan mereka membangun daerah ’slum’ yang baru, termasuk dibantaran sungai dan bantaran Waduk Pluit ini …..
Ketika ditahun 2004 kemarin, Waduk Pluit
memiliki endapan lumpur sekitar setinggi 1 meter! Berarti pendagkalan
waduk yang juga berarti mengurangi debit air hujan! Sehingga jika
dihitung dari awal 80 hektar sampai 2004, sudah 1/3 kapasitas waduk ini
terisi lumpur! Apakah ada yang peduli? Aku rasa tidak! Bahkan wrga
urbanisasi semakin meluas, termasuk di bantaran waduk ini.
Setelah Jokowi ‘masuk’ ke Jakarta,
beliau mulai melakukan normalisasi Waduk Pluit ini, dan ternyata
SEBAGIAN WARGA TIDAK SETUJU, dan justru mengecamnya! Hmmmm …..
Pemda melakukan pengerukan lumpur serta
merelokasi pemukiman kumuh disana. Dan tiba2 Komnas HAM tiba2 muncul
untuk mempertahankan hak asasi warga yang ( merasa ) haknya direbut oleh
Jokowi. Padahal jika aku tuliskan di Ada Apa dengan Waduk Pluit?,
jelas2 terlihat bahwa taman disekitarnya merupakan tanah negara yang
tidak unttuk mendirikan pemukiman.
Ditambah lagi, jika memang sebidang
tanah mau diddirikan rumah, semuanya harus mendapatkan ijin lewat DP2B (
Ijin mendirikan Bangunan ), bukan sekedar membangun rumah dengan
seenaknya.
Kelayakan sebuah kota sebagai tempat
tinggal, bukan sekedar ‘untuk tempat tinggal saja’. Fasilitas2 umum
harus diperhatikan. Konsep2 untuk rekreasi juga harus ditambahkan.
Tempat2 untuk bekerja, berusaha atau berdagang, bukan hanya sekedar
berjualan tanpa ijin. Bahkan sebuah rumah yang nyaman untuk ‘tempat
tinggal’, tidak boleh dipakai sebagai tempat berdagang!
Semuanya ada
aturannya.
Begitu juga dengan Jakarta sebagai
tempat tinggal yang nyaman. Ketika sebuah waduk Pluit, yang semestinya
merupakan sebuah fasilitas untuk membuat banjir menurun dan di desain
dengan baik serta ahli2 dengan penelitiannya yang memakan biaya mahal,
tetap saja Jaarta tidak mau atau tidak peduli untuk merawatnya!
Bagaimana dengan cerita2 komunitas2 atau LSM-LSM yang terbatas, baik
desain dan dananya?
Ah ….., mungkin aku hanya ‘omong ngaco’.
Aku hanya berangan2, untuk kita lebih peduli dengan lingkungan kita.
Sesuatu yang baik, indah dan mahal, yang di sediakan oleh pemerintah
saja tidak mampu membuat kita peduli, bagaimana dengan sesuatu yang (
mungkin ) jelek dan murah tetapi dibangun dengan ‘hati’ oleh sekelompok
masyarakat untuk yang terbaik bagi Jakarta ….. Lalu, kita harus
bagaimana?
#angansianghujandatang…..
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “‘Waduk Pluit’ : Mengapa Baru Sekarang?”
Posting Komentar