Selasa, 31 Juli 2012
Perempuan (Juga) Sebagai ‘Tiang Penyangga’ Keluarga
Selasa, 31 Juli 2012 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Dalam tulisanku tentang ‘KDRT’ : Tidak Hanya Pelecehan Fisik Semata ….. , tidak dipungkiri bahwa budaya patrilineal sebagai budaya berfokus kaum pria, menjadikan kaum perempuan semakin tertekan dan enggan untuk mengembangkan potensi dirinya dan masalah tersebut ternyata sangat berpengaruh terhadap pandangan hidup kaum perempuan itu sendiri. Mereka lebih memilih untuk tidak bekerja ke luar rumah dan hanya mengurusi hal2 yg berbau sekitar rumah tangga saja. Jikapun mereka bekerja, mereka lebih memilih usaha kecil2an ( rumahan ) yang sifatnya benar2 membantu suami untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga saja …..
***
Kata2 tersebut mencuat dari seorang Dwi Jalu Atmanto dalam tulisannya tentang :
Kata2 tersebut mencuat dari seorang Dwi Jalu Atmanto dalam tulisannya tentang :
Pemberdayaan Ekonomi Perempuan, Antara Peluang dan Tantang ( Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2012 ). Sangat benar adanya, bahwa dalam kenyataannya posisi perempuan dalam kehidupan berkeluarga sangat ‘lemah’, walaupun sebenarnya kaum perempuan merupakan ‘tiang penyangga’ rumah tangga.
Bahwa jika kaum pria pergi bekerja untuk membiayai rumah tangganya, kaum ibu-lah yang menjadi ’soko guru’ nya. Dan begitu perempuan menjadi ’soko guru’ seharusnya mereka mampu untuk menggantikan peran kepala keluarga, JIKA sang kepala keluarga tidak sanggup lagi membiayai keluarganya atau mengabaikan peranannya sebagai tulang punggung keluarga!
Peluang2 serta kesempatan yang ada, tidak banyak kaum perempuan yang fokus untuk mengambil tangan itu. Secara statiskik dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta orang sekitar 49,5% adalah kaum perempuan tahun 2008. Dan hanya sekitar 38% merupakan pekerja perempuan. Bukan hanya kaum perempuan di desa2 saja yang tidak bekerja, melainkan juga kaum perempuan di kota2 besar! Mengapa demikian? Salah satunya adalah konsep budaya patrilineal itu. Apalagi budaya timur termasuk Indonesia, sangat menjadikan pria sebagai fokus dan pria adalah ’segala2′ nya.
Seorang teman bercerita tentang rumah tangganya. Si pria adalahh temanku, sebut saja James. James menikah dengan seangkatannya, sama2 sarjana S1, sebut saja Nola. Sewaktu kuliah, mereka terlihat modern, dan konsep hidup mereka eksklusif. Setelah menikah, aku tidak dengan kabar mereka lagi. Tiba2 kami bertemu di Facebook, dan aku mengobrol banyak dengan James.
Ceritanya, ketika menikah masing2 tetap bekerja sebelum mempunyai anak. Setelah anaknya lahir, James meminta Nola berhenti dari pekerjaannya, dengan alasan anaknya sangat membutuhkan Nola sebagai ibunya. Nola pun menyanggupinya, tetapi dia mengajukan persyaratan untuk bisa bekerja lagi setelah anaknya bisa di’serahkan’ kepada kerabatnya untuk dijaga ketika Nola bekerja, dan James pun juga menyanggupinya.
Tetapi setelah anaknya berumur 2 tahun dan Nola berniat untuk bekerja lagi, James tetap melarangnya, dan sampai ketika anaknya berumur 5 tahun pun, James tetap melarang Nola untuk bekerja lagi!
Aku heran. Sebagaimana teman2ku yang lain, termasuk aku, adalah ‘produk’ modern, dimana tidak banyak kaum pria yang ( menurut aku ) tidak membolehkan istrinya bekerja. Justru banyak kaum pria ingin istrinya bekerja, demi gengsi atau memang untuk membantunya membiayai rumah tangganya. Tetapi ternyata, James benar2 tidak mau Nola bekerja lagi. Aku tanya kepadanya, mengapa?
Tahu apa yang James katakan?
“Gue sih memang produk modern, tetapi gue tetap mau kalau istri gue di rumah saja, siap menunggu suami pulang. Toh gue bisa membiayai keluarga gue, buat apa istri gue kerja? Mendingan urus anak2 saja”
Astagaaaaaa ….. Aku geleng2 kepala. Aku katakan, bahwa perempuan tetap membutuhkan eksistensi dirinya, walau bukan karena uangnya mereka bekerja. Tetap saja James tidak membolehkan Nola bekerja. Ternyata, dibenak James masih terbentuk bibit ‘jadul’, karena mama James tidak bekerja, tante2nya juga tidak bekerja …..
*Atau karena James tidak ingin ‘tersaingi’ karena Nola memang lebih pintar dalam hal pekerjaan. Dan hal ini, karena James pria sedangkan Nola perempuan, karena hampir semua pria tidak mau disaingi oleh kaum perempuan* …..
iseng aku bertanya dalam hati ….
***
Ilustrasi diatas bukan mengada2. Masih banyak kaum perempuan yang tidak bisa untuk berkegiatan untuk eksistensi dirinya. Jangankan kaum perempuan di desa2, bahkan Nola pun, seorang perempuan produk modern, menjadi ‘kesewenang2an’ suaminya, yang akhirnya James menceraikan Nola di saat2 Nola sudah membaktikan dirinya dengan tidak bekerja …..
Untung, Nola memang seorang sarjana, pintar dan sudah pernah bekerja sebelum menikah. Walau tidak gampang mencari pekerjaan untuk membiayai hidupnya dan anak2nya, Nola bisa mendapatkan pekerjaan yang di ingininya …..
Aku memang belum menemukan data statistik tentang ini, bahwa perempuan2 modern di kota metropolitan masih ada yang tidak boleh bekerja oleh lingkungannya, terutama oleh suami2 mereka, tetapi di lingkungan temanku saja, sudah ada beberapa yang istri2 tidak boleh bekerja oleh suami2 mereka. Bagaimana dengan perempuan2 yang lain, yang tidak tinggal di kota, posisinya tidak mengenal pendidikan serta yang hanya tahu mengabdi kepada suami dan keluarganya?
Bagi banyak perempuan, kesempatan mendapatkan pekerjaan, baik memang untuk membantu suami demi membiayai keluarga, atau hanya untuk eksistensi diri, tidak banyak yang bisa melakukannya. Tantangan kaum perempuan sebagai ’soko guru’ bagi keluarga, juga tidak memberi kesempatan untuk bisa melakukannya. Dan antara kesempatan dan tantangan bagi kaum perempuan Indonesia ini, ternyata masih cukup jauh untuk mereka bisa membuat hidup mereka lebih baik.
Jangankan di desa2, contoh diatas, di sebuah kota metropolitan dan mereka berada di dunia globalisasi saja, masih ada yang tidak mau kaum perempuan bekerja MELEBIHI kaum pria. Dan ternyata, masih banyak perempuan yang ‘pasrah’ bahwa hak2 dalam bekerja diambil oleh pria …..
Artikel2 berikutnya, aku akan bercerita tentang banyak teman dan sahabat perempuan yang berusaha untuk ‘mengambil’ hak2 mereka dalam berkegiatan. Semoga dapat kita berpikir bahwa kesetaraab gender dalam berkegiatan harus di tanamkan dengan kapasitasnya masing2 …..
Salamku buat semua perempuan Indonesia …..
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “ Perempuan (Juga) Sebagai ‘Tiang Penyangga’ Keluarga”
Posting Komentar