Jumat, 11 Oktober 2013
Masih Adakah Kepedulian Jakarta untuk ‘Ikan-ikan’ dari Pelabuhan Sunda Kelapa?
Jumat, 11 Oktober 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Aku berlari-lari setelah keluar dari
mobilku, sambil menggandeng tangan papaku. Mamaku sudah berjalan jauh di
depan bersama adik-adikku dan tanteku menuju Pasar Ikan. Waktu itu,
kami semua masih kecil-kecil dan orang tuaku, apalagi Papa sangat suka
dengan kepiting rebus, udang goreng atau cumi bakar, sehingga periodik
sekali kami ke Pasar Ikan dekat Museum Bahari untuk mencari hewan-hewan
laut kegemaran kami. Dan aku terakhir turun dari mobil, menemani Papa
yang memarkirkan mobil kami.
Sungguh, walau aku perempuan yang
diinginkan Mama untuk mengikuti jejak Mama yang suka ke pasar untuk
membeli kebutuhan bahan makanan, tetapi aku benar-benar tidak suka ke
pasar, hehehe… sehingga jika aku ke Pasar Ikan aku hanya melihat-lihat
ikan dan hewan-hewan aneh, bukan ‘ngubek-ngubek’ pasar untuk mencari
harga yang lebih murah. Jadi, aku hanya berkeliling dengan papaku,
melihat-lihat saja, sementara mamaku bersama dengan tanteku benar-benar
‘ngubek-ngubek’ pasar sedangkan adik-adikku juga bersama dengan aku dan
papaku.
Mulai dengan melihat-lihat ikan-ikan segar dan hewan-hewan aneh yang bisa dimakan. Ada kepiting (lihat tulisanku Kepiting Soka : Cangkangnya ‘mak Kriuk … Kriuk … Kiuk … ), berjenis-jenis udang dan cumi-cumi (lihat tulisanku Kuliner ‘Anak Gurita’ : Sensasi Tentakelnya, Hmmmmm …… ), kerang (lihat tulisanku ‘Tiram ( Oyster ) Segar’ untuk Pencinta Makanan Eksotis ), atau ubur-ubur (lihat tulisanku ‘Ubur-ubur’ Sebagai Makanan Pembuka yang Memanjakan Selera ), sampai timun laun untuk haisom (lihat tulisanku ‘Haisom’ : Tubuhnya Gurih dan Lembut di Mulut ). Kadang-kadang kami menemukan banyak hewan-hewan laut yang tidak untuk dimakan tetapi untuk dikeringkan menjadi souvenir.
Dari Pasar Ikan itu, aku, adik-adikku
dan papa berjalan-jalan di sekitarnya melihat-lihat toko-toko souvenir
dari hasil tangkapan nelayan. Berjenis-jenis kerang dibuat berbagai
bentuk kebutuhan, seperti hiasan rumah, perangkat di meja makan ataupun
sekedar jepit rambut. Ada juga kuda laut kecil yang minyaknya (katanya)
bisa sebagai ‘obat kuat’ untuk pria. Ada lagi Bulu Babi, dengan
duri-durinya yang tajam, sangat menarik karena jika masih hidup, dan
kita tertusuk duri-durinya, racun akan langsung masuk ke tubuh kita dan
akan bermasalah dengan kesehatan kita.
Jika ‘emak-emak’ seperti mama dan
tanteku sudah masuh ke pasar, pasti akan lama sekali, pasti lebih dari 2
atau 3 jam, sehingga biasanya kami sempat juga masuk ke Museum Bahari.
Sebuah museum yang sebegarnya sangat menarik dan merupakan salah satu
cagar budaya di Jakarta Utara, tetapi sampai sekarang pemda tidak
mensosialisasikan museum ini sebagai tempat wisata yang keren dan
berkualitas.
***
Itu adalah gambaran Pasar Ikan dekat
Museum Bahari di seberang Pelabuhan Sunda Kelapa. Sebuah kenangan yang
manis sekali dengan keluarga yang sering berjalan-jalan mencari ikan dan
melihat-lihat kekayaan alam lautan Indonesia lewat hasil tangkapan
nelayan-nelayan di Pelabuhan Sunda Kelapa. Dari sejak SD sampai sebelum
lulus SMA, kami masih sering berjalan-jalan di sana. Tetapi ketika aku
dan adik-adikku sudah lulus SMA, praktis kami tidak pernah lagi ke sana
hanya aku saja yang beberapa kali ke sana berhubungan dengan kuliah dan
pekerjaanku.
Beberapa saat sebelum Papa dipanggil
Tuhan, awal Maret 2013 kemarin, aku, Papa, Mama dan anak-anakku sempat
berjalan-jalan ke sana. Memang tidak mencari ikan-ikan atau hewan-hewan
laut kegemaran kami dulu, tetapi kami hanya meniti jejak nostalgia
antara aku dan kedua orang tuaku. Dan kami bercerita tentang nostalgia
itu kepada anak-anakku.
Keadaan gang kecil yang masuk dari Jalan
Pasar Ikan sebagai jalan tempat Museum Bahari berada, waktu itu pun
(sekitar pertengahan tahun 1970-an sampai akhir tahun 1980-an), sudah
sangat amburadul. PKL-PKL berseliweran di sana berjualan minuman, rokok,
atau beberapa mainan. PKL-PKL itu berada di depan toko-toko souvenir
yang menyebabkan parkir menjadi susah dan berjalan-jalan pun tidak
nyaman karena pedestrian dipakai oleh PKL.
Apalagi mulut gang yang menuju bangunan
besar tempat Pasar Ikan berada, dipenuhi oleh angkot-angkot atau Metro
Mini, sehingga semakin semrawutlah tempat itu, waktu itu!
Bagaimana dengan sekarang?
Keadaan tersebut tidak jauh berbeda
dengan tahun-tahun kami sering ke sana. Bahkan lebih semrawut lagi.
Untuk parkir mobil di sana sekarang lebih susah lagi, sehingga
menjadikan warga Jakarta yang dulunya senang ke sana seperti keluargaku
dulu, menjadi malas dan memilih mencari ikan di pasar modern atau
supermarket saja. Kadang-kadang toh harganya tidak terlalu beda jauh,
dan ikan-ikan di supermarket juga banyak yang segar-segar bahkan ada
juga yang masih hidup.
Pasar Ikan-nya sangat kotor dan jorok.
Memang, semua pasar itu kotor dan jorok, lebih-lebih di Jakarta (?),
tetapi jika warga yang berjualan di sana tahu tentang kepedulian sosial
untuk kebersihan, kenyamanan, dan prioritas bagi pembeli, aku yakin
pasar tersebut akan lebih nyaman untuk melakukan transaksi jual-beli.
Pedagang-pedagang yang sebagian besar merupakan nelayan-nelayan yang
hasil tangkapannya dijual di pasar itu, dengan sembrononya tidak peduli
dengan kenyamanan pembeli. Padahal belum tentu pembeli itu yang bisa
untuk ‘berjorok-jorok ria’. Banyak ibu-ibu (dari dulu) sepulang dari
Gereja Minggu siang seperti kami dulu, ke Pasar Ikan untuk benar-benar
mencari ikan atau sekedar berjalan-jalan saja.
Ada lagi tentang gang di depan pasar.
Jalannya sudah semakin rusak, sepertinya tidak pernah diperbaiki lagi
(?). Toko-toko souvenir yang dulunya menjual hasil tangkapan nelayan
yang disulap untuk barang cantik dari kerang dan yang lain, sekarang
menjadi toko-toko yang menjual tidak jelas. Hanya seperti lingkungan
kumuh di perkampungan perkotaan. Sayang sekali.
Jika tahun 1970 sampai 1980-an seperti
cerita di atas, alangkah indahnya jika semakin ke sini tempat itu
menjadi wisata Dunia Bahari. Dari sejarah kebahariaan Indonesia dan
Batavia Tempo Dulu, ada penampungan ikan bagi nelayan-nelayan di sana
sampai penampungan untuk hasil tangkapan yang menjadi benda-benda seni,
sebenarnya akan membuat Jakarta lebih ‘kaya warna’ untuk kepariwisataan
Indonesia.
Aku pernah tahu, bahwa Jalan Pasar Ikan
dan Museum Bahari ada di brosur-brosur untuk ‘city tour’ bagi
wisatawan-wisatawan asing yang ada di sebaran hotel-hotel besar di
Jakarta. Tetapi, aku kurang yakin jika wisatawan-wisatawan itu mau masuk
ke sana, secara lingkungannya sama sekali tidak ada fasilitas-fasilitas
untuk wisata dan keamanan dan kenyamanannya pun sangat tidak memadahi!
Sayang sekali, hidup kebaharian
Indonesia dan Batavia yang sebenarnya sudah dikenal mancanegara,
terkikis habis hanya dalam waktu kurang dari 100 tahun kemerdekaan kita.
Yang tersisa adalah hanya sisa-sisa kejayaan sejarah bahari Indonesia
lewat foto-foto tempo dulu. Tidak ada yang tersisa dengan adanya
nelayan-nelayan yang aku yakin sebagian besar adalah keturunan ‘pahlawan
bahari’ kita.
Sekarang, masihkah kita tidak peduli?
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Masih Adakah Kepedulian Jakarta untuk ‘Ikan-ikan’ dari Pelabuhan Sunda Kelapa?”
Posting Komentar