Selasa, 17 September 2013
‘Cerita Lain’ dari Pedagang Kaki Lima di Tanah Abang
Selasa, 17 September 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
PKL? Pedagang kaki lima itu di Jakarta
(khususnya) merupakan fenomena tersendiri. Ketika warga Jakarta yang
tidak mempunyai pekerjaan di sektor riil, mereka dengan mudah membuka
lapak-lapak dan berjualan apa pun yang mereka bisa jual. Misalnya,
banyak yang menjual makanan untuk sarapan di pinggir jalan atau membuat
cemilan untuk warga sekitar.
Lapaknya biasanya berupa meja kecil dan
makanannya diletakkan di atasnya dan ditutupi dengan selembar tissue
atau plastik. Yang berjualan duduk di tepinya dan menawarkan makanannya
kepada orang-orang sekitar. Lama-kelamaan lapak itu menjadi ‘permanen’
seiring dengan semakin banyaknya makanan itu terjual sehingga besoknya
omzetnya meningkat.
Ada juga (biasanya) mengambil dagangan
dari konveksi di lingkungannya dan membuka lapak di pinggir jalan,
berdekatan dengan sebuah kantor. Cukup laku jika aku amati, sehingga
lapak itu ‘terkenal’ di kalangan perempuan-perempuan muda karena bisa
mencicil dalam pembeliannya. Dan lapak itu menjadi benar-benar permanen!
Ketika mulai tahun 1990-an sampai tahun
2006 kemarin, aku bermain sebagai kontraktor interior. Selain aku tetap
bekerja di perusahaan besar, aku mempunyai lumayan banyak proyek
pribadi. Banyak pemilik rumah, apartemen, dan pemilik toko yang
memercayakan desain dan pembangunan interiornya kepadaku, sehingga aku
mengenal banyak karakter manusia. Dan salah satunya, seorang perempuan
tegar dan kuat. Namanya sebut saja Ibu Bunga.
Bu Bunga seorang perempuan keturunan
Padang dan Arab, memulai bisnisnya benar-benar kecil-kecilan, kalau
tidak adalah dimulai awal tahun 1980-an. Dari hanya sekedar mengambil
baju-baju murah lewat konveksi di seberang rumahnya, dia menjajakan
berkeliling di lingkungannya. Setelah itu dia membuka lapak di pinggir
jalan. Kebetulan rumahnya ada di belakang Tanah Abang (daerah Kebon
Melati). Dia membuka lapaknya di pinggir jalan Mas Mansyur. Dan dia
adalah salah satu yang pertama membuka lapak sebagai PKL Tanah Abang.
Ketika sebuah mall di Kuningan baru
dibuka sekitar tahun 1995-an, Mall Ambassador menjadi tempat awal aku
mempunyai proyek-proyek interior pribadi secara besar-besaran. Waktu
itu, mall ini belum terkenal sebagai mall tempat bisnis handphone dan
elektronik. Mall ini dulunya adalah sebuah mall yang cukup prestisius,
sewanya mahal dan menjual baju-baju merek terkenal sebagai butik.
Sehingga aku panen besar karena banyak orang-orang kaya membeli atau
menyewa unit untuk berjualan bajubaju mahal sehingga desain interiornya
pun cukup mahal.
Waktu itu, Bu Bunga mempunyai 1 unit
sebesar sekitar 4 x 6 m2 yang aku desain dengan cukup mewah. Konsep
baju-baju yang dijualnya adalah baju-baju muslim mewah. Waktu itu juga
belum banyak yang mempunyai kartu kredit, kartu ATM pun belum ada.
Pembayaran ke kami biasanya dengan cek atau cash. Jika cek pun kami agak
susah karena kami sering ‘tertipu’ dengan cek kosong. Sehingga, walau
thermin cukup besar, kami melakukannya secara cash, bertemu bersama ke
bank. Itu sekitar tahun 1997-an.
Butik Bu Bunga sudah selesai dan kami
menagih sisa pembayarannya. Kami bertemu di butik, hitung-hitungan
pekerjaan tambah-kurangnya dan di angka terakhir, ‘deal’ untuk Bu Bunga
bayarkan kepada kami. Tetap dia katakan bahwa banknya kosong tetapi dia
mempunyai cash di lapak PKL-nya di Tanah Abang! Hah? Dia mempunyai uang
cash di PKL-nya? (Waktu itu aku belum tahu bahwa dia punya lapak di
Tanah Abang). Waktu itu tagihan kami sekitar belasan juta.
Aku semakin tidak percaya, ketika aku
sendiri bersama Bu Bunga ke lapak PKL-nya di Tanah Abang. Lapaknya
memang cukup besar, tiga kali lapak-lapak yang lain. Dagangan dan
baju-bajunya bertumpuk, tidak dipajang seperti di butiknya. Lapak itu
terbuat dari plastik biru dan orange dan akan dibuka-tutup setiap saat.
Pangap dan sempit! Dagangannya laris-manis.
Jika baju-baju di butik-butiknya di
mall-mall, dia menambil dagangannya dari luar negeri atau dari perancang
baju muslim kenamaan di Jakarta, tetapi untuk dagangannya di lapaknya,
dia tetap mengambil baragnya lewat konveksi-konveksi sejak awal, yang
kemudian terus merambah ke konveksi-konveksi yang lain.
Di dalam lapak itu ada sebuah kotak
plastik hitam untuk menyimpan dompet dan uang hasil perjualan. Dan
ketika aku dituntunnya melewati dagangannya yang berantakan dan
amburadul, dan dia membuka kotak hitam tersebut, aku sempat melihat
sediri, tumpukan uang dalam jumlah besar dengan satuan uang besar. Wow!
Siapa mengira, PKL Bu Bunga mempunyai uang cash sedemikian besar!
#Lalu bagamana lapak-lapak yang lain?
Bu Bunga memberikan uang sejumlah
tagihan kami. Aku sangat khawatir dengan uang ini (bisa saja aku
dirampok bahkan disaiti karena membawa uang dalam jumlah besar, cash!),
secara aku ada di tengah-tengah PKL Tanah Abang dengan orang-orang yang
belum tentu berbuat baik. Dan waktu itu aku akan dijemput sopirku karena
susah untuk parkir di sana, sekitar 30 menit kemudian.
Lebih heran lagi, ketika aku berkata
kepada Bu Bunga tentang kekawatiranku, dia memanggil seorang laki-laki,
besar dan kekar, yang kata Bu Bunga itu adalah kepala preman di areal
itu! Hah? Bu Bunga mengenal kepala preman di sana? Padahal Bu Bunga
adalah seorang ibu muda dengan perawakan seperti aku. Kecil dan mungil,
tetapi dia berteman dengan kepala preman Tanah Abang!
Langsung saja, Bu Bunga ‘memerintahkan’
kepala preman itu untuk mengawalku sampai aku dijemput mobilku dengan
selamat! Astaga! Itu pertama kali aku dikawal kepala preman karena
membawa uang belasan juta! Dan setelah itu, aku berteman dengan Bu Bunga
sampai dia beberapa kali meminta aku mendesain toko-tokonya di beberapa
mall di Jakarta, dan sempat berteman dengan kepala preman itu juga.
***
Terlepas dari permasalahan tentang PKL
yang sudah sangat meresahkan warga Jakarta, bahwa Jokowi pun sudah
menjadikan PKL adalah program khusus yang harus segera diselesaikan, ada
sebuah ‘cerita lain’ dari seorang perempuan yang berdagang di lapak
Tanah Abang.
Inti dari tulisan ini adalah, bahwa
ternyata tidak semua pemilik lapak PKL sebagai orang-orang yang hanya
bergantung hidup dari dagangannya di sana. Seperti Bu Bunga, dia menjadi
superkaya dari awalnya sebagai pedagang keliling, berjualan di lapak di
Tanah Abang sampai bisa membeli beberapa toko di mall besar di Jakarta.
Bahkan sampai aku masih berhubungan dengannya sekitar tahun 2000-an, Bu
Bunga tetap berjualan di PKL Tanah Abang, bahkan dia memperkenalkan
teman-temannya yang seperti dia dan mereka meminta aku untuk mendesain
toko-toko mereka di mall-mall besar di Jakarta.
Kita tidak tahu hidup seseorang dan kita
tidak bisa menyamaratakan mereka dalam sebuah ‘baju’ yang mereka
ciptakan untuk orang melihat mereka. Seperti Bu Bunga dan teman-temannya
atau kepala preman waktu itu, ternyata mereka bukan ‘orang
sembarangan’. Mungkin mereka tetap bisa marah, beringas atau apa pun.
Tetapi jika kita menyelami berhubungan dengan baik antara manusia, akan
lebih banyak manfaatnya.
Saling menghormati adalah yang terbaik dan itu akan menjadikan kita sebagai manusia yang bermartabat dalam Tuhan.
Tags: Jakarta
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “‘Cerita Lain’ dari Pedagang Kaki Lima di Tanah Abang”
Posting Komentar