Selasa, 17 September 2013

‘Akar Permasalahan’ PKL? Apa, ya??



By Christie Damayanti

1379401742504541704

Lain agi dengan PKL ini. Seperti di artikelku tentang ‘Cerita Lain’ dari Pedagang Kaki Lima di Tanah Abang, sebagian besar warga Jakarta berdagang di kaki lima tanpa ijin. Bukan hanya berdagang di pinggir2 jalan saja, bahkan PKL2 ini berdagang ditengah2 jalan!

Jika di Tanah Abang atatu di Pasar Minggu atau di Pasar Gembrong, PKL ini benar2 ‘permanen’, berdagang setiap hari dan setiap saat, ada beberapa komunitas PKL di Jakarta yang berdagang tiap 1 hari seminggu di Sabtu atau Minggu saja, tetapi mereka benar2 berdagang di tengah2 jalan sampai jalanan tidak bisa dilewati.
Salah satu yang ingin aku ceritakan adalah PKL yang hanya berjualan hari Sabtu saja. 

Sebenarnya, tidak masalah jika pengaturannya benar dan legal, untuk berdagang. Pun, untukku tidak bermasalah jika mereka tidak mengganggu ketertiban umum. Tetapi mereka memang sangat mengganggu dan benar2 tidak bisa ditolerir, karena memacetkan jalanan. Dan kerumunan seperti ini yang bisa ‘menghasikan’ kriminalitas tinggi.

Di ingkunganku di daerah Tebet dan Kampung Melayu, ada komunitas PKL yang sebenarnya tempat itu bukan untuk mereka. Komunitas yang selalu ada kegiatan, tetapi seperti biasa jika ada even2 kegiatan seperti ini akan memunculkan pedagang2 kaki lima. Ya, mula2 hanya verjualan makanan ringan atau minuman. Lama2 mainan anak2. Lalu muli berjualan baju2, sampai berjulan sandal sepatu, tas, bahkan Tuperware dan elektronik cicilan!

1379401779218317158
13794018231125705556

Coba lihat! Berapa banyak mereka ‘memakan jalanan’? Lebih dari ¾ nya! Untuk mobil bisa berjalan, sering si pengendara misuh2 untuk mereka mamu meminggirkan dagangannya, dan semakin minggu semakin meluas!

13794018971637636851
13794020741957469375

Dari titik even, PKL sudah meluas sekitar 1 km sampai belokan jalan Bukit Duri Tanjakan dan menuju Kampung Melayu …..

13794021341767410098

Ditambah lagi dengan pedagang2 keliling ( pedagang bubur ayam ), yang menambah crowded daerah ini, karena mereka seenaknya saja ‘memarkirkan’ dagangannya …..

Mula2 hanya berjualan di depan even tersebut. Lama2 melebar dan meluas sampai menutupi jalanan di depannya. Tragisnya, seharusnya pemda setempat menertibkan mereka, tetapi yang ada mereka justru ‘memberi masukan’ bagi pemda setempat sehingga mereka bisa berjualan dengan seenaknya sampai jika hari Sabtu jalanan Lapangan Roos menuju Kampung Melayu akan macet total bisa dari lanjutan kemacetan jalan Dr.  Satrio ( ITC dan Ambasador Mall ) lalu berlanjut ke jalan Casablanca ( Kota Kasablanka Mall ) dan even mingguan ini …..

Kegiatan ini sudah berlangsung sejak aku masih duduk di bangku sekolah menengah sekitar tahun 1990-an sampai sekarang. Dari hanya berjualan sekedar makanan kecil dan minuman dari 1 atau 2 lapak, sampai sekarang, sepanjang sekitar 1 km jalanan ini dan berbelok ke jalan Bukit Duri Tanjakan, tanpa ada pemda yang mampu menertibkan mereka.

Yang jelas untuk yang berdagang elektronik dengan cicilan ( radio, TV dan AC ), baru ada 1 tahun ini. Dan aku sangat yakin, sebentar lagi ada cicilan handphone dan elektronik2 besar seperti lemari es, atau tempat tidur dan lemari bahkan motor! Percaya deh …..

Untuk kami yang tinggal di seputaran tempat ini, mungkin kami sudah bisa ‘menerima’ walau masih sering menggerundel jika kemacetan membuat kami terlambat sampai tujuan, karena seperti biasa di Jakarta jila yang macet di 1 titik hasilnya akan meluas ke daerah2 lain. Tetapi untuk orang2 yang hanya sekali atau dua kali melewati tempat ini, mereka tidak tahu masalahnya. Semakin lama semakin bertambah panjang ……

Lain lagi di Pasar Minggu. Betul, di Jalan Raya Pasar Minggu PKL nya memang sudah ditertibkan dan sekarang mobil2 bisa memacu dengan nyaman dan tanpa kemacetan. Tetapi lain dengan jalan Ragunan Raya, sedikit berbelok dari jalan Pasar Minggu Raya.

1379402182708265473
13794023002014089933

Sekali lagi, berapa banyak jalanan yang dipakai oleh PKL2 ini ???

1379402353821480370

Untuk memutar ( lihat marka tanda putaran ), sering kali kami meminta pedagang untuk memundurkan dagangannnya, karena mobil memerlukan ruang cukup besar untuk memutar

Terakhir beberapa minggu lalu kami kesana menuju jalan Palapa Raya, tempat kami beribadah di Gereja kami. Ternyata pedagang2 kaki lima penjual sayuran masih memadati separuh ruas jalanan! Sehingga mobil kami yang mau berputar dari Pejaten masuk ke jalan Pertanian, terhambat dan dagangan sayurannya harus digeser dulu untuk kami ( dan mobil2 yang lain ) bisa berputar!

***
Menertibkan PKL memang tidak mudah. Permasaahan yang utama bukan PKL nya tetapi kepadatan penduduk Jakarta! Arus urbanisasi menjadi tidak terkontrol. Kelahiran juga sudah tidak terkontrok seperti di jaman2 yang lalu. Penduduk Jakarta sudah melebihi kapasitas sebuah kota metropolitan ini. Dan peraturan2 yang ada ternyata hanya untuk dilanggar.

Ketika Jokowi berhasil menertibkan PKL di beberapa titik di Jakarta dan beliau mencarikan solusinya, aku sangat optimis PKL jakarta akan tertib sesuai dengan aturan2b yang ada. Tetapi ketika aku kembali melihat bukan dari PKL nya ( tetapi akar permasaahnnya ), aku kembali pesimis. Berarti, pemda Jakarta harus bekerjasama dengan pemerintah pusat yang berhubungan dengan konsep keluarga berencana serta arus urbanisasi yang semakin tidak terkontrol.

Seperti biasa, Indonesia atau katakanlah Jakarta, selalu memberi solusi hanya di 1 titik saja. Misalnya, jika ada yang mengamati beberapa tempat putaran di jalan raya di tutup. Baik ditutup permanen dengan penutupan memakai beton atau rantai atau juga con orange. Lalu membuka putaran baru di beberapa langkah kedepan.

Aku mengerti jika di amati bahwa penutupan putaran yang pertama karena ada ’sesuatu’ sehingga ditutup, walau bibuka lagi beberapa langkah didepannya. Padahal dengan membuka putaran didepannya tetap saja membuka permasalahan yang sama.

Sebenarnya, jika kita mendesain konsep arus lalu lintas, semuanya sesuai dengan teori atau pertimbangan2 khusus. Untuk membuat konsep berlalu lintas, harus mempunyai spesifikasi khusus. Ahli lalu lintas adalah seorang desainer dengan jurusan lalu lintas dan jalan raya, sehingga untuk mendesain lalu lintas dan jalan raya, harus mempunyai ijin mendesain. Semuanya harus diperhitungkan. 

Tetapi sepertinya negara kita sudah biasa memberi ( seperti ) solusi tetapi hanya pada 1 titik TANPA melihat resiko serta akar permasalahannya.

Begitu juga dengagn PKL. Akar permasalahannya bukan PKL itu sendiri, tetapi ada yang lebih besar! Ysalah satunya adalah kepadatan penduduk yang sudah tdak terkontrol, dari kelahiran dan arus urbanisasi, sehingga tidak ada pekerjaan bagi mereka. 

Mereka tetap membutuhkan uang untuk kehidupan mereka, tetapi karena mereka tidak mempunyai pekerjaan, resiko2nya berdampak dengan tingkat kriminalitas yang selalu menanjak, peraturan2 yang terlanggar ( misal, pedagang illegal seperti PKL, gubug2 liar sampai menjadi daerah ’slum’ dan sebagainya ), atau permasalahan2 yang seperti benang kusut!

Masalah PKL di Jakarta ini khususnya, akan terus terjadi. Sekarang sepertinya sudah mulai ditertibkan ( semoga begitu seterusnya ). Tetapi warga yang memang terus berdatangan ke Jakarta, mereka tetap butuh makan, sehingga mereka akan berjualan lagi di tempat2 yang baru. Belum lagi PKL2 yang sudah ditertibkan di tempat2 yang disediakan, pasti ada yang tidak bisa bertahan dan menutup lapaknya dan membuka di tempat lain. 

So??

Bukan aku tidak membela membela peraturan dan ‘kebenaran’, tetapi ini adalah masalah sosial. Perut adalah yang terutama. Itu manusiawi. Sehingga, akar permasalahannya harus diatasi terlebih dahulu …..

Saatnya kita mulai memikirkan beberapa akar permasalahan bagi permasalahan2 yang ada di Jakarta, salah satunya akar permasalahan tentang PKL …… 


Tags:

0 Responses to “‘Akar Permasalahan’ PKL? Apa, ya??”

Posting Komentar

Subscribe

Berlangganan Artikel Saya

© 2013 Christie Damayanti. All rights reserved.
Designed by SpicyTricks