Selasa, 08 Januari 2013
‘Hydrant’: Bisakah Warga Jakarta Peduli akan Keselamatan dan Keamanannya Sendiri?
Selasa, 08 Januari 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Tadi pagi ketika aku menonton beria di
TV, seperti biasa Pak Jokowi ‘blusukan’ ke pemukiman padat yang baru
saja terjadi kebararan. Dan beliau salah satunya menitik-beratkan
tentang ‘cerita hydrant’, dimana pada kenyataannya di hampir semua
pemukiman padat di Jakarta, hydrant tidak sesuai dengan kebutuhannya dan
tidak sesuai dengan fungsinya …..
Mungkin tidak banyak yang tahu apa yang disebut HYDRANT,
apa fungsinya, bagaimana menggunakanannya atau siapa yang boleh
menggunakannya, dan sebagainya. Walau ada yang tahu, juga tidak banyak
yang peduli, karena hydrant memang hanya untuk sebuah kebutuhan, tetapi
kebutuhan itu sangat jarang dikerjakan. Kebutuhan itu bukan sebagai
kebutuhan fisik secara pribadi, tetapi kebutuhan itu merupakan kebutuhan
secara daerah, lingkungan bahkan dalam sebuah komunitas besar.
Hydrant adalah sebuah antisipasi dalam
kebakaran. Bukan hanya untuk antisipasi saja, tetapi hydrant adalah
suatu titik air, sumber air untuk di salurkan melewati selang hydrant,
serta sebagai sumber air juga yang disalurkan lewat selang2 ‘branweer’
atau mobil pemadam kebakaran. Sebuah hydrant harus terpasang dalam
sebuah tempat, daerah, gedung, atau kompleks serta tempat2 trategis,
dimana hydrat juga merupakan salah satu fasilitas bagi perkotaan, jika
terjadi kebakaran.
Jika dalam sebuah bangunan ( hotel,
apartemen, mall, perkantoran ), dalam jarak tertentu ( antara sekitar 20
- 25 meter ), dan di setiap lantai, harus membuat pemipaan untuk
saluran air hydrant. Dimana selang hydrant harus mampu mengalirkan air
deras untuk mencapai titik api sampai minimal 5 meter. Dan jika di
perkotaan atau disebuah kompleks serta pemukiman, hydrant minimal harus berjarak sekitar 50 meter dengan jarak yang bebas hambatan ……
Hydrant Box di sebuah bioskop. Harus
terlihat tulisan HYDRANT untuk bisa terlihat langsung, jika ada
kebakaran, dan tidak boleh ‘disamarkan’ dan ditutupi.
Hydrant Box di sebuah mall.Walau warnanya tidak ‘matching’, tetap harus terdapat hydrant ini, sesuai jarak2 yang harus ditaati.
Jika di sebuah bangunan atau sebagai
fasilitas perkotaan, hydrant harus nyata dan jelas. Merah merupakan
warna yang menyolok, dimanapun hydrant dinyatakan dengan warna merah,
dengan tulisan besar2 : HYDRANT. Bisa juga
dengan warna lain, tetapi yang menyolok untuk sebagai ‘point’ bagi mata
kita dan gampang dilihat, tidak boleh tersembunyi, dan langsung bisa
dilihat sebagai sumber air bersih untuk antisipasi terjadinya kebakaran.
Hydrant Box pun harus ada juga di daerah servce dan pergudangan dan parkir kendaraan.
Hydrant harus dirawat, di’maintenance’,
tidak boleh dicorat coret yang akan ‘menyamarkan’ fungsi hydrant itu
sendiri. Hydrant tidak boleh dipakai sebagai sumber air selain untuk
terjadinya kebakaran.
Jika sebagai fasilitas perkotaan, di sebuah
daerah, pemukiman padat ( apalagi ), perumahan atau kompleks apapun,
hydrant diwajibkan atau lebih tepatnya DIHARUSKAN dibuat DI DEPAN PINTU MASUK
( jika ada beberapa pintu masuk semuanya terdapat hydrant ) tempat
tersebut dengan konsep dan logika bahwa jika ada kebakaran di daerah
itu, mobil2 pemadam kebakaran atau ‘branweer’ pasti atau berusaha untuk
mencari hydrant di pintu2 masuk tersebut dan petugas langsung membuat
aliran selang2 untuk mencapai titik api.
Bisa dibayangkan jika hydrant
tidak ada di pintu masuk, atau hydrant ada di sebuah jalan di daerah
itu, akan sangat kesulitan ‘branweer’ mencapai titik sumber air
tersebut.
Hydrant Pillar di luar bangunan di
Indonsia dan Jakarta khususnya, memang belum mendapat perhatian. Padahal
ini untuk keselamatan, keamanan dan kenyamanan warga sendiri. Konsep
hydrant pillar salah satunya adalah ada di tempat terbuka dan bebas
hambatan, serta minimal berjarak 50 meter dari hydrant yang terdekat.
Tetapi ternyata, warga Jakarta masih
belum peduli dengan sumber air ini. Di pemukiman padat ( dan kumuh ),
hydrant malah di tutupi untuk jemuran, atau dicorat coret, dan aku
pernah melihat, banyak orang di pemukiman kumuh, hydrant benar2 dipakai
sebagai sumber air bersih untuk kegiatan sehari2 ….. Bahkan disebagian
besar daerah, terutama di pemukiman padat ( dan kumuh ), hydrant sudah
sama sekali tidak berfungsi, karena tidak di’maintenance’ ….. padahal
seperti diatas, hydrant minimal berjarak 50 meter dan bebas hambatan ……
Konsep Hydrant, memang cukup rumit …..
Pemeliharaan hydrant, sama seperti
pemeliharaan barang2 lain yang harus dicoba, beberapa materialya
diganti, sehingga jika benar2 terjadi kebaaran, hydrant bisa berfungsi
dengan baik. Tetapi kita sering mendengar, bahwa hydrant mati dan tidak
berfungsi ketika terjadi kebakaran, serta hydrat tertutup oleh barang2
dan ‘tersamarkan’, sehingga petugas kebakaran terlihat tidak bisa
melakukan tugasnya dengan baik …..
Sebuah ruang pompa, salah satunya
untuk memompa air yang akan keluar dari hydrant. Materialnya dan
peralatannya memang mahal dan rumit, dengan engineer khusus yang
mengenrti tentang mekanikal dan elektrikal ( ME ).
Kebutuhan akan hydrant yang semakin
tinggi diiringi dengan munculnya sistem air bawah tanah. Sebelumnya, air
diperoleh dari sumur terdekat atau kolam yang mudah di akses. Hal ini
mempersulit dalam proses pemadaman kebakaran karena akses terhadap
suplai air yang kemungkinan sulit didapat di sekitar lokasi kebakaran.
Untuk menyediakan air yang cukup untuk terjadinya pemadaman kebakaran,
hydrant dianjurkan untuk dapat memberikan debit air minimum 250 galon
per menit ( 945 liter per menit ).
Di luar negeri, hydrant benar2 menjadi
fasilitas perkotaan untuk kebakaran dan dipandang sangat penting dan
‘urgent’. Sehingga disana, hydrant benar2 didesain di setiap jarak
beberapa artus meter di pinggir jaan atau pintu masuk sebuah daerah atau
pemukiman, dan disekitarnya tidak terdapat bangunan, hanya tanah datar
berumput, sehingga sangat jelas terlihat ‘ada hydrant’.
Konsep ini
sebenarnya sangat masuk akal, tetapi ketika di Jakarta ( Indonesia )
membuat konsep hydrant sebagai fasilitas perkotaan, sering kali susah
untuk dilaksakanan. Memang, untuk membuat infrastrutur hydrant, cukup
mahal : sambungan pipa bawah tanah dari sumber mata air tanah / sumur,
lalu pemipaan ke hydrant2 selanjutnya. Belum lagi untuk fisik dan
alatnya sendiri, tidak murah dan tidak mudah …..
Sebenarnya ada beberapa jenis hydrant, yang fungsinya sama saja yaitu sebagai pasokan air jika terjadi kebakaran. Yaitu Hydrat Box di dalam gedung dengan pasokan air sekurang2nya 400 liter /menit dan mampu mengalirkan air selama 30 menit dan Hydrant Pillar di
diluar gedung dengan pasokan air sekurang2nya 2400 liter /menit dan
mampu mengalirkan air selama 45 menit.
Konsep hydrant ini harus
disosialisasikan demi keselamatan dan kenyamanan warga. Karena
keselamatan memang sangat penting, tetapi kenyamananpun merupakan
keinginan warga.
Hydrant bukan untuk ‘gaya-gaya’an. Hydrant adalah KEHARUSAN. Walau infratruktur hydrant cukup mahal dan rumit, pun harus dibuatkan di setiap titik hydrant.
*Memangnya, jika mahal dan jarang
berfungsi, kita tidak memperhatikan keselamatan dan kenyamanan hidup
kita? Hydrant ibarat ‘obat’, dibutuhkan tetapi tidak sering dipakai …..
***
Mungkinkah ada hydrant di
daerah pemukiman pada enduduk ini? Jika adapun, aku sangat yakin bahwa
hydrant tersebut tidak berfungsi dengan baik, ataupun berfungsi tetapi
tidak dipakai dengan semestinya ….
Bergumul dengan perkotaan memang tidak
mudah. Permasalahan perkotaan terlalu kompleks dari permasalahan besar
yang bisa ‘dilihat’ dengan mata kepala telanjang, sampai persoalan kecil
yang hanya terlihat jika kita menekuni suatu subyek khusus saja,
termasuk hydrant …..
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “‘Hydrant’: Bisakah Warga Jakarta Peduli akan Keselamatan dan Keamanannya Sendiri?”
Posting Komentar