Selasa, 11 Desember 2012
Slogan ‘Jakarta Bebas Banjir’, Tetapi Tidak Peduli dengan Penyerapan
Selasa, 11 Desember 2012 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Air hujan, harus diserap oleh tanah,
sehingga kembali menjadi air hujan. Ketika tanah sebagian besar
tertutup beton, air hujan akan mengalir ke tempat2 yang rendah. Salah
satunya, air dari Selatan Jakarta ( Bogor dan Puncak ) akan mengalir ke
Jakarta karena tanah2 di Bogor dan Puncak sudah sebagian besar tertutup
beton ……
Sebenarnya, sadar tidak sih, bahwa
Jakarta dan kota2 kecil sebagai pendukungnya di sekitar Jakarta minim
penyerapan? Coba pikir2 lagi deh ….. mungkin kita melihat,
“Aahhhh ….. masih banyak penghijauan koq, siapa bilang tidak ada penyerapan?”
Boleh2 saja kita bicara seperti itu.
Tetapi alam sudah mempunyai siklusnya. Jika banjir ( berarti air terlalu
banyak, tidak bisa terserap ke dalam tanah, atau sungai2 dan gorong2
terlalu penuh dengan sampah ), BERARTI ADA YANG SALAH! Apapun itu, alam
sudah berusaha untuk air menyelinap di setiap penyerapan, tetapi ketika
banjir datang, memangnya alam yang salah? Memangnya, air yang salah karena tidak mau ‘menyelinap’ masuk ke dalam bumi?
Tunggu! Sebelum kita melihat secara
keseluruhan tentang penyerapan Jakarta, ingat2 dulu, apakah hidup kita
peduli dengan penyerapan? Artinya begini :
Rumah kita, apakah mempunyai tanah
terbuka, walau sedikit. Untuk mengingatkan saja, ketika kita membeli
rumah atau membangun rumah ( yang memakai desainer khusus, seperti
arsitek ), PASTI ada tanah terbuka, sebagai PENYERAPAN, juga merupakan ATURAN PEMERINTAH. Salah satu sisi ( kanan atau kiri ) harus ada taman terbuka, yang TIDAK BOLEH DI ‘BETON’.
Aku sudah makan sama garam sebagai
arsitek, 20 tahun ini. Biasanya, si pemilik rumah akan menutup taman ini
dan menjadika KAMAR TAMBAHAN, atau ruangan lain. Jika aku tegur, mereka
berkata,
“Aaaahhhh …. tanah kan mahal, tidak seharusnya kita buang2 yang sudah kita beli, dan juga kita butuh ruangan lagi koq ….”
Aku hanya menggeleng2kan kepalaku. Coba
deh lihat, di daerah Kelapa Gading. Banyak rumah2 yang aku bangun dengan
desain yang terbaik sebagai arsitek. Mula2 mereka suka, tetapi lama
kelamaan, mereka meminta aku lagi untuk mendesain ruangan baru di atas
taman mereka! Dan biasanya aku tudak mau, sehingga mereka memilih
mencari tukang dan membangun sendiri TANPA PEDULI DENGAN SALURAN2 SERTA BAGAIMANA DENGAN PENYERAPANNYA …..
Makanya, Kelapa Gading mungkin 90%
merupakan beton, dan hanya 10% merupakan penyerapan, sehingga tidak
heran kan, banjir di Kelapa Gading merupakan yang selalu ada walau hujan
hanya beberapa menit saja.
Ini kalau membangun rumah memakai jas
arsitek, pun mereka akan terus tidak mengindahkan tentang taman dan
mereka membangun ruangan baru. Lalu, bagaimana dengan mereka yang
membangunnya tidak menggunakan jasa arsitek? Tambah lebih buruk lagi,
karena tidak memikirkan tanah terbukan sebagai penyerapan serta
saluran2nya …..
Itu hanya 1 daerah saja, padahal ada
ratusan daerah di Jakarta. Bisa dibayangkan kan, berapa besar tanah
terbuka di daerah perumahan2 seperti itu.
Lain lagi dengan konsep hunia Jakarta. Sejak aku kuliah, memakai RUTR 2005 dan sekarang RUTR 2030, konsep hunian di Jakarta adalah ke Timur dan Barat. Poros
Timur-Barat ini, terlihat dengan 1 ruas jalan dari Kembangan Jakarta
Barat ( Walikota Jakarta Barat ) ke Pulo Gebang Jakarta Timur ( Walikota
Jakarta Timur ), melewati Tomang - Cideng - Prof Satrio - Casablanca -
Klender. Jalan tersebut sudah terbentuk sejak sekitar akhir tahun
1990-an, dan sekarang un terus dikembangkan.
Sedikit ilustrasi bahwa hunian Timur-Barat memang lebih ‘trend’ dari pda hunian ke Selatan Jakarta.
Hunian Jakarta dalam poros
Timur-Barat, walau kenyataannya sekarang banyak pembangunan ke arah
selatan, seperti ke Parung, Sentul atau Cibinong bahkan Bogor.
Konsep Timur-Barat ini bukan tidak ada
alasannya. Jakarta yang memang berada di tepi Laut Jawa di bagian Utara,
dan Bogor-Puncak di bagian Selatan, hanya bisa ‘memperlebar’ hunian
Jakarta ke Timur dan Barat saja. Di Timur, kota2 pendukung seperti
Cikarang, Karawang dan Bekasi dan di Barat seperti Serang, Tangerang
sangat bisa sebagai kota pendukung untuk hunian.
Tetapi di Utara Jakarta adalah Laut
Jawa, wlau tidak menutup kemungkinan membuat reklamasi sebagai hunian
baru, seperti di banyak negara2 yang membutuhkan hunian banyak. Dan
bagian Selatan, adalah daerah PENYERAPAN, ditambah ke-13 sungai yang
datang dari selatan dan merupakan daerah pegunungan.
Pertama, bicara tentang reklamasi utara Jakarta. Sudah banyak aku tuliskan, seperti Reklamasi oh Reklamasi ……, - Bagaimana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2010-2030 Tentang Reklamasi? - Berlomba dan ‘Mendewakan’ Proyek Atas Nama Penyelamatan Jakarta? Aaah ….., dan Pertahanan Pantai Jakarta : Benarkah GSW adalah Solusinya ?
Untuk reklamasi sendiri, bukan tidak bisa dan bukan tidak diijinkan oleh pemda, tetapi lebih kepada kepedulian tentang Hutan Mangrove atau Hutan Bakau yang seharusnya dipelihara dan reboisasi, tetapi
Hutan Mangrove sekarang semakin rusak, sehinga reklamasi menjadikan
bibir pantai Pulau Jawa semakin tererosi dan menjadikan arus laut
bergeser ke tempat2 lain dan ‘menenggelamkan pulau2 tersebut ….. Jadi,
pelebaran hunian Jakarta seharusnya tidak kearah Utara.
Kedua, ke arah selatan Jakarta. Konsep
hunian ke arah selatan Jakarta pun dipikirkan untuk penyerapan. Kota2
pendukung Jakarta seperti Bogor dan Puncak, sebenarnya untuk penyerapan.
Di kota2 tersebut, bahkan di Puncak, KDB ( Koefisien Dasar Bangunan ) tanah jika mau dibangun rumah, harus hanya 10% saja, sehingga 90% adalah tanah terbuka!
Ternyata banyak orang2 aya membeli tanah di Bogor dan Puncak untuk
membangun villa dan villa2 tersebut KDB nya lebih dasri 50%, bahkan
sampai 80%! Sehingga ketika jaman beberapa tahun lalu, villa di Puncak
di segel karena dibangun di atas tanah dengan semua beton ……
Ini juga yang menyebabkan, ketika
pertengahan tahun 1990-an tidak ada akses atau sedikit akses jalan tol
ke daerah selatan Jakarta ( seperti Pondok Labu atau Pangkalam Jati ),
karena pemda ingin membuat warga Jakarta tidak betah berlama2 di jalan
biasa tanpa akses tol. Tetapi sekarang sangat berubah. Justru jalan tol
selatan Jakarta berlomba2 untuk dibangun dan perumahan2 selatan Jakarta
juga berlomba di rencanakan, seperti di daerha Sentul, Cibinong, bahkan
Bogo sampai Gadog …..
Sekarang, siapa yang harus disalahkan?
Mau ‘Jakarta Bebas Banjir’, tetapi tidak peduli dengan penyerapan? Dari
diri sendiri kita saja deh ….. apakah masih peduli tentang
buang sampah pada tempat nya? Apakah kita masih berusaha ‘membeton’
tanah2 terbuka di halaman rumah kita? Apakah belum berusaha membuat
got2, gorong2 dan sungai2 bebas sumbatan?
Banyak yang harus dipikirkan untuk ‘Jakarta Bebas Banjir’ seperti di beberpa tulisanku Banjir di Jakarta, Penyebab Serta (Sedikit) Saran Mengatasinya - Pengendalian Banjir? Tidak Cukup Hanya Membuat Drainage Saja - Mengapa Baru Sekarang dalam Pencegahan Banjir di Jakarta?. Begitu juga tentang tulisan ini Jakarta Bebas Banjir? Berusahalah untuk Mengelola ‘Ruang Terbuka Hijau!’. Bahwa RTH adalah upaya besar untuk membuat siklus banjir Jakarta teredam.
Termasuk juga tentang penyerapan. Dan
penyerapan merupakan sebuah siklus alam bagi aliran air, yang sedianya
harus terus diupayakan agar banjir di Jakarta, setidaknya akan berkurang
…..
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Slogan ‘Jakarta Bebas Banjir’, Tetapi Tidak Peduli dengan Penyerapan”
Posting Komentar