Kamis, 10 Mei 2012

Sebenarnya, Bolehkah Penderita Pasca Stroke ‘Terbang?’




By Christie Damayanti


Aku stroke tanggal 8 Januari 2010 lalu di San Francisco, pembuluh darah otak kiriku pecah, tetapi aku tetap bersyukur karena pembuluh darah otak kiriku yang pecah itu tiba2 berhenti dengan sendirinya, karena kemurahan Tuhan. Sehingga, kepalaku tidak harus di bedah dan otakku tidak harus di ‘otak atik’ ……
13366307921575598560

Aku ( selalu tersenyum ) dan Bruder Frank di Bandara Taiwan ( transit ), aku selalu berbaring seperti ini, selama evakuasi dari Amerika ke Indonesia ( Jakarta )

Dengan keadaanku waktu itu, serangan stroke-ku sebenarnya sangat berat, sehingga aku mengalami kelumpuhan tubuh sebelah kanan, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dan aku sama sekali tidak bisa berbicara, walaupun aku tetap tersenyum dalam ketidak-berdayaanku.

Ketika aku sudah berada 2 minggu di sebuah rumah sakit Katholik di San Francisco yang merawat sakitku, kami memang harus kembali ke Jakarta. Karena memang rumahku di Jakarta, keluarga dan sahabat2ku ada di Indonesia serta biaya rumah sakit yang sangat mahal disana. Meskipun semua biayaku disana dan evakuasiku ke Indonesia ditanggung oleh asuransi ( lihat tulisanku Sebuah Kesaksian: Bagaimana Manyikapi dan ‘Berteman’ dengan Stroke Dalam Usia Muda Untuk Menghadapi Masa Depan…( Bagian 1 ) dan Sebuah Kesaksian: Bagaimana Menyikapi dan ‘Berteman’ dengan Stroke Dalam Usia Muda Untuk Menghadapi Masa Depan…(Bagian 2) ).

13366307291821718771
merdeka.com

2 minggu menurut aku cukup dalam pemulihanku untuk kembali ke Indonesia. Karena dalam 1 minggu terakhir, aku hanya ditemani oleh 1 orang adikku dan orang tua serta anak2ku sudah pulang ke Jakarta, sehingga aku sangat2 kesepian. Dengan berbagai cara ( dari bagaimana cara evakuasinya, pesawat yang bagaimana karena aku masih harus berbaring, makananku yang khusus, obat2an serta pertolongan darurat khusus untukku sampai dengan siapa yang akan menemaniku dan bertanggung jawab dengan keadaanku ), aku bisa di terbangkan dari San Francisco Amerika Serikat ke Jakarta ( sekitr 15 jam dari SF ke Taiwan ), tarnsit di Taiwan 5 jam, sehingga kami harus terbang sekitar 20 jam! Suatu perjalanan yang panjang, sebagai penderita pasca stroke berat, seperti aku!

Sebenarnya, bolehkan penderita pasca stroke terbang? Itu adalah pertanyaan yang banyak ditanyakan oleh banyak orang. Waktu itu, aku tidak pernah terlalu peduli, apa yang dokter2 mau lakukan terhadapku, aku hanya selalu berdoa, apapun yng terjadi aku tetap berusaha tabah dan tegar ….. Dan terbukti, dengan keadaanku yang sangat berat dulu, aku bisa melewati semua yang dokter2 lakukan untukku, termasuk terbang 20 jam. Karena itu semua adalah kemurahan Tuhan saja!

Menurut beberapa referensi yang aku baca, saat kita ‘terbang’ ( via pesawat ), ternyata ganggusn itu tidak hanya menyerang penderita penyakit dalam saja, termasuk stroke. Karena, dalam kenyataannya, banyak orang yang naik pesawat merasa pusing dan mual, pendengaran tiba2 terganggu, tekanan pada selaput telinga atau yang lainnya. Dan saat pesawat mencapai ketinggian tertentu, banyak orang mulai merasakan susah untuk bernafas, karena memang kurangnya oksigen, sehingga mereka bisa hipoksia ( kekurangan oksigen ) dan bisa pingsan. Itulah sebabnya, di kabin pesawat selalu tersedia tabung oksigen.

Bagaimana dengan aku? Penderita pasca stroke berat yang harus mengelilingi ½ dunia dari Amerika ke Indonesia? Mampukah aku?

Jujur, aku tidak tahu dan aku tidak peduli. Yang aku inginkan adalah bahwa aku ingin secepatnya pulang ke Jakarta, karena sudah 1 minggu tidak bertemu dengan anak2ku dan aku sama sekali belum bisa berbicara, sehingga aku sangat ’sengsara’ …..

Konsep evakuasiku adalah, aku harus tetap berbaring dalam pesawat, artinya, aku harus berada di pesawat yang mempunyai kursi yang bisa dibuat sebagai tempat tidur. Artinya lagi, aku harus di ‘first class’, dimana tempat itu harganya 3x dengan ‘economi class’. Puji Tuhan, asuransiku yang membayarnya. Lalu, bagaimana dengan yang menemaninya? Bruder Frank ( suster pria yang memang pekerjaannya mengantar jemput pasien2 di seluruh dunia ) bisa menemaniku, tepat disisiku!

Konsep yang lain adalah, bantuan darurat khusus untukku harus tersedia 100%,yaitu oksigen cukup, alat2 kedokteran berjalan ( seperti di ambulans ) serta obat2an khusus, selain obat2an yang harus aku minum. Aku juga harus tetap bisa ‘berjalan’ ( bergerak ) supaya peredaran darahku tetap lancar. Karena aku belum bisa berjalan, tiap periodic sekali, aku digendong Bruder Frank untuk ‘berjalan2 di lorong pesawat. Karena adanya gravitasi bumi, pada beberapa orang ( dan aku khususnya sebagai penderita pasca stroke berat ) akan menyebabkan kaki dan tangan terasa berat, kaku dan susah untuk digerakkan, mata bisa menjadi merah dan pandangan menjadi gelap …..

Belum lagi masalah perubahan waktu, apalagi antara Amerika dan Indonesia, perubahan waktunya hampir 24 jam, sehingga otakku yang memang belum bisa beradaptasi dengan baik ( baru saja terkena stroke berat  ), akan menimbulkan gelisah, pusing, kejang2 bahkan bisa pingsan! Vertigo adalah yang sangat ‘menakutkan’ untuk penderita pasca stroje seperti aku. Jika waktu itu, baru 2 minggu terserang stroke, otakku masih lemah sekali, apalagi ditambah dengan vertigo, bagaimana aku jadinya? Bagaimana dengan syaraf keseimbangan dan kesetimbanganku?

Bagaimana dengan penerbangan dari Amerika yang beriklim dingin ( dan Januari masih sangat dingin! ) ke Indonesia yang beriklim panas? Apakah otakku bisa menerimanya, secara otakku memang sudah ‘cacat?’ Bukan hanya mengganggu kesehatan kita, bahkan mungkin saja aku tidak tahan untuk bertahan lebih lama lagi ……

Terbang untukku waktu itu adalah sebuah ‘pertaruhan’, walau sebenarnya dokter2ku di Amerika sudah benar2 yakin bahwa aku bisa kembali ke Jakarta.Tetapi, siapa yang bisa menjaminnya? Apalagi, aku baru 2 minggu terserang stroke berat.

Dulu, aku sama sekali tidak peduli, dan aku juga sama sekali tidak tahu fakta2 itu, karena belum pernah stroke dan belum bisa mencari tahu. Pada ketinggian 6000 kaki ( sekitar 2 km ), tekanan di paru2 akan menurun. Untuk penumpang sehat, tekanan itu tidak mengganggu sama sekali. Tetapi untuk aku, dan penumpang yang menderita penyakit jantung, anemia, leukemia, nyeri dada dan fungsi paru2nya kurang baik, serta beberapa gangguan yang lain, akan sangat berbahaya …..

Ternyata juga, dengan adanya pesawat saat lepas landas atau mendarat, bisa berbahaya bagi penumpang yang sakit dan harus berbaring, seperti aku dulu, karena efek gaya pesawat bisa terasa di sepanjang sumbu tubuh ….. Ya, aku ingat, waktu itu, ketika pesawat karus lepas landas dan mendarat, aku di dudukan, dan setelah tenang, aku kembali di baringkan …..

Uh, ternyata tidak gampang dokter2 di Amerika memutuskan mengevakuasi aku ke Jakarta. Artinya, sebenarnya aku belum bisa di erbangkan dari Amerika ke Jakarta, tetapi dengan masalah2 yang pasti akan timbul karena aku tetap di Amerika dan keluargaku sudah di Jakarta, ( mungkin ) dokter2ku di Amerika dan di Jakarta ( pasti mereka sudah SALING berkoordinasi  ) memang harus memutuskan dengan berat hati!

Apa yang aku tuliskan ini, intinya adalah apapun kata ‘referensi’, kata dokter, kata siapapun,  dengan keyakinan dan doa serta selalu berharap pada Tuhan, semuanya akan bisa terlaksana, karena ketika kita sudah berkata ‘TIDAK MUNGKIN’, Tuhan akan selalu mengatakan ‘BISA’, asalkan kita tetap selalu berharap kepada Nya ……

Terima kasih, Tuhan Yesusku ……


13096071791943036955

Tags: ,

0 Responses to “ Sebenarnya, Bolehkah Penderita Pasca Stroke ‘Terbang?’”

Posting Komentar

Subscribe

Berlangganan Artikel Saya

© 2013 Christie Damayanti. All rights reserved.
Designed by SpicyTricks