Sabtu, 08 Januari 2011
Manajemen Fisik Kota Jakarta (6)
Sabtu, 08 Januari 2011 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Penelitian Terdahalu Tentang Pemukiman
Beberapa pemikir
Jakarta mengatakan bahwa dengan adanya pertumbuhan penduduk yg
sedemokian cepat tanpa pengadakan sarana kota, akan menimbulkan
kepincangan2 diberbagai sector. Meskipun arus urbanisasi dicoba untuk
dibendung dangan berbagai cara dan Jakarta dinyatakan sebagai kota
tertutup, namun Jakarta tetap saja dibanjiri oleh arus pendatang. Hal
demikian tentu mengakibatkan kurangnya fasilitas untuk hidup di Jakarta,
terutama masalah perumahan.
Keadaan fisik lingkuan
perkampungan di Jakarta adalah padat dengan penduduk, kurangnya
prasarana, sanitasi dan fasilitas lingkungan, sehingga berdampak kepada
kualitas hidup penduduknya. Keadaan yg seperti inilah yg membuat
beberapa orang / lembaga tertarik untuk mengadakan perbaikkan kualitas hidup penduduk Jakarta dengan cara berusaha untuk memperbaiki yg sudah ada, misalnya proyek MHT bagi daerah2 ‘minus’ di Jakarta.
Pemukiman kumuh di Jakarta.
Pemerintah
daerah juga mencoba untuk menyusun konsep perumahan yang ideal, sejalan
dengan lajunya perkembangan kota masa sekarang ini. Konsepsi baru
tentang perumahan ini pada dasarnya dilandasi oleh kendala utama yg
terdapat di negara2 berkembang, yaitu :
- Jumlah penduduk yg makin banyak dengan meyoritas golongan berpenghasilan rendah
- Makis sulit dan makin tingginya nilai lahan
- Dana yg terbatas dengan masalah yg bermacam2
- Pendapatan buruh / sector informal yg rendah
Hasil
penelitian dari Bappem proyek MHT setiap tahun, rata2 30% keadaan rumah
di perkampungan Jakarta dalam keadaan buruk. Sekalipun angka
pertumbuhan penduduk dari hasil sensus 1990 menunjukan penurunan menjadi
2,4%, namun penduduk bertambah 200.000 jiwa per-tahun, yang artinya sbb :
200.000 : 360 hari = 600 jiwa / hari
600 : 5 jiwa / keluarga = 120 keluarga / hari
60% miskin = 72 keluarga / hari
72 : 24 jam = 3 rumah / jam
Pemukiman sederhana dan ideal yg dibutuhkan.
Dari
perhitungan diatas nyata bawa penyediaan rumah bagi golongan
berpenghasilan rendah memang sulit dipecahkan, sekalipun dengan proyek
RSS ( rumah sangat sederhana ). Pemerintah juga berusaha merubah kosep
perumahan secara horizontal menjadi perumahan vertical ( rumah susun ),
tetapi ternyata menurut survey yg dilakukan di Tambora dan Karangayar
menunjukkan bahwa hanya 3% dari penduduk asal yg bersedia tinggal di
rumah susun. Menurut angka dari Menpera ternyata di Jakarta terdapat
perkampungan kumuh sekitar 4000 ha yg dihuni oleh penduduk sekitar 2,4
juta jiwa, yg artinya sbb :
2,4 juta : 5 jiwa = 480.000 keluarga
480.000 x Rp.600.000/unit utk 18 m2 = Rp.2.800.000.000.000
Kalau setiap tahun dianggarkan Rp. 100.000.000.000, maka diperlukan waktu 28 tahun untuk menyelesaikannya
Tetapi apakah dalam 28 tahun tidak mengalami perubahan penduduk Jakrta? Masalah inilah yg sulit dicarikan jalan keluarnya.
Sejalan
dengan itu, ternyata para pengembang mengambil pengertian yg salah
tentang kurangnya fasilitas perumahan bagi penduduk Jakarta, tanpa
menggaris bawahi bahwa yg membutuhkan fasilitas ini mayoritas adalah
penduduk golongan rendah. Pengembang melakukan investasi besar2an di
bidang perumahan ( yg notebene merupakan perumahan untuk golongan
menengah dan atas ), serta seluruh fasilitasnya seperti pertokoan,
perkantoran, rekreasi, dsb.
Rumah mewah diatas 2 milyard.
Hal
ini ternyata mengganggu keseimbangan peruntukkan lahan di Jakarta yg
mengakibatkan makin banyaknya bangunan di Jakarta tetapi masalah
perumahan bagi mayoritas penduduk berpenghasilan rendah belum dapat
diatasi secara tuntas.
Salah
satu factor penting rendahnya kondisi social ekonomi masyarakat
perkampungan, adalah rendahnya pendidikan serta ketrampilan mereka.
Ketrampilan perlu untuk meningkatkan mutu kerja dan prodktivitas. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besr latihan ketrampilan yg
diperoleh kaum migrant diperoleh secara informal melalui proses magang
pada teman atau kerabat mereka yg telah berpengalaman.
Hal ini yg memperkuat ketergantungan para migrant terhadap sesame migrant terutama dari daerah asal yg sama.
Disamping itu, ketrampilah yg diturunkan tidak mengalami kualitas.
Dengan cara ini ternyata mmg sulit untuk dilakukan perbaikan kualitas
sumber daya manusia, kecuali kesadaran dari mereka sendiri dan keinginan
mereka untuk mendapatkan kehidupan yg lebih baik dimasa depan.
Pembangunan
yg berwawasan lingkungan menjadi salah satu pilihan untuk memperbaiki
system kehidupan Jakarta, disamping perbaikan system manajemen yg sudah
ada. Kehidupan menuntut lingkungan hidup sejahtera, yg oleh manusia
diwujudkan dalam pembangunan yg disesuaikan dgn kualitas hidup manusia
atas tingkat kecukupan kebutuhan lahir batin mereka.
Tata kota berwawasan lingkungan ( dibelakang rumahku ), Dallas – TX.
Tuntut
ini ternyata mengancam pengerusakkan alam termasuk mengancam kehidupan
manusia itu sendiri, seperti misalnya pembangunan yg berlebihan di
Jakarta sehingga berkurangnya daerah resapan air serta lingkungan hijau
sebagai paru2 kota.
Kota London yg masih / sangat memperhatikan paru2 kota. Hutan kota spt ini ada juga di New York. Ruang terbuka hijau di perkotaan.
Masalahnya
sekarang adalah pembangunan dan pertambahan penduduk yg pesat di
Jakarta mengakibatkan pemanfaatan sumber daya alam dan menurunnya
kualitas lingkungan hidup yg ditandai dgn tumbuh kembangnya pemukiman
kumuh, tak terkendalinya pembuangan limbah, pengurangan ruang terbuta
hijau, gangguan kesehatan masyarakat, belum serasinya usaha peningkatan
kegiatan ekonomi dgn lapangan kerjanya, rendahnya pemanfaatan sumber
daya manusia dgn disipin kehidupan sosialnya dan kurangnya air untuk
minum.
Sampah menggunung di perkotaan.
Perencanaan
dan perancangan yg bertitik tolak dari hubungan antara perilaku manusia
dan lingkungan adalah salah satu pedekatan yg dapat dikatakan masih
dalam tahap awal. Dalam hal ini latar belakang manusia akan menentukan
perilaku seseorang yg antara lain tercermin dalam aktifitas orang
tersebut. Perilaku dan kegiatan tsb akan menentukan macam dan hubungan
wadah kegiatannya.
Pembangunan diluar
kampung2 kumuh Jakarta, seperti pasar, terminal, perbelanjaan atau
hotel sekalipun akan dapat memperkuat arau dapat menghancurkan system
warga sekitarnya. Untuk itu pembangunan yg tergesa2 dan tidak melalui aturan2 yg berlaku akan dapat merubah total system kehidupan warga perkampungan Jakarta.
Untuk mengawasi jalannya
pembangunan tersebut, maka diperlukan suatu pola pengawasan manajemen
yg cocok, dimana sekarang ini pola yg dianut adalah mengawasi setiap
tahap dari proses membangun serta proses penggunaan / pemeliharaan
bangunannya. Dengan jumlah kegiatan membangun sebesa 16.000 proyek
setiap tahunnya, maka diperlukan system manajemen khusus untuk
mengawasi, karena tidak mungkin Pemda mengawasinya sendiri.
Potensi
yg dimanfaatkan Pemda adalah dengan memanfaatkan para tenaga
professional, karena Pemda mempunyai kebijakan bahwa dalam pembangunan
fisik yg ingin dicapai adalah kehidupan yg nyaman, aman, tertib dan
bersih.
Pemda
juga mendambakan inisiatif dan kreatifitas dari kalangan professional
teehadap perubahan2 atau harapan2 terhadap lingkungan yg ingin dibangun.
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Manajemen Fisik Kota Jakarta (6)”
Posting Komentar