Rabu, 26 Juni 2013
‘Jakarta Bebas Banjir?’ Ah, Itu Hanya Ilusi
Rabu, 26 Juni 2013 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
Banjir! Satu kata yang bisa membuat
warga Jakarta merinding. Bukan karena banjirnya sendiri yang akan
membawa banyak permasalahan, tetapi yang lebih penting adalah ketika
kita sebagai warga Jakarta sering marah dengan keadaan yang terjadi.
Bahwa Jakarta masih jauh dari sistem
penanggulangan banjir itu sendiri. Bahwa pemda Jakarta pun menurutku
belum mampu mengatasi permasalahan banjir. Dan bahwa warga Jakarta pun,
belum sadar untuk berusaha dan bergotong royong dalam menciptakan
lingkungan yang bersih dan tertib, yang salah satunya untuk
penanggulangan banjir.
Ketika aku mempelajari dan mengamati
beberapa orang yang peduli dan berusaha dalam mengendaliah banjir di
Jakarta, aku semakin sadar bahwa untuk sebuah kota besar dan kota
metropolitan sebesar Jakarta, bukan hanya dibutuhkan keahlian dan orang2
yang peduli dengan Jakarta saja, tetapi yang paling penting, ternyata
bukan hanya Jakarta saja yang mengalami ‘derita’ banjir setiap tahun
dari dahulu, bahkan sekarng ini semakin melebar dan semakin sering (
bahkan hujan beberapa meni6 saja, sudah bisa menjadikan sebuah kawasan
mengalami banjir ).
Bahwa ternyata di negara2 besar dan maju
pun masih mengalami banjir. Seperti Jepang, Australia, bahkan Amerika
pun masih mengalami banjir besar. Singapore yang di gadang2 merupakan
negara terkecil di dunia dan termodren di Asia Tenggara yang katanya
mempunyai sistem penanggulangan banjir modern, tahun lalu pun mengalami
banjir besar …..
Ir. Sutami ( almarhum ) pernah
mengungkapkan bahwa untuk mengatasi banjir di Jakarta itu adalah hanya
sebuah ilusi semata. Beliau sempat juga mengatakan bahwa negara2 maju
seperti Amerika dan Jepang pun tetap banjir, sekalipun biaya tetap
tersedia guna menanggulangi sistem penanggulangan banjir. Begitu juga
mantan Gubernur Ali Sadikin yang juga pernah mengungkapkan tentang
realitas tentang banjir tersebut ( sumber : Sinar Harapan, 7 April 1984 ).
Bukan berarti kata2 orang2 penting ini
menjadian kita pesimis tntang banjir Jakarta. Dan bukan berarti juga
pemda Jakarta tidak bisa melakukan sesuatu lagi tentang penanggulangan
banjir di Jakarta. Bahkan kita dituntut untuk ters mengupayakan untuk
terus mencari cara untuk penanggulangan banjir Jakarta. Ditambah lagi,
ketika gembar gembor penanggulangan banjir Jakarta terus berkumandang,
seharusnyalah warga Jakarta tetap berusaha untuk menjaga kearifan lokal
untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan tertib dan disiplin. Bukan
hanya untuk penanggulangan banjir Jakarta saja, tetapi untuk semua aspek
kehidupan warga Jakarta.
***
Sejak dahulu, pemda Jakarta cenderung
memilih penanggulanan banjir Jakarta dengan sistem pembangunan kanal,
sistem polder ( tanah dataran yang lebih rendah untuk menampung air
banjir ) dan sistem waduk penampungan. Tetapi ketika sekarang banjir
terus melanda Jakarta tanpa perubahan bahkan lebih meluas lagi, ternyata
ketiga sistem penanggulangan banjir Jakarta tidak mampu membebaskan
Jakarta dari banjir ( apalagi banjir badang 5 tahunan sekali ),
seharusnya pemda Jakarta mulai memikirkan tentang ‘apa yang salah’.
Sistem kanal tidak berhasil ( atau
belum? Entahlah ) karena tidak adanya cara tahu bahwa topografi Jakarta
yang datar, tetapi tetap saja ada titik ‘cekung dan cembung’ untuk
membuat aliran kanal terus menurun sampai ke laut.
Artinya,
jika memang topografi Jakarta yang memang datar, desain kanal harus
mengacu kepada penurunan tanah sempai ke laut. Kanal di desain
sedemikian dengan perhitungan yang matang, untuk dari arah hulu kanal
sampai ke laut dengan kemiringan2 tertentu. Seperti hukum
Phytagoras, denan kemiringan tertentu, akan mendapatkan jarak dari hulu
ke muara dengan ketinggian hulu tertentu ( atau ketinggian muara ),
sehingga air mengalir dengan lancar.
Itu hanya 1 jawaban. Jawaban yang lain adalah seperti yang aku tuliskan di artikelku ini Jakarta Butuh Peta Contour 3 Dimensi untuk Kebijakkan Banjir.
Bahwa jika kita hanya mempunyai peta 2 dimensi saja, bagaimana kita bisa mendesain penurunan kanal untuk aliran air banjir ??? Jika
haya kita mempunyai peta Jakarta yang hanya 2 dimensi saja, desain
kanal ( atau apaun yang membuituhkan 3 dimensi ) menjadi tidak berguna,
karena air banjir yang tertampung di kanal hanya ‘diam’ saja, tidak
mengalir ke laut, dan ketika hujan terus turun, air yang tetap ‘diam’ di
kanal, bertambah tinggi sehingga pada suatu tiik, permukaan air lebih
dari tinggi kanal, dan meluaplah air dari kanal, apalagi dengan
ketidak-dispiplinan nya warga Jakarta yang membuang sampah sembarangan,
termasuk membuang sampah di kanal ……
Jawaban yang ketiga menurutku adalah
tentang kependukukan. Ketika penduduk yang mendiami kanal, waduk atau
sungai dan lingkungan sekitarnya, mereka membutuhkan lahan untuk
membuang sampah. Jika pun sampah2 yang dibuang di penampungan sampah
khusus, pasti tidak ada yang bisa menjamin bahwa warga di sekitar kanal,
sungai atau waduk tersebut akan membuang sampah disana.
Bahkan sekarang
saja, kanal dan waduk Jakarta mengalami mendangkalan karena sampah
bertumpuk dan pemukiman warga secara ’slum’ semakin meluas!
Artinya, upaya pengendalian banjir oleh
pemda Jakarta harus lebih konseptual dengan mengatasi penyebabnya.
Dengan banyaknya pemukiman disana yang semakin lama semakin luas, pada
kenyataannya penggunaan lahan tidak sesuai dengan kemampuan
lahan, sehingga terjadi menurunnya infiltrasi air ke permukaan tanah
yang mengakibatkan meningkatnya aliran air di permukaan ( Sumber : Restu
Gunawan ). Ditambah lagi, bertambahnya area beton,
dibandingkan kuragnya ruang terbuka hijau ( RTH ) Jakarta. Sehingga air
terus mengalir tanpa ada yang bisa menyerapnya, sehingga air bertambah
tinggi di permukaan …..
Jadi, bagaimana? Apakah kita mau Jakarta
terus dilanda banjir, walau memang sudah ‘di prediksi’ akan sebuah
‘ilusi’ bahwa Jakarta bebas banjir ? Ataukah kita terus berusaha untuk
mengendalikan banjir Jakarta dengan beberapa cara yang teruji dengan
salah satunya melakukan beberapa konsep diatas? Semuanya terserah warga
Jakarta.
Jika ‘penggede2′ Jakarta serta orang2 kaya di Jakarta tidak mau
tahu tentang banjir Jakarta, mereka tinggal ‘cabut’ dari Jakarta, dan
tinggal di luar negeri dan tinggallah kita, rakyat kebanyakkan,
‘tenggelam’ bersama Jakarta, termasuk aku …..
Dan aku tidak mau ‘tenggelam’ bersama Jakarta …..
Tags: Jakarta
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “‘Jakarta Bebas Banjir?’ Ah, Itu Hanya Ilusi”
Posting Komentar