Kamis, 19 April 2012
Dimulai dengan ‘1 Langkah’ Ke Depan
Kamis, 19 April 2012 by Christie Damayanti
By Christie Damayanti
2 minggu setelah aku terserang stroke di Amerika, Tuhan ‘mengembalikan’ aku ke Jakarta. Sebetulnya, sebagai penderita pasca stroke yang baru ’sembuh’ selama 2 minggu, aku belum aman untuk terbang dari Amerika ( San Francisco ) ke Jakarta sekitar 21 jam dan transit 5 jam di Taiwan.
Otakku masih lemah dan darah yang ada di otak kiriku setelah pembuluh darah otak kiriku pecah ( lihat tulisanku Sebuah Kesaksian: Bagaimana Menyikapi dan ‘Berteman’ dengan Stroke Dalam Usia Muda Untuk Menghadapi Masa Depan…(Bagian 2). Tetapi karena memang berobat di Amerika sangatlah mahal, dan keluargaku semua ada di Jakarta ( kecuali adikku dan keluarganya di Dallas ), aku di terbangkan ke Jakarta dan ditemani oleh ‘bruder’ ( suster pria ), dari Alaska, yang memang bertugas antar jemput pasien di seluruh dunia.
Setelah itu, aku belum pernah terbang lagi, setelah stroke. Bukan tidak mau, tetapi aku masih trauma dengan keadaanku dulu, bahwa 2 tahun lalu, aku dengan lumpuh sebelah kanan tubuhku, aku hanya bisa duduk di sebelah bruder Frank, dan tidak bisa bergerak sama sekali. Aku hanya berbaring 21 jam, di 1st class khusus bagi orang sakit, dengan kateterku memerah ketika otakku stress karena terbang tinggi.
Dan aku masih susah untuk berkegiatan, apalagi aku harus duduk di kelas ekonomi, sehingga aku memang belum ingin terbang lagi. Tetapi ketika aku harus menghadiri pameran filateli ( ku ) yang di selenggarakan di Yogyakarta, mau tidak mau aku harus kesana, karena pameran ini akan menentukan pameran2 selanjutnya, dan yang aku fokuskan adalah pameran filateli internasional, dimana Indonesia diminta menjadi tuan rumahnya, 18 - 24 Juni 2012, termasuk koleksiku yang akan aku pamerkan.
Jika pameranku kedua yang diselenggarakan di TMII kemarin ( lihat tulisanku Hari Filateli Indonesia - 29 Maret 2012 : Kegiatan dan Hobiku Sebagai Berkat Tuhan Untukku ), aku memamerkan 6 frames dengan 25 tokoh dunia yang foto dan tnda tangannya menjadi koleksiku, pameran Yogyakarta ini, aku hanya.diminta menyiapkan 2 frames dengan 8 tokoh dunia, dari 88 tokoh dunia yang membalas suratku.
Karena aku masih susah untuk berkegiatan, aku ditemani oleh mamaku. Tetapi mamaku sendiri sudah tidak sehat lagi, jadi aku agak kawatir dengan perjalan kami ini. Aku berdoa, jika memang Tuhan berkendak, aku tidak akan pergi, tetapi ternyata aku memang ‘diminta’ Tuhan untuk ke Yogya, dengan banyak ide.
Selasa jam 5 pagi, kami ( aku dan mamaku ), diantar papa dan anakku ke airport. Aku berdebar karena bayangkan saja ; aku berjalan dengan susah, harus berpegang kepada mamaku, sedangkan mamaku sendiri, punggungnya bermasalah, sehingga beliau tidak bisa berjalan jauh, dan selalu berasa sakit. Belum lagi tas dan koper, walau koper kami di bagasikan. Perjalanan dari counter check-in ke pesawat, cukup jauh ditambah pesawat Lion di Terminal 1, dan tidak ada ‘belalainya’ sehingga aku membayangkan banyak kendala yang harus kami hadapi.
Kami chek-in dan meminta kursi roda untuk aku duduk diatasnya, dan di dorong oleh petugas airport. Aku mulai tenang, tetapi ternyata aku mendapatkan bahwa hampir semua orang yang bepergian ini, memperhatikanku dengan mata dan wajah yang meremehkan …..
Aku didorong ke pesawat, di alam terbuka ( bukan ‘belalai’ ), di landasan pesawat. Semua orang memperhatikanku, dengan kelumpuhanku. Begitu aku menaiki tangga pesawat dengan sangat lambat, dan aku mulai mencari tempat dudukku, mereka semuanya memandang dengan wajah yang sangat meremehkan ( karena kami paling terakhir, ketika mereka semua sudah duduk dengan baik.
Berbeda dengan di luar negeri, orang2 yang dalam keterbatasan serta bayi2 atau anak2 kecil, didahulukan naik pesawat dan kita menunggu sampai mereka duduk dengan baik ). Dan hampir semua dari mereka tidak peduli dengan keadaanku, dimana sejak di airport sampai di pesawat, mereka tidak peduli dan selalu tergesa sampai mendorong atau menyenggol tubuhku, sehingga tubuhku ‘oleng’. Aku berpegang erat di tangan mamaku, dan hatiku mendidih, ketika mereka tetap tidak peduli bahwa untuk berjalan saja aku sangat susah, apalagi ‘melipir2′ gang di pesawat, tetapi mereka tetap tidak peduli dan pandangan mereka sangat tidak bersahabat …..
1 jam kemudian, kami sampai di Yogyakarta. Aku didorong di atas kursi roda oleh petugas airport, setelah aku menuruni tangga dari belakang pesawat. Banyak orang yang menatapku dengan ( seperti biasa ) pandangan meremehkan, termasuk anak2 kecil. Bahkan anak2 itu bukan hanya ‘berbisik2′ tentang aku, bahkan banyak dari mereka berteriak kepada keluarganya dengan lantang,
“Mama, ada orang cacat nih!”
Aku sih sebenarnya sudah tidak peduli dengan pandangan dan tatapan meremehkan sejak 2 tahun lalu. Tetapi, dengan adanya ‘permasalahan’ karena kegiatan ke Yogyakarta ini, dan banyak sekali orang2 yang menatapku dengan sangat meremehkan, akupun manusia biasa ….. Aku tertunduk, hatiku sakit dan mataku berkaca2 …..
Ya, aku memang cacat, sahabat …
Tapi tidak bisakah aku memimpikan hidup biasa dengan keterbatasanku? Fasilitas penyandang cacat saja negara kita tidak punya, bahkan warga Indonesia pun masih meremehkan penyandang cacat, seperti aku …..
Sungguh, dadaku bergolak gemuruh. Sedih, kecewa, dan sedikit rendah diri. Mamaku tidak tahu, karena aku didorong oleh petugas dan beliau dibelakangku, sehingga mataku yang merah dan basah serta hatiku yang ‘menunduk’ dan terpuruk, tidak terlihat olehnya. Bahkan setelah kami keluar dari airport dan mencari taxi, makin banyak mata yang memandang dan mnenatapku dengan pandangan meremehkan, bahkan ada yang menatapku sampai mereka memutar badannya guna ‘mengikutiku’ dengan pandangan matanya …..
Ketika kami sudah di atas taxi, aku mulai bergairah dalam menyambut pameranku. Aku berceloteh dengan mamaku dan si supir taxi, bercerita tentang angan2ku tentang pameranku ini, untuk masa depanku tentang filateli. Hatiku sudah tenang dan mulai tidak peduli jika aku melihat tatapan mata yang meremehkan. Aku mencari hotel terdekat di mall yang menyelenggarakan pameran filateli ( Mal Malioboro dan Hotel Ibis ), tetapi ternyata penuh, sehingga kami menuju ke jalan Dagen, di mana banyak hotel kecil yang nyaman untuk kami bermalam, walau kami harus menyeberang ke mal itu dengan keadaanku yang tidak nyaman …
Aaahh, aku tetap bergairah, walau perhitunganku dengan keadaanku yang susah untuk berjalan dan harus berpegangan dengan mamaku, dan mamaku dengan keadaannya yang juga tidak nyaman, jika kami tiba2 jatuh karena tersenggol orang lain yang tergesa2, kami pasti jatuh. Lalu, bagaiman jika demikian? Aku tidak tahu …..
*hanya berdoa, semua dalam penyertaan Tuhan* …..
Perjalanan ini menjadi perjalananku, pertama kali aku terbang setelah stroke, dan aku sangat menikmatinya, walau banyak tatapan melecehkan serta keadaan hatiku karena sebuah masalah. Semua ‘langkah’ harus dimulai dari ‘langkah pertama’, dan ketika aku sudah menapakkan langkahku untuk terbang bersama stroke-ku, hati dan pikiranku sudah melayang dengan mimpi2ku, untuk ‘terbang’ dengan orang2 yang mencintaiku, tanpa batas …..
Penyandang pasca stroke dalam keterbatasan, pun semua penyandang penyakit apapun, tetap harus bisa menikmati hidupnya, seperti aku. Trauma dalam penyakit kita, harus dikalahkan dan dipatahkan, dengan semangat melihat masa depan. Karena, tidak ada yang bisa membatasi hati dan pikiran kita untuk bersemangat, walau tubuh kita dalam keterbatasan …..
Sebagai manusia biasa, wajar menjadi ‘lemah’ dan down, dengan lingkungan yang tidak ramah serta trauma penyakit yang ada di tubuh kita, tetapi kita tetap harus menatap masa depan kita dengan senyum. Hidup kita hanya di tangan Tuhan, dan ketika dokter atau siapapun yang meramalkan hidup kita akan selesai sampai disini saja, atau ketika banyak orang ‘meramalkan’ bahwa penyakit kita bisa membuat aku menjadi semakin ‘lemah’, tetaplah tersenyum, karena hidup kita adalah Tuhan yang menentukan, bukan siapapun …..
Tetap semangat !!!
Tentang Saya:
Christie Damayanti. Just a stroke survivor and cancer survivor, architect, 'urban and city planner', traveller, also as Jesus's belonging. Follow me on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Dimulai dengan ‘1 Langkah’ Ke Depan”
Posting Komentar